Ketika Mary dan Nadya datang dengan baki berisi minuman mereka, Haoran mempersilakan mereka duduk dengan ramah. Bagaimanapun, saat perjalanan karyawisata ke Paris yang lalu ia sudah mengenal Nadya dan menghabiskan waktu seminggu bersama.
"Terima kasih, kau sudah mentraktir kami," kata Mary dengan wajah berseri-seri.
"Sama-sama," Haoran mengangkat bahu. "Aku hanya ingin merayakan keberhasilan ini."
"Tapi.. kau hebat sekali.. bisa pindah dari kelas F ke kelas A. Apa rahasianya?" tanya Mary dengan penuh rasa ingin tahu. "Kalau aku tahu kalian mengincar masuk kelas A, aku akan belajar lebih keras supaya bisa tetap di kelas A."
Haoran mengerling ke arah Emma secara tidak kentara, baru menjawab pertanyaan Mary. "Aku punya guru les yang sangat bagus. Aku juga punya motivasi besar untuk pindah ke kelas A karena aku sangat menyukai Emma dan ingin berada satu kelas dengannya."
Emma seketika batuk-batuk saat mendengar kata-kata Haoran yang terang-terangan. Ia mendelik ke arah pemuda itu dan berusaha memahami kenapa Haoran bicara seperti itu.
"Haoran..." desis Emma. Ia menoleh ke arah Mary dan Nadya dengan pandangan meminta maaf.
Tetapi anehnya, kedua gadis itu tidak tampak terkejut. Mary hanya mengangguk-angguk paham.
"Jadi kau menyukai Emma?" tanyanya dengan suara pelan.
Haoran mengangguk membenarkan. "Benar. Aku menyukai Emma sejak ia pertama datang ke sekolah. Aku tahu kalau aku tidak punya peluang mendekatinya kalau aku masih terus ada di kelas F, sementara dia adalah bintang sekolah. Karena itu aku menjadi termotivasi untuk belajar giat agar aku tidak terlalu memalukan di depannya."
"Kau tidak memalukan," kata Emma. "Kau sengaja menggagalkan ujianmu... kau punya alasan sendiri."
"Intinya sama saja.. aku memang sengaja ingin pindah ke kelas A agar aku bisa mendekati Emma," kata Haoran menegaskan. Ia menatap Mary dengan pandangan serius, tetapi tidak berkata apa-apa.
Mary mengerti bahwa saat itu Haoran ingin memberitahunya agar ia tidak lagi menyimpan perasaan kepada pemuda itu karena Haoran sudah menyukai gadis lain. Dada Mary seketika menjadi sesak. Ia lalu menunduk dan menyesap minumannya, tidak berkata apa-apa lagi.
[Kenapa kau berkata begitu? Kau tahu Mary menyukaimu.] kata Emma kepada Haoran tanpa suara.
[Justru aku ingin berterus-terang kepada Mary supaya dia mengerti bahwa sampai kapan pun aku tidak akan membalas perasaannya. Aku ingin dia memfokuskan energi dan perhatiannya pada hal lain atau orang lain.. WOwww... kita bisa bertelepati rupanya! Ini keren sekali!!!]
"Lalu, Emma... apakah kau menyukai Haoran?" tanya Nadya penasaran. Ia mengerti apa maksud Haoran bicara seperti itu kepada Mary, dan ia setuju bahwa Mary memang harus melupakan perasaannya untuk pemuda itu. Tetapi pada saat yang sama ia juga ingin tahu bagaimana status hubungan Emma dan Haoran saat ini.
"Aku?" Emma menunjuk dirinya sendiri. Ia lalu menoleh ke arah Haoran. "Tentu saja? Apa yang tidak kusukai dari Haoran? Dia orangnya lucu dan menyenangkan. Murid-murid kelas kita juga menyukainya, kan?"
Saat mendengar Emma memujinya, Haoran membusungkan dadanya dengan bangga. Ahh, ia tahu Emma menyukainya, tetapi tetap saja ia senang mendengar kekasihnya memujinya di depan orang lain.
Nadya hanya memutar matanya mendengar jawaban Emma dan sikap Haoran. Tetapi ia tidak mendesak. Ia mengerti bahwa Emma dan Haoran mungkin memang sudah memiliki hubungan istimewa tetapi tidak ingin mengungkapkan status mereka secara terbuka.
Setelah acara makan siang bersama di kafetaria itu, Mary menghindari Emma selama beberapa minggu. Hatinya masih sakit karena mengetahui bahwa laki-laki yang ia sukai ternyata menyukai gadis lain.
Namun, setelah satu bulan berlalu, pelan-pelan Mary bisa melupakan rasa sakit hatinya dan kembali bersikap baik kepada Emma. Nadya yang bersikap netral juga kembali menjadi teman Emma.
Kehidupan Emma di sekolah, di tahun terakhirnya di SMA St. Catherine menjadi sangat menyenangkan. Haoran dan teman-temannya masih belajar bersama setiap hari Rabu dan Jumat. Setiap Sabtu Emma juga akan menghabiskan waktunya bersama Haoran, kadang di rumanhnya, kadang di kapal, dan sesekali mereka mengajak keempat teman mereka bersama.
Dalam waktu senggangnya, Emma juga masih mendalami teknik meretas dan sesekali masuk ke dalam sistem keamanan perusahaan dan lembaga pemerintah untuk mengasah ketrampilannya. Ia tidak mengira bahwa ia ternyata sangat berbakat dalam computer science dan sempat memikirkan untuk mengganti jurusan kuliahnya nanti.
"Menurutmu, kapan kau bisa mulai meretas ke SpaceLab?" tanya Haoran suatu kali.
"Hmm.. saat ini aku belum berani. Kalau aku mencoba sekali dan gagal.. mereka akan langsung menemukanku. Aku tidak mau mengambil risiko itu," jawab Emma. "Kalau aku sudah memiliki kemampuan setara Goose, barulah aku akan mencobanya."
"Hmm.. Goose pernah bilang bahwa ia juga seorang genius dan ia belajar sendiri sejak ia berumur 12 tahun. Ketika ia berumur 18 tahun, ia sudah malang melintang menjadi hacker yang disegani di Darknet."
"Berarti kurang lebih selama lima tahun ya?" Emma merenung. "Aku baru mulai... entah aku perlu waktu berapa lama."
"Tetapi kau tidak perlu meretas semuanya. Kau hanya perlu masuk ke sistem mereka dan menggunakan kode akses Ren Hanenberg.. Kurasa kau tidak perlu bertahun-tahun untuk melakukannya," kata Haoran menghibur. "Mulai minggu depan aku juga akan magang di kantor ayahku. Aku akan membantumu masuk lebih cepat."
"Terima kasih..."
.
.
>>>>>>>>>>
Dari penulis:
Teman-teman, saya beberapa hari ini mulai dapat ilham untuk menulis novel baru. Ini novel laki ya sebenarnya, tetapi perempuan juga bisa baca sih. Judulnya "Ashes Of Gods" atau kalau dalam versi Indonesia, judulnya "Abu Para Dewa". Ceritanya masih lambat sih. Saya paling publish 2x seminggu dulu. Nanti klo The Alchemists tamat, saya akan publish lebih teratur.
Cuss, yang mau simpan ke perpustakaan dulu, silakan ya. Ini dia sinopsisnya:.
.
ASHES OF GODS
Sirius hidup untuk dendam. Saat ia berumur 8 tahun dan dibuang di tengah hutan, Putri Myria dari kerajaan Parrel menemukannya dan merawatnya seperti adiknya sendiri. Keluarga raja memberi Sirius perlindungan, kasih sayang, dan kemanusiaan. Ia dianggap penting, dihargai sebagai manusia, dan diperlakukan seperti anak kandung sang raja. Hingga suatu kali, pangeran putra mahkota penguasa Kerajaan Es yang dingin datang dan menghancurkan semuanya.
Ia jatuh cinta pada Myria dan menuntut diadakan pernikahan politik. Karena Parrel tidak mau menyerahkan sang putri untuk menikah dengan pangeran penguasa istana es, maka seisi ibukota Parrel diserang hingga hancur dan sang putri direbut secara paksa.
Saat itu Sirius berumur 15 tahun. Ia berhasil melarikan diri lewat gorong-gorong di penjara bawah tanah dan bertekad untuk membalas dendam. Satu-satunya cara untuk menyelamatkan Myria dan membalaskan kematian keluarga angkatnya, adalah dengan menjadi lebih kuat dari orang-orang Istana Es.
Dengan tekad itulah, maka Sirius mengembara ke lembah kematian untuk mencari dewa-dewa dan memaksa mereka untuk membantunya, walaupun nyawa harus menjadi bayarannya.
Dalam perjalanannya, Sirius bertemu dan bersahabat dengan Vitalis, sang pengendali es, dan Orien sang pengendali angin. Mereka bertiga sama-sama bertekad masuk ke Lembah Kematian dengan tujuan berbeda dan berbagai petualangan di perjalanan menyatukan mereka menjadi sahabat sejiwa.
Dapatkah Sirius membalas dendam? Apa yang akan ia pilih ketika ia mengetahui bahwa sahabatnya sendiri ternyata merupakan putra bungsu penguasa istana es yang menjadi fokus dendamnya? Bagaimanakah nasib Myria selama berada di tangan musuh?
Ikuti perjalanan Sirius untuk membalas dendam dan menyelamatkan keluarga satu-satunya dengan cara menjadi kuat.