Pukul 6 sore, akhirnya Ema dan teman-teman sekolahnya kembali ke hotel mereka. Setelah menghabiskan waktu seharian di luar, mereka akan menikmati waktu bebas.
Oleh sebagian orang waktu bebas ini digunakan untuk berbelanja, ada juga yang akan menggunakannya untuk berjalan-jalan sendiri, atau untuk beristirahat.
Dinh, Alex, Eric, dan David sudah membuat rencana untuk piknik di lapangan rumput di depan Menara Eiffel. Mereka akan berpura-pura sudah dewasa dan minum wine sambil makan camilan di dan mengobrol di sana.
Emma sendiri sudah berjanji untuk pergi dengan Haoran. Pukul 18.30, Haoran sudah berdiri di depan kamar 512 tempat Emma berada. Pemuda itu mengenakan kemeja lengan panjang yang digulung hingga siku, celana jeans dan juga sepatu kulit.
Ketika membuka pintu, Emma sempat tertegun sesaat karena ia tidak menduga Haoran akan berpenampilan rapi. Biasanya pemuda itu hanya mengenakan kemeja lengan pendek dan celana di bawah lutut. Emma sendiri untuk pertama kalinya mengenakan gaun yang dibelinya bersam Mary dan Nadia waktu itu.
Ia terlihat sangat cantik dengan gaun musim panas berwarna kuning cerah dan motif bunga-bunga yang indah. Untuk melengkali penampilannya, ia juga mengenakan topi musim panas yang lebar, sepatu sandal bertali berwarna merah yang cantik sekali. Semua itu memmbuat penampilannya terlihat segar, hingga membuat Haoran terpesona.
Keduanya sama-sama terlihat tertegun memandang yang lain. Haoran belum pernah melihat Emma memakai pakaian feminim seperti ini, sama seperti Emma belum pernah melihat Haoran memakai pakaian rapi.
Selama beberapa detik keduanya tampak membuka mulut hendak mengatakan sesuatu tetapi tidak ada kata yang keluar. Setelah terpaku seperti orang bodoh selama hampir sepuluh detik, keduanya kemudian tertawa terbahak-bahak.
"Ternyata kau bisa rapi juga," komentar Emma.
"Tentu saja. Aku kan menghormatimu. Jadi tentu saja aku harus tampil rapi untuk kencan pertama kita."
Emma mengangkat alisnya keheranan. "Pertama?"
"Aku tahu kalau performaku bagus, kau akan memberiku kesempatan untuk kencan kedua... ketiga... dan seterusnya," balas Haoran sambil tersenyum tipis.
Emma tampak tersipu malu mendengar kata-kata Haoran.
"Kau tampak cantik sekali," kata Haoran dengan jujur. Ia tidak melewatkan kesempatan untuk memuji penampilan Emma yang menurutnya hari ini terlihat berbeda. Emma memang selalu terlihat cantik di mata Haoran, tetapi ia mengetahui bahwa kali ini Emma berusaha terlihat lebih baik dari biasanya, dan Haoran ingin menunjukkan kepada gadis itu bahwa ia menghargai upaya Emma.
Emma hanya bisa tersenyum mendengar pujian Haoran. "Baiklah, Tuan Muda Lee... Kemana kau akan membawaku hari ini?"
"Itu kejutan," kata Haoran sambil memberikan tangannya untuk digandeng Emma.
Gadis itu mengerutkan kening dan menoleh ke kiri dan ke kanan, kuatir dilihat oleh teman satu sekolah mereka. "Kalau ada yang lihat bagaimana?"
Haoran yang mengerti kekuatiran Emma akhirnya menghela napas dan mengangguk. Ia sudah mendengar dari Alex bahwa salah seorang teman Emma menyukainya, dan kemungkinan besar Emma tidak akan sampai hati membuat temannya sedih atau marah.
"Baiklah... Aku tidak akan memaksa," katanya. Ia lalu memasukkan kedua tangannya ke dalam saku dan berjalan mengiringi Emma masuk ke dalam lift dan menuju lobi.
Mereka hanya bertemu tiga orang teman satu sekolah mereka di lobi, dari kelas B. Ketiga orang ini sedang mengobrolkan rencana jalan-jalan mereka di jam bebas.
"Aku sudah memesan taksi dan supirnya sudah menunggu di halaman hotel, sebaiknya kita langsung keluar saja..." Ia menarik tangan Emma agar gadis itu tidak berlama-lama di lobi dan menarik perhatian teman-teman satu sekolah mereka.
Sepuluh menit kemudian mereka sudah melaju di jalanan menuju tepian sungai Seine. Emma sangat terpesona melihat betapa kota Paris sangat banyak dihiasi berbagai bangunan kuno yang masih tampak indah.
Ia menatap keluar jendela taksi dengan perasaan campur aduk saat mengingat bahwa jejak terakhir orang tuanya berada di kota ini.
'Ah... besok aku harus mencari cara untuk menyelinap keluar dan mencari jejak orang tuaku,' pikirnya dalam hati.
"Kau terlihat sedih," komentar Haoran tiba-tiba dengan suara lembut. "Apakah kau sedang teringat orang tuamu?"
Emma menoleh ke arahnya dan kemudian mengangguk. "Benar."
"Apakah kau ingat bagaimana wajah mereka?" tanya Haoran lagi.
Emma memejamkan mata dan membayangkan wajah ayah dan ibunya yang kembali ke dalam ingatannya tadi malam saat ia melompat turun dari menara Eiffel. Ibunya sangat cantik.. dan ayahnya sangat tampan.
"Aku masih ingat..." kata Emma pelan.
"Bagus," Haoran mengangguk puas. "Kalau begitu keputusanku tepat."
"Keputusan apa?" tanya Emma keheranan.
"Kau akan segera tahu," kata Haoran dengan nada sedikit misterius.
Emma menatapnya dan berusaha mencari tahu apa yang dipikirkan pemuda itu, tetapi walau bagaimanapun kuatnya ia berusaha, ia tidak dapat mendengarkan apa pun.
Apakah kemampuanku membaca pikiran hanya sementara? pikir Emma keheranan.
Ia menatap wajah supir taksi mereka dari kaca spion dan berusaha mencari tahu apa yang dipikirkan pria itu.
--Wah, anak kecil zaman sekarang sudah pacaran. Memang zaman benar-benar sudah berubah. Kalau sampai anakku yang pacaran berdua-duaan dengan lelaki, aku akan memarahinya.--
Deg!
Emma membelalakkan matanya karena kaget.
Ia bisa mendengar dengan jelas pikiran supir taksi mereka yang sedang mengomentari dirinya dan Haoran.
--Tapi anak perempuan itu cantik sekali ya. Sayang wajahnya terlihat sedih.--
"Kau kenapa?" tanya Haoran keheranan. Ia telah melihat wajah Emma yang memucat. "Kau seperti melihat hantu."
Emma menatap Haoran berlama-lama, berusaha membaca pikirannya seperti yang ia lakukan kepada supir taksi mereka.
Tidak bisa.
Mengapa ia tidak dapat membaca pikiran pemuda itu?
Apakah karena ia menyukai Haoran, pikiran pemuda itu menjadi tidak dapat diakses olehnya? Tetapi Arreya Stardust bisa membaca pikiran suaminya. Itu berarti walaupun Arreya Stardust mencintai Kaoshin, ia tetap dapat membaca pikiran lelaki itu.
Emma benar-benar bingung.
"Tidak apa-apa." Ia berbohong dan kembali melayangkan pandangannya keluar jendela.
Mereka tidak berkata apa-apa hingga akhirnya taksi berhenti di salah satu wilayah di tepian sungai Seine yang dekat dengan gereja Notredame. Haoran membayar taksi dan mengajak Emma berjalan menyusuri berbagai kios buku bekas dan seniman yang ada di tepian sungai dan kemudian berhenti di depan sebuah kios kecil.
"Kita sudah tiba," katanya dengan penuh semangat.
Emma menatapnya keheranan dan kemudian mengalihkan pandangannya pada kios kecil itu. Di depan kios yang penuh dengan lukisan dan buku-buku, ada seorang pria tua yang sedang sibuk dengan alat lukis dan kertas-kertas.
"Kita mau apa?" tanya Emma.
Haoran memanggil pria tua itu dan berbicara sedikit dalam bahasa Prancis kepadanya dan menerangkan bahwa ia sudah membuat janji lewat telepon dan ia ingin pria itu membuat lukisan untuk Emma.
Gadis itu mengerti bahasa Prancis dan ia terkejut saat mengetahui apa rencana Haoran. Tanpa sadar tangannya menekap bibirnya dan kakinya melangkah mundur ke belakang karena ia terkesima oleh perbuatan Haoran.
"Ka.. kau sudah merencanakan ini?" tanya gadis itu dengan suara tergagap-gagap.
"Benar." Haoran tersenyum. "Kita akan dapat menemukan orang tuamu dengan lebih mudah kalau kita memiliki gambar wajah mereka. Pak Neville ini adalah salah seorang seniman potret paling bagus di Paris. Ia akan dapat membuat sketsa dan lukisan wajah kedua orang tuamu, berdasarkan petunjuk dari apa yang kau ingat..."
Emma tidak dapat berkata apa-apa. Ia sama sekali tidak memikirkan hal ini sebelumnya. Haoran sungguh perhatian dan memikirkan hal kecil seperti ini. Ia merasa sangat berterima kasih.
"Haoran.. terima kasih..." bisik gadis itu ke telinga Haoran ketika tanpa dapat ditahan lagi ia telah menghambur dan memeluk leher pemuda itu.