webnovel

Terbuka

Charles menunduk dalam di depan ruang operasi, lorong rumah sakit lenggang karena dikosongkan oleh para pengawal. Rajanya sendiri masih duduk tenang di kursi tunggu; tidak bersuara dengan mata terpejam. Tapi dalam hening itu; ajudan itu tahu Richard bertannya-tanya. Lebih lagi, mungkin mulai menyadari sesuatu-bahwa permainan kini sudah selesai.

"Aku pikir ada sesuatu ya, Charles?" Ajudan itu hanya melirik saat pertanyaan tenang itu akhirnya mengudara. "Aku mengharap sebuah penjelasan, tanpa memaksa; jika kau tidak keberatan."

"Saya tidak mengerti harus menjelaskan apa, Yang Mulia."

"Rumah itu."

"Saya masih bertanya kenapa Anda pergi ke sana," Charles mencoba tenang. "Tidak memberitahu siapapun dan terlibat kekacauan setelahnya."

Keheningan menusuk muncul di udara.

"Seseorang memberiku pesan bahwa Ratu masih hidup dan berada di sana. Yang mengejutkan; saat aku berada di sana penghuni rumahnya diserang dan salah satu korban menyebutkan nama Yang Mulia Ratu. Lagi ..." matanya melirik lelaki yang berdiri agak jauh. "Aku mengenal pria yang kebetulan juga menghuni rumah itu dalam keadaan salah paham beberapa waktu lalu."

Intimidasi penuh muncul dari Raja Muda itu.

"Aku yakin ada sesuatu. Yang tidak aku tahu, mungkin?"

Tubuh tua itu bergetar sedikit; ada desakan kebohongan yang menggoda dibenaknya. Tapi ia tahu apapun pilihan yang ia ambil, kebenaran itu akan muncul kepermukaan. Sebuah kebohongan tidak bisa bertahan selamanya; dan takdir yang coba ia permainkan sudah keterlauan. Tidak ada gunanya mengelak. Maka mata tua itu beralih; menatap lelaki yang berdiri dalam diam-balas menatapnya dalam tekad.

"Saya meminta sebuah syarat jika begitu." Charles akhirnya berujar.

Alis Richard naik. "Syarat?"

"Tolong dengarkan saya hingga usai. Karena yang saya akan jelaskan adalah sebuah dosa yang saya yakin tidak akan pernah Anda maafkan."

...

Semuanya gelap.

Redd merasakan tarikan keras pada lengan dan kakinya, tapi ia tidak bisa melihat apapun. Hanya gelap; ia mencoba menggerakkan tangannya, tapi nihil sesuatu mengikatnya erat-erat. Ada suara deburan ombak yang jauh dan pembicaraan; laki-laki. Redd mengerutkan kening dengan kepala berdentam; merasakan ngilu di pelipis dan pusing yang menyesakkan, kesadarannya masih mengawang tapi ia bisa menggunakan rungunya dengan baik. Mendengar suara disekitarnya; mereka terdengar bicara serius dan salah satu suara itu jelas terdengar tidak asing. Tapi siapa-

"Menurutmu berapa lama sampai kita ketahuan?"

"Sehari. Raja akan segera tahu apa yang terjadi dan menuju kesini."

"Sendiri?"

"Bersama kelompok tujuh tentu saja," tawa dingin. "Apa gunanya mereka semua?"

"Lalu kau? Mereka akan tahu jika kau pelakunya kan?"

"Mereka memang harus tahu, bukan? Aku juga tidak suka berpura-pura selamanya."

Redd mengerjab dalam gelap, menghela nafas resah dan terlelap kembali dalam hening pekat. Wanita itu baru terbangun lagi saat ada suara langkah yang mendekat terdengar, suara gesekan sol sepatu itu sesaat mengancam; sebelum ia merasakan tangan hangat menyentuh telinganya dan menyentak ikatannya. Membuat cahaya menyeruak ke matanya dan menampilkan wajah seseorang yang asing.

"Yang Mulia Ratu," pria yang ia yakin masih berusia sekitar awal tiga puluhan itu tersenyum. "Bagaimana perasaanmu?"

Redd menatap pria itu tajam; jelas ketakutan namun berusaha keras untuk menyembunyikannya dan memberikan ekspresi keras. "Siapa kau!? Apa-apaan ini?! Lepaskan aku!"

Si pria tersenyum. "Aku tidak bisa, maaf. Lebih dari itu, aku harap kau tahu betapa senangnya aku mengetahui Ratu masih hidup," matanya lantas melirik pada perut Redd. "Dengan seorang putra? Ataukah putri?"

"Bukan urusanmu," Redd mendesis. "Lepaskan aku!"

"Lalu apa yang akan kau lakukan jika dilepaskan? Lari?" pria itu tertawa kecil. "Bukan ide bagus menurutku, kerajaan akan dituduh; memalsukan kematian bukan pilihan baik,kan?"

"Aku mati untuk melindungi Raja dan kerajaan," Ratu itu menyentak talinya walau sia-sia. "Kau pikir kau siapa?!"

"Aku," pria itu menunjuk dirinya sendiri. "Aku orang yang sudah mengenalmu sejak lama. Aku pikir kau pasti juga tahu aku, kan? Raja pasti sudah menceritakan tentang aku ..."

Pria itu menyeringai.

"Andrew Dricv, Yang Mulia, senang bertemu denganmu."

Redd mematung. Otaknya memutar ingatan akan nama itu dan bibirnya terbuka tanpa suara saat ia mengenalinya. Membawa keterkejutan serta ketakutan baru merambati tulang belakangnya. "Kau sepupu Richard."

"Ya, Pangeran yang terbuang. Menyedihkan, bukan?" Andrew tertawa sebelum bangkit dan bersedekap menatapnya. "Aku berusaha begitu keras meraih tahta, kau tahu? Menjadi sahabat Raja dan menjadi bayang-bayang. Ketika aku tahu James meninggal, aku pikir tahta akan menjadi milikku. Tapi; Richard menikahimu. Menghilangkah kesempatanku sebagai ahli waris dan membuangku lagi. Jadi aku harus menyingkirkanmu, bukan begitu?"

"Kau orang yang membunuhku?" nada Redd nyaris tersendat oleh amarah. "Kau yang menyerangku?! Yang melakukan semua itu, kau?!"

Andrew tertawa kecil. "Bisa dibilang begitu?"

"Tap-tapi," Redd berhenti karena ketidakpercayaan. "Tapi, kenapa? Aku bahkan tidak pernah menyakitimu."

"Tidak pernah?" Andrew tersenyum dingin. "Kau pernah. Dulu sekali, kau pernah melakukannya." Pria itu mengamati Redd yang masih menatapnya dengan campuran kemarahan dan ketakutan. "Aku mencarimu untuk waktu yang lama dan menemukanmu. Bertahan sekuat tenaga untuk tidak menyentuhmu dan pada akhirnya aku menyerah. Dendam ini terlalu berat, hingga aku tidak bisa membendungnya."

"Bajingan kejam sepertimu," Ratu itu mendesis marah. "Bayangkan betapa kotornya tanganmu itu."

"Oh jangan khawatir," Andrew tertawa dingin. "Aku tidak pernah berkotor-kotoran. Dulu ataupun sekarang, aku tidak berminat. Banyak tangan yang bisa melakukannya untukku," pria itu mendecak main-main. "Aku juga punya satu yang paling aku andalkan. Mau bertemu?"

"Tidak. Sama sekali tidak," Redd menyentak ikatannya lagi. "Lepaskan aku!"

"Oh, kau akan menyesal," pria itu tersenyum dengan wajah sedih yang dibuat-buat. "Dia seseorang yang kau sayangi, aku yakin itu."

Andrew lantas menolehkan badannya sedikit ke arah pintu ruangan yang baru disadari Redd, pria itu meliriknya sebelum berteriak. "Masuklah, Yang Mulia Ratu mau bertemu denganmu."

Dalam keheningan ruangan yang remang, pintu besi itu terbuka sedikit. Membawa angin malam dan debur ombak yang lebih keras masuk, seraya pula membawa seseorang bersamanya. Sosok itu berhenti sebentar di pintu dan berbalik; memandang mereka dalam bayangan.

"Saya?"

Ratu itu langsung duduk tegak, nafasnya terhenti saat suara yang ia kenali itu terdengar. Firasatnya mengatakan sebuah nama; tapi sekuat tenaga ia menolak. Mengingkari pikiran jahat yang muncul di permukaan kulitnya.

"Ya," Andrew tersenyum. "Kemarilah."

Mata Redd menyipit dengan data berdentum, seiring dengan langkah ringan sosok itu. Lalu begitu saja; air matanya luruh dan telinganya berdenging nyaring nyaris menyakitkan saat matanya mengangkap visual yang sudah tidak asing. Sangat tidak asing.

"Yang Mulia Ratu," sosok itu tersenyum ketika mencapai cahaya dimana Redd bisa menatapnya jelas. "Lama tidak bertemu."

"Justin ...."

....

Bab berikutnya