webnovel

Part 4

Sebuah keajaiban yang tak biasa, Gina bahkan harus mengucek matanya jika memang yang ia lihat adalah anaknya sendiri. Ify yang sudah turun dengan seragam lengkap padahal masih pukul enam lebih tiga puluh menit.

"Ini beneran Ify? Alifya Zahranti?" Gina langsung menyambut heboh.

Ify berdecak sebal. "Bukan, ini Ariana Grande."

"Syukurlah," ucap Gina dengan binar yang sangat bahagia.

"Kenapa, Ma?" tanya Ray, adik Ify yang masih duduk di bangku SMP.

"Ada Ariana Grande di rumah kita."

Kening Ray mengeryit, sementara Ify mendengus sebal.

"Mana, Ma?" tanya Ray sambil menoleh ke kanan dan ke kiri.

Gina menunjuk Ify. "Ini, katanya Ariana Grande."

Ray mendengus tak minat lalu duduk di kursi untuk memulai sarapan pagi.

"Anak sama emak kok sama aja," gerutu Ray tapi terdengar oleh Ibu dan Kakaknya. Sontak saja, Ray merasakan ada yang berbeda, dengan perlahan Ray menoleh dan mendapati Gina serta Ify yang sudah melotot ke arahnya.

"Eh, Mama yang cantik dan Kakak yang cantik, sarapan, yuk!" ajak Ray untuk mengalihkan perhatian Ibu dan Kakaknya.

"Dasar anak durhaka!"

"Dasar adik nakal!"

Gina dan Ify sama-sama menjewer telinga Ray kanan dan kiri membuat sang empunya meringis kesakitan.

"Aduhh ... ampun, Ma, Kak, udah dong, sakit!" ringis Ray.

Untung saja penyiksaan itu tak berlangsung lama sehingga Ray bisa bernapas lega meski telinganya masih sakit dan panas.

Setelahnya, mereka sarapan bersama. Momen yang sangat langka meski tanpa Ayah karena sedang dalam perjalanan bisnis keluar kota sementara Ify yang selalu terlambat bangun tak pernah sempat untuk sarapan pagi di rumah.

"Tumben banget udah bangun, biasanya nunggu matahari tinggi, "sindir Ray sesaat setelah mereka selesai sarapan.

Ify mendengus, jika saja bukan gara-gara Rio yang terlalu berisik menyuruhnya bangun mungkin sekarang Ify masing bergelung selimut dengan nyaman. Menyambung mimpinya bertemu dengan Oppa Jimin.

"Anak kecil diam saja," ketus Ify lalu bangkit dan menyalami Gina.

"Ify berangkat," pamitnya.

Gina tersenyum senang, setidaknya ia tidak harus menguras emosi dan tenaga pagi ini untuk membangunkan Ify. Ia harus tahu, apa yang membuat Ify bisa bangun sepagi ini, mungkin besok akan ia tiru.

"Ma!" Seruan Ray membuyarkan lamunan Gina.

"Mama masih sehat kan? Kok senyum-senyum sendiri?" tanya Ray dengan wajah tanpa dosanya.

"Dasar kamu anak durhaka, mau dikutuk jadi batu?"

Ray menggeleng kuat lalu mengambil tangan Gina dan menciumnya.

"Ray berangkat dulu," teriaknya sambil berlari keluar rumah.

****

Ify sampai di sekolahnya saat jam menunjukkan pukul enam lebih empat puluh lima menit. Masih ada waktu empat puluh lima menit lagi.

Beberapa pasang mata memandang Ify heran, tak biasanya Ify sudah ada di sekolah saat bel masuk saja masih lama berdering. Dengan cuek, Ify melewati mereka dan tak ingin ambil pusing. Toh, dia juga tidak merasa dirugikan meskipun menjadi omongan sana sini.

"Wiihhhh! Kesambet ya, Fy?" tanya Ozy yang tiba-tiba saja sudah berjalan di samping Ify.

Ify memutar bola matanya malas. "Iyain aja," sahutnya singkat.

Bukannya pergi, Ozy semakin gencar menggoda Ify.

"Habis menang lotre? Atau dapet Ilham dari Yang Kuasa?"

"Habis mimpi kalau aku bakalan ketemu cowok rese hari ini!" ketus Ify lalu berjalan sedikit lebih cepat, meninggalkan Ozy yang cekikikan karena berhasil membuatnya kesal.

Sampai di kelas pun, Ify juga menerima tatapan yang sama, seolah Ify adalah alien yang nyasar di bumi. Wajah heran dan terkejut menjadi santapan Ify pagi ini.

"Kamu Ify kan? Nggak kebentur di jalan?" tanya Goldi, yang memang sangat heran dengan Ify. Bagaimana bisa cewek itu berangkat sepagi ini.

"Bukan, ini alien!" ketus Ify lalu duduk di bangkunya dengan kasar. Ia sangat kesal, berangkat siang pasti dihukum, berangkat pagi dikira kebentur. Posisi Ify selalu serba salah.

"Enakan berangkat pagi 'kan?" Ify tersentak saat sebuah suara tiba-tiba saja menyapa gendang telinganya.

Saat Ify menoleh, Rio sudah duduk anteng di kursi yang biasa di duduki Agni.

"Enak mbahmu!" sentak Ify kesal. Ini semua juga gara-gara setan tak tahu diri ini, masih jam lima tetapi sudah usil membangunkan Ify yang masih ingin berselancar dengan mimpinya bersama Jimin.

"Ngomong sama siapa, Fy?"

Ify celingukan bingung mau menjawab saat semua pasang mata yang ada di kelas menatapnya dengan sorot heran.

"Eh, enggak. Aku nggak ngomong apa-apa," sahut Ify sedikit salah tingkah. Ia merutuki kehadiran Rio yang selalu saja membuatnya seperti orang gila yang berbicara sendiri.

Meski tidak percaya, tetapi teman-temannya memilih untuk tidak terlalu mendesak Ify, dan hal itu membuat Ify mendesah lega. Setidaknya ia tidak harus menumpuk kebohongan pagi ini.

Rio terkekeh geli yang dibalas dengan pemotongan tajam oleh Ify, ia tak berani lagi mengumpat karena akan dipandang aneh lagi.

Bel masuk berbunyi tetapi kursi sebelahnya masih kosong. Rio masih betah duduk di kursi Agni. Hal itu membuat Ify sedikit bingung, biasanya Agni menjadi murid rajin yang tak pernah terlambat.

Apa mungkin sakit?

Ify hampir saja menelfon Agni saat dilihatnya gadis itu masuk dengan tergesa, berusaha agar tidak di dahului oleh guru sehingga ia tidak perlu dihukum.

"Darimana aja, Ag? Tumben jam segini baru datang?" tanya Ify saat gadis itu sudah sampai di tempatnya dan sudah duduk.

"Aku ada urusan tadi," ucap Agni sambil mengatur napasnya.

Ify melotot saat menyadari Rio juga tidak berpindah meski Agni sudah duduk di kursinya. Mereka berdua seolah sedang bermesraan dengan Agni yang dipangku Rio. Meski kenyataannya, tubuh Rio tembus.

"Pindah, gak?" bisik Ify agar tak terdengar murid lainnya.

"Hah? Kamu nyuruh aku pindah?" tanya Agni dengan wajah heran. Ia baru saja tiba dan Ify sudah mengusirnya?

"Eh, bukan kamu Ag!" ucap Ify dengan mata yang masih melirik Rio tajam. Rio yang dilirik malah menampilkan seringai miliknya dan tak juga berpindah.

"Fy, kok aku merasa aneh ya duduk di sini?" Agni mengusap tengkuknya yang terasa dingin seolah ada yang meniup.

"Aneh kenapa?" tanya Ify pura-pura tidak tahu meski ia selalu menatap Rio tajam agar pemuda itu segera pergi.

"Nggak tahu, aneh aja. Aku tiba-tiba jadi merinding." Agni bergidik ngeri.

"Mungkin perasaanmu saja," ucap Ify sambil mengepalkan tangannya yang diarahkan ke Rio diam-diam.

Rio terkekeh lalu menghilang. Saat itu juga Agni sudah lebih rileks.

"Sebenarnya kamu kemana, sih? Biasanya kan paling pagi?" tanya Ify heran.

"Emmm, tadi aku ada urusan sebentar makanya aku agak terlambat." Agni memberikan alasan yang terlihat meyakinkan.

Ify menyipitkan matanya curiga, ia merasa Agni sedang menutupi sesuatu.

"Kamu nggak sedang nyembunyiin sesuatu kan?"

"Enggaklah! Memangnya aku nyembunyiin apa?" sanggah Agni cepat. Hal itu semakin membuat Ify curiga, tapi ia juga tidak mau mendesak sahabatnya. Biarlah nanti jika waktunya tiba, Agni pasti akan bercerita dengan sendirinya.

Diam-diam, Agni menghela napas lega. Ia paling takut jika Ify tahu masalah yang ia alami dan ikut terseret masuk ke dalamnya. Cukup ia yang disiksa oleh sang ayah, jangan sampai Ify juga merasakan hal yang sama karena mencoba membantunya.

***

Waktu istirahat digunakan Ify untuk mengisi perutnya yang keroncongan. Semangkuk bakso dengan lima sendok sambil, membuat Ify sesekali mendesis kepedasan.

"Sekalian wadahnya masukin, Fy! Biar tambah pedes."

Bisikan di telinganya membuat Ify tersedak. Gadis itu batuk-batuk hebat hingga mengeluarkan air mata. Hidungnya memerah total.

"Ya ampun, Fy! Makanya pelan-pelan," Agni mengomel sambil menyodorkan gelas berisi air putih.

Ify meminumnya dengan cepat, ia merasa hidungnya pedas dan perih.

Sialan!

Setelah merasa lebih baik, Ify melotot ke arah Rio yang tengah menatapnya dengan sorot bersalah.

"Maaf, nggak sengaja," cengr Rio. Meski begitu ia sama sekali tidak menunjukkan wajah menyesal sama sekali.

"Kamu mau membunuhku? Kalau mati jangan anak-anak, dong!" gerutu Ify sebal.

"Kamu ngomong sama siapa, Fy?" tanya Agni heran.

Ify gelagapan, ia tak menyangka Agni juga mendengar bisikannya.

"Ah, kamu salah denger kali, aku nggak ngomong apa-apa," sanggah Ify.

Agni mengerutkan keningnya tak percaya. "Masa, sih?"

Ify mengangguk mantap, mencoba meyakinkan Agni. "Kan aku tadi tersedak, gimana aku bisa ngomong sendiri?"

Agni mengangguk-angguk membenarkan opini Ify. Diam-diam Ify menghela napas lega karena Agni percaya dengan ucapannya. Mulai saat ini ia sebaiknya lebih hati-hati kalau mau ngomong sama Rio.

"Pulang dari sekolah nanti, kamu harus ke rumahku!" Ify hampir tersedak tapi buru-buru minum air putih yang tinggal setengah. Ia menghela napas lega, tersedak sangat menyakitkan, apalagi makanan yang ia makan sangat pedas.

"Ag, aku ke toilet dulu, ya?" pamit Ify ke Agni. Ia juga memberikan kode kepada Rio untuk mengikutinya.

Ify sampai di taman belakang, dimana ia pertama kali melihat Rio.

"Bisa nggak, sih? Nggak usah nongol sembarangan. Kamu hampir membuatku mati tersedak tahu nggak?" semprot Ify begitu Rio muncul di hadapannya.

"Cuma mau ngingetin janji kamu, nanti sepulang sekolah datang ke rumahku," ucap Rio dengan tampang tanpa dosanya.

"Hanya mengingatkan tapi hampir membuatku mati tersedak?" tanya Ify dengan pandangan membunuh miliknya.

"Santai aja ngomongnya," sungut Rio saat merasakan percikan air di wajahnya.

Ify merengut, ia masih kesal dengan tingkah usil Rio yang menjahilinya saat makan. Emang dia pikir tersedak itu tidak sakit?

"Oke! Aku akan ke rumahmu nanti. Tapi tolong, jangan muncul tiba-tiba. Masih untung aku nggak punya riwayat penyakit jantung, memangnya kalau aku mati mau tanggung jawab, heh?"

"Mati serangan jantung mana ada hukumnya?" Rio geleng-geleng dengan tingkah aneh Ify. Yang benar saja ia harus tanggung jawab?

"Terserah! Yang penting jangan muncul lagi setelah ini, sampai muncul lagi, awas aja, aku panggilan paranormal biar ngusir kamu dari sini!" ancam Ify dengan wajah bersungguh-sungguh tetapi mengundang kekehan dari Rio.

"Siap, kapten!"

****

See u next chapter 👋👋

Thanks

_Dee

Sidoarjo, 07 Maret 2020

Bab berikutnya