webnovel

012 : Tembakan Pertama (2)

Charlotte pergi setelah jam makan siang, pada awalnya Redd ingin ikut mengantar wanita itu kebandara, namun Charlotte menolaknya dan menyuruh Redd tetap tinggal. Lagipula ia punya tamu yang harus ia jamu sebagai Ratu, itu katanya.

Redd kemudian menghabiskan waktunya untuk berkeliling istana, ia ditemani oleh Fleur dan seorang kepala pelayan; Nyonya Wood. Menjelajah istana dengan penuh semangat. Wanita itu bilang ia adalah generasi keempat keluarganya yang menjadi kepala pelayan. Keluarganya adalah keturunan asli Rusia yang kemudian pindah ke Chevailer; awalnya Redd ingin bertanya bagaimana bisa keluarganya pindah, tapi ia membatalkannya saat tahu cerita itu dimulai dari tahun 1672. Nyonya Wood dengan baik hati membawa segerincing kunci di saku seragam pelayannya dan menjelaskan satu per satu ruangan istana pada Redd.

Darinya Redd bisa tahu bahkan hingga ke jenis benang sofa di ruang duduk utama dan penyebab retakan kecil di ubin ballroom istana. Redd akui ia mulai agak pusing setelah ia berkeliling hingga wantu senja hari, ia bersumpah bahwa istana Arcene lebih luas dari yang ia duga. Mendekati waktu makan malam, ia memilih untuk beristirahat di ruang santai di lantai empat istana. Ia kemudian keluar untuk mencoba idenya untuk membuat cookies di dapur istana, saat ia melihat sebuah pintu dengan cat putih yang dihalangi oleh tanaman pakis yang tinggi. Redd nyaris tak akan menyadarinya jika saja ia tidak menatap tempat itu sedikit lebih lama.

"Tempat apa itu?" tanya Redd tanpa sadar.

Nyonya Wood dan Fleur yang berada di belakangnya menatapnya dan mengalihkan padang pada arah yang ditunjuk oleh Ratu Chevailer itu. "Pintu ruangan apa itu? Kenapa tersembunyi?"

Fleur terdiam sesaat dan Nyonya Wood tampak sedikit enggan untuk menjawab,"Itu," Nyonya Wood berdeham. "Itu adalah ruangan milik ibu Raja."

"Mendiang Permaisuri?" tanya Redd meyakinkan.

"Ya, Yang Mulia menghabiskan banyak waktunya di sana semasa hidup, Raja memerintahkan tempat ini ditutup saat ia meninggal kemudian. Sekarang tempat ini tidak dipakai, dan-"

"Raja yang mana?"

"Ya?" Nyonya Wood keheranan dengan pertanyaan Redd.

"Raja yang mana yang memerintahkan penutupan kamar ini?" ulang Redd.

"Oh," wanita itu gelagapan. "Yang Mulia Raja Richard."

Richard menaikkan alisnya sebagai ekpresi balasan kemudian, "Sudah aku tebak. Aku mau masuk ke sana."

"Apa?" Nyonya Wood berkata gugup. "Tapi, ruangan ini tidak boleh. Ini ruang-"

"Aku," Redd memotong. "Ini akan jadi tanggung jawabku. Bawa aku masuk, aku yang akan bicara pada Richard."

Wanita itu tampak keberatan saat Redd menunjuk ke arah ruang putih sebagai tanda agar pintu dibuka. Ia kemudian berjalan ke sana dengan pelan, Fleur dan Nyonya Wood menggeser tanaman itu sebagian, kepala pelayan itu kemudian memasukkan kunci kuningan dengan ujungnya yang diwarna putih. Terdengar bunyi kunci yang diputar dan kemudian pintu yang dibuka.

Nyonya Wood membuka pintunya dan menyingkir, mempersilahkan Redd untuk masuk terlebih dahulu. Redd melangkah dengan perlahan ke dala dan aroma lemon floral yang bercampur dengan bau apak menyambutnya. Ruangan itu luas, seluruh barang yang ada di sana ditutupi oleh kain putih dan ruangan itu tampak gelap. Ada beberapa jendela besar hanya saja jendela itu ditutup oleh tirai yang tebal dan rapat. Secara keseluruhan ruangan itu terlihat rapi hanya sedikit terusik oleh debu-debu tebal saja.

"Apa tempat ini tidak pernah dibersihkan?" tanya Redd.

Redd menghampiri jendela dan menarik langsung membuka jendelanya. Cahaya matahari sore berlomba memasuki ruangan dan menciptakan bayangan gelap ke seluruh ruangan. Temaram, tapi itu membantu Redd melihat lebih jelas. Redd menyadari jika tempat ini lebih dari sekedar luas. Dindingnya terbuat dari marmer putih yang terukir, dan ada lampu kaca yang menggantung di atap ruangan.

Ada banyak lukisan di dinding dan rak kaca seperti yang ada di pondok, hanya saja isinya kosong.

Ratu itu kemudian melangkah ke tengah ruangan, ia menarik salah satu kain dan terbatuk saat debu menghantam wajahnya. Ia mengipasi wajahnya sesaat dan melihat grand piano yang berdiri megah di depannya. Piano itu terbuat dari kaca bening dan ada ukiran bunga warna-warni yang membuat piano itu tampak menyembulkan gambarnya. Redd terperangah dan memutari piano itu, ia kemudian membuka piano itu perlahan dan mulai menekan tustnya.

Tersenyum saat nadanya menggema di seluruh ruangan itu, ia kemudian terduduk di kursi beludru putih di depan piano. Perlahan ia mulai memainkan lagu yang sudah ia hapal di kepalanya, lagu yang dulu sering ia nyanyikan saat ia masih menjadi bagian dari kastil bevait.

There are so many things I couldn't say.

Although you have never heard them before

The day I meet someone who appears in front of me.

I'm not someone who just loves anyone I see

Among the many people in this world.

I could only see you

I'll be standing here looking only at you.

After this love, I don't really know what will happen

Like what children always do

Will you warmly hold me right now?

Though your name might become unfamiliar someday

My heart will remember all the memories

Even if a painful separation comes between us

Let's not think about it today.

I'm not alone now

At that place today, only you came to me.

Only you are my everything

Will you hold me?

Redd tersentak kaget saat suara tepuk tangan terdengar begitu lagunya selesai, ia menoleh kebelakang dan melihat Richard berdiri di belakangnya. Menatapnya dengan pandangan tajam, dia marah karena aku masuk ke sini, Redd berdeham dan berbalik menatap suaminya itu canggung.

"Hai, Alexander. Bagaimana harimu?" Redd tersenyum kikuk saat pandangan Richard tidak berubah sama sekali. "Aku tahu kau akan marah karena aku masuk ke sini, tapi ini keputusanku sendiri dan jangan menyalahkan Nyonya Wood ata Fleur kar-"

Redd terdorong ke belakang dengan keras dan memekik saat Richard meraihnya dan menciumnya cepat. Pria itu menekan tubuhnya dan mengikatnya dengan lengannya, bibir pria itu menekannya, membelitnya dan menjebaknya. Membuat ia lemah dan mengerutkan kening, terdesak oleh ciuman Richard yang tak terduga. Perlu beberapa waktu sampai Richard melepaskannya, Redd menarik nafas dengan rakus. Wajahnya memerah, dan ia tersedak saat berusaha mengais udara. Tangan wanita itu mencengkeram tepi piano, mencoba untuk membuat dirinya tetap duduk dan tidak jatuh merosot ke lantai.

Redd kemudian menatap sang Raja. Sikap tubuh Richard sangat tenang, ekspresinya santai dan pembawaannya menyiratkan seorang Raja sejati, bahkan bisa dikatakan agung. Richard terlihat sehat dan fit, tapi tetap saja Redd tidak bisa menahan dirinya untuk berteriak di depan wajah Richard. "Apa kau sudah gila?!"

"Sudah kuduga, kau akan membaik jika kau marah."

"Kau, apa?"

"Itu lebih baik, kau terlihat lebih baik."

"Kau ini bicara apa, sih?"

Richard menggeleng, "Tidak ada."

Redd mengerutkan wajah dan mencibir, sementara Richard menatap sekeliling ruangan dengan tenang. "Aku lupa kapan terakhir kali aku masuk ke sini."

Redd menegang mendengar ucapan Richard, sebuah rasa bersalah menghantamnya. Kadang ia merasa menyesal, memiliki rasa penasaran yang berlebih. "Richard, kau baik kan?"

Pria itu menoleh, "Kenapa?"

"Ya, aku masuk ke ruangan ini. Karena harusnya kan ru-"

"Bukan urusanku," raja muda itu menaikkan bahu acuh. "Sudah aku bilang jangan batasi kesenanganmu karena ibuku."

"Ya," Redd tidak bisa menahan nada sinisme dalam suaranya. "Katakan itu pada orang yang baru saja menghancurkan hari karena ibunya."

Sikap tubuh Richard berubah dengan cepat, mata pria itu berubah dingin dan rahangnya mengeras.

Reed menggerang sebal. Sial, kenapa bibirku itu tidak punya saringan.

"Eh, maksudku. Buka begitu. Aku," Mata Redd bergulir gugup. "Apa tanganmu baik-baik saja?"

Pandangan Richard masih sama.

"A, ha. Ha, sepertinya ini sudah mau makan malam. Bagaimana jika aku turun ke ruang makan?"

Richard tersenyum miring, "Oh. Sayangnya, 'aku' tidak akan kemana-mana."

"Apa?"

Dengan gerakan cepat pria itu menarik Redd dan menyelipkan tangan di lututnya. Melipatnya dan mengangkat wanita itu di dadanya.

"Tu.., tunggu sebentar." Redd berteriak panik. "Kau mau apa!? Hey! Alexander!"

Raja Muda itu mengacuhkan teriakannya sepenuhnya, Redd memberontak tapi pria itu mengangkatnya semudah ia membawa karung beras. "Turunkan aku! Ini namanya pelecehan!!"

"Aku tidak tahu ada istri yang dilecehkan oleh suaminya."

"Ada! Kau itu pengecualian! Dasar orang gila!"

Richard menaikkan sebelah alis, "Sebagai pasangan suami istri yang baru menikah dua hari. Serpertinya kita sudah memiliki terlalu banyak pertengkaran."

"Aku tidak perduli."

"Sayangnya, ya. Aku mau kau peduli."

Redd menggerutu, sudah tidak bisa lagi memperotes. Karena saat ini mereka sudah berada di lorong istana dan ada lebih dari puluhan prajurit serta pelayan istana yang berkeliaran. Astaga, Redd bersumpah bahwa pria yang menggendongnya ini amat barbar dan pembuat skandal. Dan ia merasa agak miris mengingat bahwa pria ini adalah suaminya.

Sah secara hukum dan agama.

"Kau tahu tidak," pria itu berbisik.

"Apa!?" tanya Redd jengkel.

"Aku baru saja membawa sesuatu yang menyenangkan bagimu."

"Wah. Keren," Redd berucap datar.

"Kau dan sarkasmemu yang tidak tahu terimakasih."

"Kau dan kemampuan memaksamu yang lebih hebat dari presiden komunis."

Richard mendengus mendengar ejekan Redd padanya, ia kemudian membawa langkahnya turun ke lantai tiga. Ia akan mengangguk sesaat pada pelayan dan prajurit yang ditemuinya, sepenuhnya mengabaikan tatapan penasaran dan bisikan penuh gosip dari bibir mereka.

"Sebenarnya kita mau kemana?" wanita itu akhirnya berucap saat mereka masuk ke koridor dengan karpet merah dan lampu gantung putih kecil yang mewah.

"Ruanganku."

"Buat apa?"

"Mengambil hadiahmu."

Redd mencebik, ia kemudian memilih untuk tetap bungkam sampai dua insan itu sampai di ruang kerja Richard. Raja muda itu menurunkan Redd dengan hati-hati dia atas lantai dan berjalan ke samping. Redd menelengkan kepalanya bingung. "Apa?"

"Lihat kotak di depanmu Redd," ucap Richard jengkel.

Ratu itu menggembungkan pipi, matanya kemudian beralih pada kotak coklat di depannya yang ditaruh di atas meja kaca. Kotak itu terbuat dari kayu yang tampak kuat walau terlihat sekali sudah sangat tua. Redd menebak isi kotak itu dalam hatinya.

"Apa ini?"

"Buka saja."

"Bagaimana aku bisa membukanya begitu saja?" Redd bertanya skeptis. "Bagaimana jika isinya ternyata adalah ular atau sekumpulan lebah yang kau pakai untuk membalas dendam padaku?"

"Kenapa kau selalu berfikir jelek tentangku?" Richard mulai jengkel. "Kalaupun aku ingin membalas demdam akau akan memakai cara yang lebih psikopat lagi."

Redd tersenyum puas, "Lihat. Kau mengaku jika kau ternyata psikopat."

"Jangan mulai. Buka saja kotakmu."

Redd mencibir, "Jangan mulai. Buka saja kotakmu."

Dengan malas wanita nomor satu di Chevailer itu membuka kotak itu. Redd mengerutkan kening saat melihat isi kotak yang hanya berisi satu barang.

Sebuah tas, milik anak-anak.

"Ini hadiahmu?" tanya Redd heran. "Untukku?"

"Ya." Richard mengangguk, tampak sangat puas dan senang. "Untukmu. Langsung dari Vatikan."

Perlu beberapa waktu bagi Redd untuk mencerna ucapa Richard, sampai ia kemudian dengan terkesiap dan dengan cepat menarik tas itu keluar dari kotak.

Redd menaruh tas itu di atas meja, menggeser kotaknya jatuh ke lantai. Mengeluarkan bunyi yang langsung membuat Richard berteriak marah. Tapi Redd mengabaikannya, ada suatu hal yang membuat dia merasa bergetar dari kepala hingga kaki dan seperti ada karung yang baru dihantamkan ke dadanya. Ia tidak bisa menahan tangannya untuk gemetaran saat ia menyentuh tas itu dan merasakan tekstur kainnya yang kasar. Karena debu dan waktu.

Tas itu berwarna biru langit, ada gambar boneka perempuan yang disulam timbul dan memakai baju tradisional Belanda. Boneka itu mempunyai rambut hitam yang dikepang dua. Di belakang boneka itu ada gambar kincir angin dan jajaran bunga tulip yang berjumlah enam buah.

Mata Redd memerah saat tangannya meraba gambarnya, merasakan gelombang bentuknya dan sebuah kerinduan yang tidak terjelaskan. Ia kemudian membuka tas ransel itu perlahan dan jatuh berlutut saat melihat isinya. Itu hanya sebuah boneka kelinci biru muda berukuran kecil, bagian perut; telinga; telapak kaki serta hidungnya berwarna putih dan kelinci itu memegang sebuah bantal love merah kecil di tangannya. Itu sederhana, tapi itu membuat Redd terisak karena sesak.

Ia merasa sakit untuk suatu hal yang tidak ia ingat ingat dengan baik. Lebih dari sebagian kecil dari kehidupan yang ia lupakan. Samar-samar ia melihat bayangan rumah dengan dinding pastel dan jembatan kayu. Ia ingat coklat panas dan kincir angin. Ia ingat kue jahe dan puluhan hal lain yang ia lupakan, dan Redd menjerit marah saat ia tidak bisa membawa itu ke pikirannya untuk ia putar kembali dengan jelas.

Richard berlutut di sisi wanita itu dan memeluknya erat saat wanita itu mulai menjerit. Tangannya melingkari tubuh istrinya lembut dan ia menempelkan bibirnya di pelipis Redd, berbisik menenangkan.

"Hey. Tidak apa-apa, jangan menangis."

Redd terguncang saat ia menangis dan tersedak saat ia meraih nafas, "Aku lupa Richard. Aku melupakannya-"

Wanita itu menjerit lagi, membuat Richard memeluknya lebih erat.

"Aku harusnya menginggatnya. Tapi sialan! Aku melupakannya. Tidak ada yang bisa aku ingat! Aku, aku lupa. Aku harus bagaimana? Ayah, ibu," Redd terisak. "Harusnya aku bisa, sialan. Aku harusnya bisa. Aku tidak boleh melupakannya! Kenapa aku tidak menginggatnya? Kenapa!?"

"Hey, Redd." Richard mencengkeram Redd saat wanita itu mulai membungkuk dan memeluk tas itu kuat di dadanya. "Tidak apa, jangan memaksa."

"Aku melupakan ayah, aku melupakan ibu. Aku melupakan semuanya," wanita itu terisak keras lagi. "Ada apa denganku? Ada apa dengan kepalaku?"

"Sst. Tidak apa, tidak apa kau melupakannya. Semuanya akan baik-baik saja."

Richard menarik paksa tas itu dari tangan Redd dan membuangnya ke bawah meja kerjanya. Ia kemudian menarik wanita itu dari lantai dan membaringkannya di sofa. Raja muda itu menekan tombol di mejanya dan tak lama Charles serta segerombolan pelayan masuk. Mereka berdiri di sisi pintu, dan tampak luar biasa khawatir melihat keadaan Ratu mereka yang masih menangis terisak di sofa.

"Yang Mulia," Charles bertannya nyaris panik. "Apa yang terjadi?"

"Murni kesalahku," Richard menjawab cepat. "Harusnya aku tidak menunjukkan kotak sialan itu padanya."

Raja itu menghela nafas, "Ambilkan teh dan selimut."

Charles mengangguk dan menyuruh dua orang pelayan untuk mengambil pesanan Richard. Sementara Sang Raja memilih untuk berlutut di sisi Redd dan meraih tangannya. "Maafkan aku, harusnya aku tidak menunjukkan itu padamu."

Redd terceguk, mencoba menguasai dirinya setelah tangisannya agak mereda. "Bukan salahmu."

"Tapi aku-"

"Aku sudah bilang aku akan menyeretmu keluar jika kau minta maaf lagi Alexander."

Richard menghela nafas, "Baiklah."

Dua pelayan tadi kembali membawa baki berisi teh yang mengepul dan dua tumpuk selimut. Mereka kemudian menaruhnya di atas meja kecil dekat sofa dan menyingkir.

"Minum tehmu."

"Tidak mau," Redd menggeleng.

"Redd ..."

"Tidak."

Redd berputar membelakangi semua orang menghadap punggung sofa, "Aku tidak mau."

"Apa kau mau jadi keras kepala sekarang?"

Tidak ada jawaban.

Richard menghela nafas, "Semua orang khawatir. Aku khawatir padamu, mimum sedikit itu akan menenangkanmu."

"Tidak."

"Sayang, aku mohon, ya?" Itu jenis bisikan permohonan yang terlalu lembut, terlalu sarat dengan kasih sayang dan itu membuat Redd tidak berusaha menahan dirinya untuk terisak lagi.

Wanita itu tidak melawan saat Richard membalik tubuhnya dan membawanya dalam sebuah pelukan. Ia lebih memilih untuk melingkari bahu suaminya dan menangis lagi di lehernya. Terceguk lagi saat Richard kemudian mengelus kepalanya lembut dan berbisik. "Tidak apa-apa, aku di sini. Aku ada bersamamu."

Di suatu sisi kepalanya ada keyakinan bahwa Richard ada disisinya, dan gaung dari ucapan Charlotte bahwa Richard akan selalu ada dipihaknya. Ia tidak yakin, tapi ia tahu bahwa pada akhirnya ia akan percaya sepenuhnya. Bahwa ada akhirnya ia hanya akan mengantungkan hidupnya pada pria yang tengah memeluknya ini.

Bahwa ia akan bertahan hanya demi pria ini, ia akan bernafas dan hidup di sepanjang keberadaanya untuk tetap ada di sisi pria ini. Redd tahu ia akan lemah karenanya di kemudian hari, ia bisa tersingkir kapan saja. Tapi untuk alasan bodoh ia tidak bisa menahan dirinya untuk menaruh jangkar di sisi Richard, jangkar yang mana akan selalu menahannya diam di tempat. Yang akan menahannya saat ia mencoba lari.

"Jangan pergi," Redd di sela tangisnya. "Tetap di sini. Jangan pergi dari hidupku, jangan hilang dari ingatanku."

"Tidak," Richard menjawab lebih cepat dari yang Redd kira. "Aku akan selalu ada di sisimu."

Pria itu mengecup kepalanya. "Aku mencintaimu."

Satu kata.

Tapi itu ukup untuk membuat Redd menangis lebih keras dari sebelumnya. Dadanya menghangat dan tekanan yag menyesakkan menekan kerongkongannya, membuatnya terisak lagi. Ia merasa begitu hancur, tapi kali ini untuk alasan yang begitu menyenangkan. Bahwa ia memiliki seseorang untuk bernafas bersamanya, bahwa ia diharapkan dan ia dicintai. Oleh jiwanya, suaminya.

"Aku mencintamu, jadi jangan khawatir. Kau tidak akan bisa melupakanku karena aku akan selalu berusaha ada di depanmu; disekitarmu, kau akan selalu melihatku dan selalu mengingatku."

Redd menginggit bibir ia kemudian menjauh dan menatap Richard dengan matanya yang basah. Mata hitam itu tampak teduh dan Redd bisa melihatnya, sebuah perasaan yang nyata ada di sana. Sebuah hal yang berharga, yang pria itu berikan hanya untuknya.

"Kau mencintaiku," bisik Redd parau.

"Aku mencintaimu."

"Aku." Redd terceguk pelan, "Aku mencintaimu."

Richard tersenyum dan tertawa hangat, "Ya." pria itu mendesah puas. "Kau mencintaiku."

Dengan derai tawa sekali lagi Raja muda itu mengecup kening Redd dan memeluknya beberapa saat, ia melepasnya sesaat hanya untuk memberikan teh yang mulai mendingin pada Redd. Ia kemudian membawa wanita itu dalam gendongannya ke kamar dan saat melewati pintu ia bisa melihat tatapan penuh semangat dari pelayan-pelayannya dan tatapan bangga dari Charles.

Richard hanya tersenyum tipis dan melangkah perlahan ke arah kamar.

Ia kemudian membaringkan Redd yang sudah tertidur karena kelelahan menangis di ranjang, tanpa suara ia menyalakan lampu tidur dan menyelimuti wanita itu sampai leher. Tersenyum hangat saat tangannya yang diperban tertangkap pandangannya. Pria itu kemudian mengecup kening Redd pelan dan meninggalkan kamar, tak menyadari sosok yang berdiri di sudut gelap ruangan. Mengawasi Redd tenang.

Membawa sebilah pisau.

Bab berikutnya