webnovel

Diantara Pertanyaan

"Hallo Louis, apa kabar?"

Louis mendongak menatap pria bersurai pirang di depannya. "Hallo Andrew."

"Kau," Andrew berhenti dari gerakannya menarik kursi. "Kelihatan tidak senang."

"Memang."

"Tidak senang karena bertemu denganku?"

"Hn. Apa terlihat sekali di wajahku?"

Andrew terbahak, "Kau sama sekali tidak berubah Louis. Kau selalu melihatku sebagai orang yang salah."

"Kau memang," Louis menjawab kalem. "Hanya tidak pernah mau menyadarinya," Louis mengaduk kopinya. "Jadi ada apa? Kenapa kau menemuiku? Ku kira kau belum menemui Yang Mulia."

"Aku akan menemuinya ketika saatnya tepat," Andrew tersenyum kecil sambil duduk. "Aku hanya bertannya-tanya soal Yang Mulia Ratu."

"Ada apa?" Louis masih acuh.

"Apa dia sungguh sudah meninggal?"

"Apa kau melucu?" Louis menaikkan alis, "Aku pikir kau bukan orang yang keterbelakangan informasi? Kau punya banyak lalat yang terbang kesana kemari."

Andrew tersenyum simpul, "Tapi ada yang hilang."

"Apa?"

"Aku hanya mendengar informasi bahwa Yang Mulia Ratu belum meninggal."

"Lucu sekali kau berkata begitu, seingatku kau yang membunuh Yang Mulia Ratu kan?" Louis menyahut dingin.

"Tuduhan kejam apa itu?" Andrew mendengus. "Aku baru tiba di sini, dan aku bahkan tak pernah punya urusan dengan mereka."

"Sayangnya," nada Louis masih sama. "Banyak hal terjadi setelah kau datang, bukankah itu artinya aku patut curiga?," Panglima itu menaikkan bahu acuh. "Sedikit?"

Andrew terkekeh tipis, "Ya. Sedikit, karena yang lebih patut dicurigai adalah kau kan? Pewaris tahta cadangan? Ada di nomor berapa posisi mahkotamu Louis? Tiga?"

"Dua sebenarnya," sahut Louis kalem. "Karena Yang Mulia tidak memiliki keturunan."

"See?" Andrew mendengus. "Kau punya jalan lebar untuk naik tahta sekalipun kau tidak memiliki pendukung. Mencurigakan, jujur saja Louis," ia mencemoh. "Kau pasti tidak menolak kan untuk jadi Raja."

"Tidak ada seorang pun yang tidak mau, Raja adalah posisi paling berkuasa. Semua orang tentu ingin menjadi Raja, itu hal lumrah," Panglima itu meminum kopinya perlahan. "Hanya saja jika aku ... aku lebih suka diposisiku sekarang. Bukankah biasanya orang yang punya celah sempit jadi Raja yang paling patut diperhatikan, bukan tidak mungkin mereka adalah orang yang akan mengorbankan banyak cara untuk meraih mahkotanya."

"Ah," nada Andrew sinis. "Sungguh menarik, aku hanya berpikir siapa sebenarnya diantara kita berdua di sini yang paling munafik Louis? Aku atau kau?"

Louis tersenyum kecil, "Aku. Jawabannya aku. Kau tidak munafik Andrew, kau penipu. Belut licin yang bermain-main dengan cerdas."

"Menarik," sepupu Raja itu bersandar lugas ke sandaran kursi. "Jadi, daripada berbelit-belit tidakkah lebih baik aku langsung ke inti kedatanganku?" Andrew tersenyum miring. "Temani aku ke makam Yang Mulia Ratu. Aku ingin mengecek sesuatu tentangnya."

...

"Mereka bilang ..." Fleur mendongak saat Emma-teman sesama pelayannya-berucap ragu. Seline-temannya yang lain-menyikut Emma di rusuknya, yang dengan tangkas bisa Emma hindari. "Oke. Oke," Emma mengerutu, "Tapi aku pikir kau juga harus dengar ini. Kau tahu para pelayan bergosip, katanya mereka dengar bahwa Yang Mulia Raja melihat mendiang Ratu masih hidup saat beliau kabur kemarin."

Fleur mengerutkan kening, "Maaf?"

"Iya Yang Mulia Ratu, jangan melihatku begitu dong," Emma berucap saat Fleur hanya membelalak seolah ia sinting. "Aku serius."

"Jangan konyol," pada akhirnya gadis Perancis itu memilih sibuk menata makanan di nampan. "Aku melihat Beliau dikubur."

"Yah, kan aku sudah bilang itu gosip. Dari mulut ke mulut, didengarnya juga hasil menguping paman kepala penjaga," Emma mencebik.

Seline hanya memutar bola mata, "Sudah aku bilang itu gosip konyol. Kau memaksa sekali."

"Aku hanya ingin Fleur tahu!"

"Hei sudahlah," Fleur melerai. "Aku tahu, terimakasih sudah memberi informasi. Nah, sekarang biarkan aku mengantarkan makan siang ini ke ruang Yang Mulia Raja."

"Kau tidak akan bertannya langsung pada Raja kan?"

"Soal ini?" tanya Fleur. "Hanya jika aku punya keberanian, mungkin?"

Fleur kemudian meninggalkan kedua temannya yang mulai saling menyalahkan,well- sesungguhnya ia tahu soal itu. Soal Raja yang katanya melihat mendiang Ratu saat kabur, karena sebenarnya Charles sendiri yang bercerita padanya saat ia akan mengantar makan malam ke ruang kerja Raja kemarin, gadis itu menghela nafas.

Sebenarnya dari lubuk hatinya yang terdalam ia tidak pernah percaya Ratunya meninggal, entah kenapa ia merasa itu salah. Entah kenapa ia merasa, wanita yang begitu ia hormati itu masih ada dan baik-baik saja. Namun gadis itu tidak pernah berani membuka mulut untuk sekedar berucap basa-basi soal topik itu, ia menyaksikan sendiri bagaimana Rajanya jatuh bangun hanya untuk tetap hidup setelah kematian Ratunya. Ia melihat bagaimana pria yang paling ia hormati itu berusaha keras untuk baik-baik saja dan bertahan demi ribuan orang yang masih bersandar dibahunya. Karena itu ia enggan membahasanya, ia takut itu hanya akan melukai Rajanya. Karena, bukankah berharap itu selalu menyakitkan?

Sebab itulah Fleur juga tidak mau mundur dari jabatannya, bukannya ia matre atau apapun. Sebagai salah satu orang yang menemani Yang Mulia Ratu hingga akhir, Fleur dan Justin mendapat hadiah dari Richard. Raja muda itu mengizinkan mereka kembali pulang dan menjalani hidup sebagai orang biasa-dalam artian-menjauh dari kerajaan, atau tetap mengabdi.

Bagusnya, ia dan Justin memilih tetap mengabdi. Sehingga Richard menaikkan Justin menjadi tangan kanannya, dan Fleur menjadi penanggung jawab pribadinya. Ia mengatur segala hal tentang keseharian Rajanya, mulai dari makan hingga hal agak mendetail seperti pakaian. Secara garis besar Fleur menggantikan pekerjaan mendiang Ratunya, dan ia menyukainya. Bukan karena keuntungannya sendiri, tapi karena ia setidaknya berhasil menunaikan salah satu perintah Redd.

Untuk menjaga Richard, Rajanya.

Fleur berhenti di depan ruangan sang Richard, dan menghela nafas saat pintu dibuka oleh penjaga.

Masih sama seperti hari lain. Richard duduk di balik mejanya, dengan Macbook, segunung buku dan tumpukan kertas. Wajah kusut, lelah dan pucat. Fleur mendesah lagi,aku yakin Ratu akan marah kalau dia tahu apa yang anda lakukan Yang Mulia.

"Yang Mulia," Fleur memanggil pelan.

Raja itu berdeham.

"Makan siang anda."

"Ya. Nanti."

Fleur diam di tempat, alih-alih menaruh nampannya dan pergi. Ia lebih memilih untuk berdiri tanpa bergerak.

"Fleur," Richard mendesah lelah akhirnya. "Kau meniru Justin lagi."

"Anda harus makan," gadis Perancis itu berucap tenang. "Hanya ini cara yang saya tahu bisa saya lakukan agar Anda makan."

Raja itu mendecak pelan, "Bawa kemari."

Fleur menyanggupi, ia membawa nampan berisi makan siang itu mendekat ke meja dan menaruhnya pelan. Sebelum mundur dan berdiri di tempat yang sama.

"Fleur ...."

"Tidak akan keluar sebelum anda menghabiskannya," gadis itu menaikkan bahu. "Saya sudah berjanji pada Justin untuk melakukan itu."

Raja Muda itu menghela nafas tidak kuasa, ia menatap tidak minat pada sepiring spagetti abalon di depannya. Sebelum dengan terpaksa meraih garpu dan mulai menggulung mie italia itu, melahapnya setengah rela. Selanjutnya hanya suara garpu dan piring yang mengisi ruangan, Fleur sendiri lebih memilih menunduk menatap sepatunya. Dalam hati membatin, soal makanan apa yang akan ia sajikan untuk Rajanya nanti malam. Mungkin steak? Atau salmon?

"Fleur ..."

Panggilan Richard membuat gadis Perancis itu mendongak, ia menatap Rajanya yang masih sibuk dengan piringnya bertannya. Namun segera menunduk dengan sopan kala pria itu mentapanya dan mulai bicara.

"Apa menurutmu Redd masih hidup?"

Hening.

"Fleur?"

"Saya tidak," gadis itu ragu. "Saya rasa," helaan nafas. "Ya, saya rasa Ratu masih hidup. Tapi entahlah saya tidak tahu."

"Kenapa kau berfikir begitu?"

"Entahlah," Fleur berucap pelan. "Saya pikir ini hanyalah efek perasaan saya saja, karena sampai sekarang saya belum bisa menerima bahwa beliau sudah meninggal. Tapi, entahlah. Saya hanya merasa beliau memang belum meninggal, saya tahu beliau memang sudah dikuburkan. Tapi saya hanya tidak yakin, saya pikir itu malah bukan beliau."

Richard tersenyum tipis, "Apa kau percaya saat aku bilang aku bertemu dengannya di festifal kemarin? Saat aku kabur?"

Gadis itu mengerjap, "Hanya. Saya pikir, ya. Mungkin saja, kita tidak pernah tahu kan?"

"Fleur," nada Richard mulai berubah. "Apa kau mau melakukan sesuatu untukku?"

"Ya?"

"Mau bekerjasama denganku? Aku ingin membuktikan apakah Redd sudah meninggal atau belum. Kau mau ikut membuktikannya?"

...

Chevailer, winter

Charles berdiri diam menatap anak lelaki di depannya, yang melihat matanya tanpa rasa takut. "Apa maksudmu?"

"Saya menawarkan diri untuk bergabung."

"Apa?" Charles membeo. "Kau pikir ini lelucon? Kau masih terlalu muda.

"Tidak ada yang terlalu muda, semua boleh bergabung selama ia mampu."

"Aku tetap tidak mengizinkan, kau punya hidup yang masih panjang. Jangan membuatnya tidak bahagia, saat kau masuk kau hanya akan berhadapan dengan darah dan dendam."

"Jangan khawatir saya sudah menyimpan dendam sangat banyak."

"Tetap tid-"

"Tuan Charles," ucapan ajudan itu dipotong dengan cepat. "Saya ingin berada di jalan menuju tahta, saya ingin membuat karpet merahnya menjadi sungai darah. Anda ingin menyingkirkan seseorang kan? Seseorang yang harusnya jauh dari tahta? Begitupun saya, saya juga ingin melakukannya. Lantas, tidakkah itu cukup? Saya ingin bergabung. Karena dendam saya belum selesai."

....

Bab berikutnya