webnovel

Status Quo

Seisi kelas memerhatikan Rafael. Terlihat jelas ekspresi penolakan dari mereka semua. Rafael sendiri sadar akan hal itu. Maka daripada itu ia memberanikan diri untuk menyampaikan sesuatu.

"Maaf pak sebelum itu saya ingin menawarkan suatu hal," ucap Rafael sedikit menampakkan senyuman.

Menanggapi ucapannya, Saragi hanya mengangguk. Lalu Rafael segera berdiri serta menghadap murid-murid lainnya.

"Teman-teman ... apakah di antara kalian ada yang ingin menjadi ketua kelas?" ujar Rafael datar ke seluruh murid-murid lainnya.

Namun sayangnya, mereka semua langsung membuang muka dan tak ingin menjawab pertanyaan itu. Rafael mencoba memancing mereka.

"Bukankah kalian semua adalah murid-murid berprestasi dan jenius yang dipilih untuk menempati kasta tertinggi. Lalu kenapa tidak ada yang mau mengambil jabatan ketua kelas?" Ujaran Rafael tetap tak mendapatkan respon apapun.

Masih dalam keadaan sunyi nan tegang. Rafael sedikit terdiam sembari memikirkan sesuatu yang harus dia katakan untuk membujuk murid lainnya. Hingga akhirnya, dia sudah menemukan cara lainnya. "Ya sudah, lagipula aku bukanlah orang yang suka memaksa. Kalau begitu ...."

Rafael sedikit tersenyum dan di balik senyuman itu telah terdapat suatu rencana. Dia mulai mempersiapkan diri untuk berbicara selantang mungkin. "Kalau begitu ...," sesaat telah siap dia langsung, "apakah kalian semua menolakku untuk menjadi Ketua Kelas? Jika iya ... angkat tangan kalian!!!" seru Rafael kepada seisi kelas.

Para murid terkejut dengan nada bicaranya yang tidak biasa. Siapa sangka di balik tampang datar dan kalemnya, dia dapat berbicara selantang itu. Mereka semua mulai mengacungkan tangannya. Rafael tersenyum licik dan mulai melirik Saragi. Dia kembali duduk dan mengucapkan sesuatu ke Saragi. "Bagaimana Pak? Saya tidak bisa mempimpin jika bahwasannya anggota kelas sendiri banyak yang menolak."

Saragi belum mengubah ekspresinya. Dia masih terlihat berpegang teguh pada kemauannya untuk menjadikan Rafael sebagai ketua kelas. Saragi menunjuk ke arah belakang dan mengucapkan. "Di sana masih ada beberapa murid yang nampaknya mendukung keberadaanmu."

"Ayolah pak, suara terbanyak sudah dapat disimpulkan ...," balas Rafael kesal.

"Silahkan turunkan tangan kalian. Jadi kamu sendiri menolak menjadi ketua kelas?" ujar Saragi.

"Kalau iya kenapa? Apakah saya akan dikeluarkan atau dipindahkan ke kelas lain?" balas Rafael menatap serius gurunya itu.

Suasana kelas menjadi tegang karena perbincangan Rafael dan Saragi kian memanas.

"Saya tidak akan melakukan dua hal itu, meskipun kamu menolak jabatan ketua kelas, akan tetapi silahkan berbicara kepada ayahmu," balas Saragi.

Rafael mulai kesal. Dia merasa terpojok hanya karena hal tersebut. Namun, dirinya tak ingin menyerah, dia mulai menyeret beberapa murid lainnya.

"Meskipun begitu, tidakkah bapak lihat jika sebagian besar murid di kelas ini menolak saya. Bagaimana bisa saya menjadi ketua kelas jika anggota kelasnya sendiri tidak menerima akan hal itu!!!" tegas Rafael.

Saragi terdiam. Dia mulai melihat ke arah murid-murid yang lain.

"Arkan! Kenapa kamu menolak Rafael menjadi ketua kelas?" tanya Saragi menunjuk Arkan.

"Saya menolak dia karena nilainya lebih rendah dibandingkan saya," ketus Arkan.

Saragi menatap tajam Arkan dan berkata, "dirimu hanya bisa menilai orang dari luar."

"Hah? Tak perlu menilai dalamnya juga pak! Kenyataannya saya lebih unggul dibandingkan dirinya," balas Arkan sambil menunjuk Rafael.

"Arkan!" Ivan turut membuka suara.

Arkan merespon panggilan Ivan dengan tatapan sangar. Mereka berdua mulai saling bertatap tajam.

"Kau hanya belum tahu siapa sebenarnya Rafael ini, sebaiknya kau menjaga ucapanmu," sambung Ivan.

"Ah kau yang cuma ngandelin Otot diem aja!" balas Arkan.

Rafael sendiri merasa risih melihat perdebatan mereka berdua. Selain itu, dia heran dengan sikap Ivan yang tiba-tiba saja membelanya. Saragi hanya memegang jidadnya dan mencoba memikirkan jalur alternatif untuk perselisihan ini.

Sepertinya murid yang duduk di belakang sana bernomor absen sepuluh mengacungkan tangannya. Jika dilihat dari penampilannya, berambut coklat cukup lebat berkulit putih berparas layaknya orang barat. Saragi mempersilahkannya.

"Mohon maaf mengganggu perdebatan kalian. Nama saya Edward Henry ingin menyampaikan sebuah usulan, jadi daripada debat begini ...."

Para murid lainnya mulai memperhatikan Edward. Saat ini Edward tersenyum percaya diri dan ingin menyampaikan sesuatu yang baginya dapat menyelesaikan permasalahan ini.

"Arkan ...," panggil Edward.

"Kenapa?!" jawabnya bingung.

"Jika dirimu berkata begitu ... apakah kamu ingin menjabat sebagai ketua kelas?" tanya Edward tersenyum.

Arkan terdiam setelah mendengar perkataan Edward. Akan tetapi, setelah dia pikir-pikir ada bagusnya juga menjadi pemimpin kelas tertinggi di sekolah ini. Arkan tersenyum dan menampakkan sebuah niat tersembunyi.

"Boleh juga kalau begitu. Hanya saja apakah cuma aku yang ingin mencalonkan diri? Ayolah gimana nih dengan yang lainnya?" balas Arkan penuh percaya diri.

"Tenang dulu Arkan ... kamu tak sendirian. Saya Edward Henry ikut mencalonkan diri sebagai Ketua Kelas," sahut Edward.

Seisi kelas masih saja diam seperti biasa. Bahkan tak ada yang antusias terhadap ucapan Arkan dan Edward, kecuali Ivan. Ivan sendiri nampaknya tak terima akan hal itu.

"Woi Kalian Berdua!!! Seenaknya saja mencalonkan diri. Pak Saragi!!" sergah Ivan.

"Kalau begitu bapak perbolehkan kalian berdua mencalonkan diri," balas Saragi.

Ivan masih saja tidak terima. Dirinya menyanggah hal tersebut, "lalu bagaimana dengan Rafael? Bukankah dia ada di kelas ini karena potensinya dalam menjabat-"

"IVAN!!!" teriak Rafael.

Lagi-lagi Rafael mencuri perhatian seisi kelas. Saat ini dia merasa dipermainkan oleh suasana dan dirinya sangatlah kesal akan hal itu.

"Sudah cukup Ivan ... kau tak perlu membelaku ... jika begini jadinya ...," ucap Rafael bernada rendah.

Rafael mengepalkan kedua tangannya. Pada akhirnya, dia merasa dipaksa untuk ke sekian kalinya.

"Mari kita selesaikan semua ini dengan musyawarah ... dan mungkin saja saya akan memilih Edward ...," ucap Rafael tersenyum sembari memandangi sekitar.

Saragi geleng-geleng kepala terhadap perkataan Rafael. Beberapa murid sedikit menertawakan hal itu.

"Rafael ... meskipun begitu kamu tetaplah Calon Ketua Kelas ... dan tak memiliki hak suara untuk memilih," ucap Saragi.

"HAH?! Memangnya mereka berdua saja tidak cukup?" pekik Rafael.

Saragi hanya terdiam tanpa membalas ucapan Rafael karena dia telah merencanakan sesuatu. Rafael sendiri nampaknya lelah dan menyerah akan keputusan wali kelasnya. Selain itu, dia percaya jika dirinya mempunyai beberapa kemungkinan untuk tidak terpilih sebagai Ketua Kelas.

>===o===<

Rafael Tendranatha POV

Edward dan Arkan sudah cukup menjadi sainganku saat ini. Apalagi mereka sudah masuk ke dalam suasana yang secara tak langsung telah kuciptakan. Aku sudah mengetahui kemampuan mereka berdua. Arkan dengan kemampuan matematikanya dan Edward dengan kemampuan yang setara dengan Clarissa, hanya saja kemampuannya masih di bawah gadis itu.

Namaku dan kedua orang itu sudah ada di papan tulis. Entah cara apa yang akan digunakan Pak Saragi untuk musyawarah kali ini. Kuharap aku tak dapat suara satu pun, hanya saja hal tersebut adalah kemungkinan terkecil saat ini. Pak Saragi kelihatannya akan menjelaskan sesuatu.

"Bapak akan melakukan voting untuk ketiga orang ini. Peraturannya adalah setiap calon ketua kelas dilarang keras mengajak, menghasut, memprovokasi, dan memaksa murid-murid lainnya. Selain itu, setiap calon tidak memiliki hak suara. Setiap murid berhak bersikap netral dengan catatan sifat netral itu sementara yang artinya setiap murid yang netral hari ini, paling lambat harus memberitahu pilihannya tiga hari setelah pemungutan suara," jelas Pak Saragi.

Kalau begini jadinya, setiap calon hanya bisa diam dan mengandalkan image yang telah mereka perlihatkan sedari tadi. Kurasa peraturan ini berat sebelah jika dipandang dari persepsi masing-masing calon ketua kelas.

"Untuk mempersingkat waktu Bapak akan langsung menanyakan sesuai nomor absen ... di mulai dari absen dua ...," ucap Pak Saragi mulai membuka daftar absen.

Bukankah yang seperti ini jadinya lebih lama ya. Kurasa lebih baik jika dilakukan dengan cara pemilu, hanya saja kalau sudah begini mah aku pasrah aja.

Pak Saragi mulai membaca daftar murid.

"Nomor Absen Dua Aqilla Elvina, kamu mendukung siapa?" tanya Pak Saragi.

"Saya mendukung Arkan," jawab Aqilla.

"Kamu tidak dipaksa, kan?"

"Tidak pak ... saya kenal dekat dengannya."

"Oh oke ... selanjutnya Absen tiga Amilda Tinesha, kamu memilih siapa?"

"Edward ...," jawab Amilda.

Arkan dan Aqilla nampaknya terkejut dengan apa yang diucapkan Amilda. Wajar saja mungkin mereka berteman dan Amilda berniat mengkhianati mereka.

"Maksudmu apa!!! Kenapa kamu gak milih Arkan?" bentak Aqilla.

"Hah? Ini kan hak milikku untuk memilih. kenapa kalian yang ngatur?" sahut tegas Amilda.

"Oh Jadi gini yaa yang namanya teman!" ujar Aqilla.

Amilda tersenyum. "Teman? Teman macam apa yang maunya hanya memanfaatkan kelebihan teman sendiri!"

Aqilla terbungkam oleh ucapannya. Sedangkan Arkan hanya bisa diam menyimak kedua teman gadisnya itu.

"Sudah cukup ... harap tenang! Mari kita lanjutkan agar cepat selesai," tegas Pak Saragi.

Hari kedua dan kita telah menemukan dua orang gadis yang nampaknya baru saja saling bermusuhan. Aku sendiri penasaran, pengaruh apa yang dimiliki oleh seorang Edward.

"Absen Empat Bryan Nugraha, memilih siapa?"

"Saya pilih Edward pak," jawab Bryan.

Mereka berdua disogok, kah? Ah gak mungkin lah, meskipun Edward itu berasal dari keluarga yang tajir. Ini kan hari kedua dan mereka mungkin saja baru berkenalan.

"Selanjutnya ... Absen Lima Clarissa Dorothy, dari ketiga orang ini siapa yang kamu dukung?"

"Maaf pak ... berikan saya waktu untuk berpikir ...."

"Oke kalau begitu ... untuk saat ini kamu netral?" ragu Pak Saragi.

"Mungkin ...," jawab Clarissa.

Aku tau Clarissa saat ini berada di posisi yang membingungkan. Tempat duduknya berada tepat sebelah Edward dan di depannya ada orang-orang yang mendukung Edward. Jika aku menjadi Clarissa pastinya aku akan bersikap netral atau mengikuti ajakan yang di sebelahnya.

"Selanjutnya Absen Enam Danu Arkana ...."

"Saya Netral pak."

"Kenapa netral?' tanya Pak Saragi

"Dari ketiga orang tersebut tak ada yang saya ketahui latar belakang dan sifatnya ...," ucap Danu.

"Oke bapak mengerti ...."

"Absen Tujuh Dika Paramartha memilih siapa?"

"Saya dan Absen Delapan Darren mendukung Arkan."

"Oh oke ... Absen Delapan Darren Januar. milih Arkan?"

"Iya Pak," jawab Darren.

Hasil perolehan sementara saat ini. Arkan mendapatkan tiga suara dan Edward dua suara, sedangkan aku belum mendapatkan dukungan sama sekali. Bagus lah kalau begitu, aku lebih baik menjadi murid biasa.

"Selanjutnya Absen Sembilan Elena Halskey ...."

"Saya memilih Edward."

Enaknya Edward didukung oleh gadis-gadis yang cantik, apalagi Elena itu sepertinya cewek blasteran asia dan barat. Mungkinkah setengah cewek di kelas telah tertarik dengan ketampanan Edward? Udah tampan tajir pula. Apalah dayaku yang hanya muka-muka ansos begini. Apakah Hyuki akan mendukung Edward juga ya?

"Absen Sebelas Hyuki Kina ...."

"Saya Netral ... karena saat ini dari ketiga orang itu tak ada yang bisa dipercaya," ucap dingin Hyuki.

"Hah maksudmu?" tanya Arkan heran.

Hyuki sepertinya akan mengucapkan hal-hal yang menyakitkan kali ini.

"Maaf ... jujur saja. Inilah yang telah kuketahui. Arkan belum mempunyai pengalaman sebagai ketua kelas, meskipun beberapa murid di kelas ini akrab dan mengenalnya. Edward, menurutku tidak cocok menjadi ketua kelas mengingat kemampuan dan prestasinya," ujar Hyuki.

"Wah hebat juga tuan putri kita ini ... kalau memang begitu ucapanmu. Kenapa kamu tidak mencalonkan diri?" sahut Edward.

"Aku hanya tidak ingin sibuk saja, mengingat menjadi ketua kelas bukanlah tugas yang enteng dan tidak untuk pamer-pamer kekuasaan," balas Hyuki.

"Lalu bagaimana pendapatmu mengenai Rafael?" Arkan kembali membuka suara.

kenapa coba harus nyeret-nyeret namaku juga? Ya sudah mari kita dengarkan pendapat tuan putri ini tentang diriku.

"Latar belakang Rafael masih tidak jelas ... meskipun ada desas-desus yang mengatakan bahwa dia itu-"

Aku harus mengambil tindakan.

"MAAF PAK! Bisa dilanjutkan votingnya?" potongku sedikit lantang.

Oke aku menginjak ranjau. Seisi kelas lagi-lagi memerhatikanku dan Hyuki menampakkan wajah kesalnya. Tinggal menunggu waktu sampai semuanya tau siapa diriku yang dulu.

"Oke ... oke ... harap tenang ... tetap pada peraturan ketiga calon ketua dilarang keras mengajak, menghasut, memprovokasi, dan memaksa murid-murid lainnya. Selanjutnya Absen Dua belas Ivan Megantara mendukung siapa?"

"Saya dan Absen Tiga Belas Luna Lusiana mendukung Rafael Pak!!" tegas Ivan.

"Eh enak aja bawa-bawa namaku!" sahut Luna.

"Lah tadi kamu sendiri kan yang bilang ...," desak Ivan.

"Ah sudahlah! Saya memilih Rafael Pak!" ketus Luna.

Kenapa situasinya menjadi begini? Kukira hanya Ivan yang mendukungku. Mungkin lebih baik karena yang masih bersaing adalah Arkan dan Edward.

"Absen Empat Belas Nadia Askiara ...."

"Netral Pak!"

Entah kenapa aku merasa kesal dengan murid-murid yang saat ini bersikap Netral.

"Selanjutnya Absen Lima Belas Rio Astra."

"Saya memilih Rafael Pak," sahut datar Rio.

Astaga naga ... kalau begini mah imbang semua suaranya. Nih orang siapa coba, tiba-tiba memilihku. Padahal aku sendiri tidak tahu siapa dia. Akan tetapi, orang yang misterius seperti dirinya terkadang sangat berguna.

"Absen Tujuh Belas Riki Pratama."

"Maaf saja dari kesekian murid yang Netral, saya sendiri juga Netral ... mengingat saya masih ragu dengan Arkan dan Edward, sedangkan Rafael belum mengakui kemampuannya."

Kenapa Riki harus menyeret-nyeret namaku lagi? Sampai saat ini kurasa Riki berusaha memancingku.

"Absen Delapan Belas Stephanie Laurencia."

"Edward ...," sahut Stephanie.

Saat ini Edward berada di puncaknya dengan perolehan suara terbanyak. Jika suara murid-murid yang tersisa adalah Netral maka hasilnya Edward yang menang.

"Selanjutnya Absen Sembilan Belas Skyla Almira."

"Saya Netral pak ..."

Jika kulirik ekspresi Arkan sepertinya dia mulai pasrah dan kesal. Mengingat suara yang dia dapat berjumlah sama sepertiku.

"Terakhir! Absen Dua Puluh-"

"Sebentar Pak! Saya sudah menentukan Pilihan ...."

Clarissa? Sepertinya dia sudah menentukan pilihannya. Kenapa dia melihatku? Firasatku tidak enak rasanya.

"Saya Absen Lima Clarissa Dorothy memilih Rafael!"

Astaga dugaanku benar sekali. Sekarang jumlah suaraku setara dengan Edward. Wajah Arkan bertambah Kesal dan aku tahu rasanya jika tertinggal satu suara dibandingkan calon-calon lainnya.

"Absen lima yaa ... oh oke. Terakhir! Absen Dua Puluh Vika Vanissa."

Tunggu sebentar, sepertinya aku sedikit mengingat nama gadis ini. Hanya saja, meskipun tidak asing tapi tetap saja siapa dia? Aku mulai menengok ke belakang untuk melihat wajahnya. Nampaknya gadis tersebut mulai bergumam.

"Hal yang sama tak harus terjadi pada kelas ini juga ... orang itu tak boleh mengambil jabatan ketua kelas!" tuntut Vika mulai menatapku dengan wajah penuh amarah.

Selain itu, dia menunjukkan ekspresi yang cukup mencurigakan dan sepertinya dia khawatir akan suatu hal. Namun, tatapannya itu memiliki maksud tersendiri jika ucapannya barusan adalah untukku. Aku sendiri tak ingat pernah satu sekolah dengannya, meskipun namanya sedikit terbesit di pikiranku. Apa yang pernah kuperbuat kepadanya? Orang yang dimaksudnya mungkin diriku.

"Ekhem ... apakah ada masalah?" tanya Pak Saragi.

"Enggak ada ...."

"Ayolah jika ada sesuatu ceritakan saja ...," bujuk Pak Saragi.

"Sudah kukatakan TIDAK ADA!!! Aku memilih Arkan!" bentak Vika.

Nampaknya Vika terlalu berlarut-larut dalam emosinya. Maka daripada itu, dia tak bisa membaca situasi saat ini. Seluruh penghuni kelas kelihatannya kesal dengan pilihan Vika. Hanya karena pilihan dari gadis tersebut voting hari ini berakhir imbang tanpa menghasilkan suara dukungan terbanyak.

>===X===<

Cerita ini adalah fiksi.

Semua orang, kelompok, tempat, dan nama yang muncul di cerita ini.

Tidak ada kaitannya dengan dunia nyata.

Nächster?

Zweifel jedes Einzelnen

Bab berikutnya