Ketika Qiao Mianmian bangun keesokan harinya, hanya tinggal ia sendiri yang berada di ranjang besar itu. Namun, terdengar suara air mengalir dari kamar mandi. Ia duduk di ranjang dengan selimut di kepalanya dan ia terdiam. Beberapa detik kemudian, barulah semua ingatannya kembali. Wajahnya memucat setelah ia mengingat-ingat apa yang terjadi semalam.
Saat Qiao Mianmian sedang termenung, suara air di kamar mandi tiba-tiba berhenti. Ia pun berhenti berpikir dan segera melompat dari ranjang. Lalu, ia cepat-cepat mengambil pakaian yang tercecer di lantai dan mengenakannya. Setelah itu, ia berbalik badan dan perlahan pergi.
———
Qian Mianmian belum terlalu jauh melangkah saat terdengar suara klik dan pintu kamar mandi terbuka. Mo Yesi keluar dari kamar mandi dengan hanya berbalut handuk hingga menunjukkan pundaknya yang lebar, dadanya yang berotot dan kuat, pinggangnya yang ramping, serta kedua kakinya yang sangat jenjang. Rambut pendeknya basah dan agak sedikit berantakan.
Mo Yesi memandang sekilas ke dalam ruangan. Ketika ia melihat bahwa ranjang yang berantakan itu sudah kosong, ia terdiam. Ia pun mengalihkan pandangan ke sisi ranjang. Dengan mata yang agak berat, ia berjalan ke sisi ranjang untuk mengambil ponsel dan menelepon Lu Rao.
Suara malas Lu Rao segera terdengar dari ujung telepon. "A Si, ada angin apa hari ini sampai kau berinisiatif meneleponku?"
Mo Yesi mengabaikan gurauan Lu Rao dan langsung berkata, "Tadi malam ada seorang wanita di kamarku."
Tiba-tiba telepon menjadi hening.
"Uhuk! Uhuk!" Lu Rao yang berada di seberang telepon sepertinya tersedak hingga batuk. "A-apa yang kau katakan? A Si, apakah yang kau katakan sama dengan yang aku pikirkan? Kalian... kalian sudah melakukan hubungan itu?"
Mo Yesi hanya menjawab singkat, "Ya."
"Uhuk-uhuk…" Batuk Lu Rao kini semakin hebat karena ia sangat terkejut. Ia merasa sama terkejutnya seperti melihat matahari terbit dari barat. "Bukankah kau benci jika ada wanita yang menyentuhmu? Waktu itu, pernah ada seorang wanita yang tidak sengaja menyentuhmu. Aku ingat setelah itu kau segera mencuci tanganmu sampai sepuluh kali."
"Ya."
Mo Yesi tak hanya tidak merasa jijik pada wanita yang bersamanya tadi malam. Bahkan, ia juga menyukai aroma tubuh wanita itu. Ia pun tidak bisa menahan diri hingga ingin lebih dekat dengan wanita itu. Karenanya, ia sekarang menelepon Lu Rao hanya untuk memahami apa yang terjadi padanya.
"Kau ingin memberitahuku, tiba-tiba penyakitmu membaik?"
"Aku juga tidak tahu." Mo Yesi terdiam selama beberapa detik dan sedikit mengernyit. "Wanita itu sepertinya tidak sama dengan wanita lainnya. Tubuhku tidak menolaknya dan malah sangat suka saat wanita itu mendekatiku."
Ini belum pernah terjadi sebelumnya.
"Selain itu juga..." Mo Yesi melihat ke bawah ranjang yang berantakan. Setelah terdiam, ia berbicara dengan pelan, "Semalam aku tidur selama enam jam, tanpa terbangun dan tanpa mimpi buruk itu lagi."
Lu Rao terkejut, lalu bertanya, "Bagaimana situasinya?"
Mo Yesi menyipitkan matanya. Ia mengulurkan tangan dan menggosok alisnya. Suaranya sedikit serak. "Jika aku tahu, aku tidak akan meneleponmu. Aku sedang berpikir, apakah ini ada hubungannya dengan wanita itu?"
"Wanita itu yang membuatmu kehilangan kepolosanmu?" tanya Lu Rao untuk memperjelas, namun Mo Yesi hanya bisa terdiam. Lu Rao pun segera menyingkirkan lelucon yang dibuatnya dan dengan serius berkata, "Apakah kau ingin tahu apakah itu ada hubungannya dengan wanita itu? Caranya sangat sederhana. Kau bisa mendekati wanita itu sekali lagi. Bukankah dengan begitu kau akan tahu?"
Mo Yesi lagi-lagi hanya bisa terdiam sehingga Lu Rao kembali berbicara, "A Si, aku tidak bercanda. Jika semua ini benar-benar karena wanita itu, maka dia adalah penyelamatmu."
Penyelamat? batin Mo Yesi.