webnovel

dewi siluman bukit tunggul 16

Pendekar 212 sampai di hadapan mulut goa. Asap putih menampar-nampar wajahnya dan

bau belerang yang santer menusuk hidung, memerihkan mata. Setelah meneliti seperlunya maka

tanpa ragu-ragu Wiro melangkah masuk. Ternyata semakin ke dalam goa itu semakin menanjak

sedang bau belerang makin keras dan asap semakin banyak.

Kedua mata Wiro menjadi perih, nafasnya sesak dan dia mulai batuk-batuk. Pemuda ini

tutup indera penciumannya, kerahkan tenaga dalam pada kedua matanya dan melangkah terus. Kira-

kira seratus langkah berlalu kepulan asap putih yang berbau belerang bertambah tebal menutup

pemandangan. Meski dia sudah tutup indra penciumannya tetap saja hidungnya membaui hawa

belerang itu sedang tenaga dalamnya tiada mampu menolak sambaran asap yang memerihkan mata.

Dengan kuatkan diri Wiro maju terus. Nafasnya tersengal, pemandangannya gelap tertutup asap

tebal. Untuk kembali sudah kepalang tanggung. Suara batuk-batuknya menggema di sepanjang goa,

membuat bulu kuduknya sendiri berdiri.

Pada langkah yang ketiga ratus duapuluh, Pendekar 212 merasa kekuatannya mulai lumer,

kakinya tak sanggup lagi melangkah. Wiro jatuhkan diri dan terus memasuki goa itu dengan

merangkak. Sebutir pil untuk menolak keracunan dan menjaga agar tidak pingsan dikeluarkan dan

ditelannya. Dua ratus langkah di muka maka perlahan-lahan asap belerang itu mulai menipis hingga

akhirnya lenyap sama sekali dan di hadapan Wiro kelihatan sebuah tangga batu pualam yang putih

bersih dan berkilat.

Setelah menelan lagi sebutir pil, mengatur jalan nafas dan darah memeriksa aliran tenaga

dalam dan membuang hawa jahat asap belerang yang meresap di paru-parunya maka Wiro Sableng

berdiri lalu melangkah menaiki tangga batu pualam. Bagian atas tangga berhubungan dengan

sebuah pintu dan pintu ini berhubungan lagi dengan sebuah ruangan empat persegi. Di dalam

ruangan ini kelihatan delapan gadis berbaju biru yang bukan lain adalah anak-anak buah Dewi

Siluman. Di antaranya empat orang yang sebelumnya telah baku hantam dengan Wiro di tepi

lembah. Kedelapan gadis ini duduk bersila dengan mata meram di hadapan seorang berpakaian

selempang putih yang duduk membelakang ini panjangnya sampai ke bahu, Wiro belum dapat

memastikan apakah dia seorang perempuan atau bukan.

Tanpa menoleh ke pintu tiba-tiba manusia berambut putih panjang itu membentak dan

lambaikan tangan kanannya lewat bahu.

"Pemuda tidak tahu diri! Disuruh datang bulan purnama empat belas hari berani unjuk

tampang hari ini!"

Wiro terkejut sekali. Dan sewaktu dia menyadari bahwa lambaian tangan si rambut putih

panjang itu menyambarkan angin yang sangat deras, maka segala sesuatunya telah kasip. Mendadak

sontak detik itu juga Wiro merasakan tubuhnya menjadi kaku laksana patung batu. Dia berseru, tapi

mulutnya terkunci tak bisa keluarkan suara. Karena otaknya masih tetap bisa berjalan Wiro

memaklumi bahwa dirinya telah ditotok secara lihai luar biasa hingga tak bisa bicara dan bergerak.

Yang membuat Pendekar 212 menjadi penasaran sekali ialah karena sesudah menotok

dirinya, si rambut panjang kemudian keluarkan suara seperti lebah membuat sarang, rupanya dia

tengah membaca mantera tapi tiada jelas entah mantera apa yang dilafatkannya. Di samping itu

Wiro merasa aneh pula melihat kedelapan gadis baju biru itu duduk bersila meramkan mata tiada

bergerak. Apakah mereka semuanya juga kena ditotok dan apa yang tengah dilakukan si rambut

putih panjang itu terhadap mereka? Wiro saat itu merasakan dirinya seperti seekor lalat yang

sesudah dipukul dibiarkan tak perduli begitu saja!

Tiba-tiba si rambut putih angkat kedua tangannya. Suara lafat manteranya semakin keras.

Kedua tangan kemudian turun lagi untuk mengangkat sebuah panci tanah besar yang berisi air putih

dan kembang tujuh rupa. Aneh sekali air yang di dalam baskom itu kemudian memancur delapan

dan setiap pancuran jatuh ke atas kepala masing-masing gadis baju biru.

Wiro terlongong-longong saking kagumnya. Kehebatan tenaga dalam manusia rambut putih

itu benar-benar luar biasa. Seorang yang tenaga dalamnya sudah mencapai tingkat sempurna bisa

saja membuat air di dalam panci tanah itu muncrat ke atas, tetapi untuk membaginya dalam delapan

pancuran itu bukan satu hal yang mudah, tidak sembarang manusia bisa melakukannya. Eyang

Sinto Gendeng sendiri mungkin belum tentu dapat.

Begitu air dalam panci tanah habis, si rambut putih turunkan panci itu. Kembali terdengar

suara lafat manteranya yang seperti lebah bersarang itu. Kemudian sunyi sebentar lalu menyusul

suaranya berkata dan ternyata adalah suara seorang laki-laki.

"Delapan gadis, kalian telah minum obatku, kalian telah kusiram dengan air kembang. Kini

otak kalian telah bersih, hati kalian telah putih. Kalian telah bisa memulai hidup baru yang lurus dan

baik. Sekarang kubukakan mata kalian kembali yang telah terpicing selama beberapa hari ini."

Si rambut panjang putih sapukan tangan kirinya dari samping kanan ke samping kiri. Aneh

sekali maka kedelapan gadis itu yang tadi pejamkan mata kini membuka mata masing-masing satu

demi satu, tak ubahnya seperti barusan bangun tidur. Jelas mereka terkejut sewaktu melihat tubuh

Wiro Sableng yang berdiri mematung di ambang pintu. Namun terhadap si rambut putih mereka

tiada berani bertanya dan sama tundukkan kepala. Tundukkan kepala ini membuat Wiro tak

mengerti. Apa hubungan kedelapan gadis itu dengan si rambut putih. Apa sebenarnya yang telah

terjadi dengan mereka sehingga gadis-gadis yang galak dan kejam itu kini kelihatannya seperti

gadis-gadis pingitan yang paling patuh?

"Dengar Kiai...." jawab delapan gadis bersamaan.

"Kiai!" desis Wiro Sableng dalam hati. Laki-laki berambut putih itu dipanggil dengan

sebutan "Kiai" Dan Wiro heran padahal kedelapan gadis itu tadi meramkan mata seperti orang tidur,

mengapa mereka menjawab bahwa mereka telah mendengar segala ucapan sang kiai?

"Sekarang kalian kuperkenankan meninggalkan tempat ini. Pergilah dan jangan kembali lagi.

Dunia baru yang indah suci menyambut kalian. Menurut penglihatanku, hidup kalian semua akan

menemui keberuntungan. Nah sekarang pergilah dan kuharap kalian tidak usah mengajukan

pertanyaan-pertanyaan. Tinggalkan Pulau Madura, jangan kembali lagi untuk selama-lamanya!"

Delapan gadis itu saling pandang satu sama lain lalu serentak mereka berdiri. Setelah

menjura berulang kali di hadapan laki-laki berambut putih panjang, mengucapkan terima kasih dan

berpamitan maka semuanya melangkah ke pintu dengan menundukkan kepala. Setiap mereka

melirik ke samping sewaktu mereka melewati Pendekar 212 yang berdiri mematung di ambang

pintu itu.

Setelah kedelapan gadis itu berlalu, laki laki berambut putih untuk pertama kalinya balikkan

badan dan berdiri. Ternyata dia adalah seorang tua renta yang bermuka licin klimis. Menurut Wiro

umurnya lebih tua dari Eyang Sinto Gendeng.

Langkah orang tua yang masih berbadan tegap ini begitu enteng sewaktu dia maju ke

hadapan Wiro.

"Pemuda tolol!" desis sang kiai. "Belum saatmu untuk datang ke mari! Apa kau lupa bulan

purnama empat belas hari?! Tolol! Kau akan kaku tegang di ambang pintu ini selama tiga hari tiga

malam! Rasakan sendiri!"

Wiro menggerutu dalam hati. Orang tua di hadapannya berkelebat dan sukar sekali untuk

dapat dilihat dengan jelas tahu-tahu tubuhnya sudah lenyap dari hadapan Wiro Sableng.

"Benar-benar luar biasa gerakannya," kata Wiro dalam hati. Tapi bila dia ingat bahwa dia

musti berdiri di situ dalam keadaan kaku tegang selama tiga hari tiga malam, maka kembali

pendekar ini menggerutu habis-habisan.

Setelah berjam-jam berdiri di tempat itu Wiro yakin bahwa di luar goa hari telah malam.

Seumur hidupnya baru kali inilah dia ditotok orang. Meski totokan itu tidak membuat dia terluka di

dalam tapi mematung demikian rupa selama tiga hari tiga malam sungguh merupakan siksaan bagi

Wiro Sableng. Hatinya kembali memaki-maki sewaktu perutnya mulai mengeluarkan suara

bergereokkan tanda minta diisi.

"Diamlah perut sialan!" rutuk Wiro. "Selama tiga hari tiga malam kau tak akan mendapat

isi!"

Mendadak, baru saja dia habis memaki demikian sesosok bayangan biru berkelebat dan

tahu-tahu Inani berada di hadapan Wiro Sableng. Sang Pendekar memandang tak berkedip pada gadis jelita berkulit kuning langsat ini, dan berpikir-pikir mengapa pula gadis ini muncul di dalam

goa kembali, padahal dia sudah disuruh pergi oleh laki-laki tua tadi dan tidak diizinkan kembali lagi?

"Saudara, aku akan tolong lepaskan totokanmu," kata Inani pula setelah mereka berperang

pandang beberapa ketika lamanya.

"Bagus!" ujar Wiro dalam hati. Dia gembira. Inani maju satu tindak. Tangan kanannya

dengan cepat bergerak untuk membebaskan totokan di tubuh Wiro Sableng.

Tapi apa lacur. Sebelum hal itu sempat dilakukan Inani tiba-tiba di ruangan itu

mengumandang suara tertawa macam ringkikkan kuda dan tahu-tahu laki-laki tua berambut putih

sudah berada di hadapan mereka.

"Bagus betul perbuatanmu Inani!"

Inani berubah pucat parasnya. Kepalanya ditundukkan tak berani memandang si orang tua.

"Apa kau lupa ucapanku bahwa kau musti pergi meninggalkan Pulau Madura ini dan tidak

boleh kembali kemari? Jawab!"

"Mohon maaf Kiai. Aku...."

"Kau juga tolol!" sentak sang kiai. "Apa perlu kau kembali datang kemari?! Apa perlu kau

tolong pemuda ini?! Jawab!"

"Maaf Kiai...."

"Apa dia kekasihmu?!"

Merah paras Inani. Kepalanya semakin ditundukkan.

"Apa dia gendakmu?!"

Tambah merah paras gadis berbaju biru itu.

"Jawab! Kenapa kau mau membebaskan itu."

"Aku... aku merasa berhutang budi padanya, Kiai." sahut Inani.

"Hutang budi macam mana? Apa dia pernah menolongmu?"

Inani menggigit bibirnya. Dia kembali ke situ karena merasa kasihan melihat Wiro Sableng

ditotok. Tapi apa yang menyebabkan dia kasihan pada pemuda itu dia sendiri tak bisa mengerti. Dia

kembali ke Goa Belerang seperti ada yang mendorong-dorongnya.

"Gadis tolol! Kau musti terima hukuman seperti pemuda tolol ini!"

Laki-laki tua itu lambaikan tangan kirinya. Mendadak sontak maka kaku teganglah tubuh

Inani. Dia berdiri mematung tepat berhadap-hadapan dan dekat sekali di muka Pendekar 212. Si

orang tua sendiri begitu menotok tubuh Inani berkelebat pula lenyap dari ruangan itu.

Bab berikutnya