Masih terlalu sore untuk masuk ke club malam, namun, disinilah Alva berada sekarang. Pria itu tengah merayakan keberhasilan proyek mereka mengenai salah satu tugas akhir kemahasiswaan. Alva tertawa ketika melihat Richard tengah menyambutnya dengan segelas vodka.
"Come on, man! Masih terlalu sore." Alva tersenyum menolak, karena well, malam ini, dia punya janji dengan Olivia. Dia ingin mengajak gadis itu keluar untuk sekedar jalan jalan. Setelah kejadian yang ia alami di kampus kemarin, Alva memang belum bertemu dengan Olivia karena harus segera menyelesaikan proyek akhirnya.
"Alva." Pria itu merasakan seseorang menepuk bahunya, membuatnya menoleh dan menatap tajam seorang gadis yang tampak tersenyum manis ke arahnya.
"Apa yang kau lakukan disini? Aku sudah bilang untuk tidak menampakkan wajahmu di depanku!" Bentak Alva. Emosinya benar benar meningkat karena mendapati gadia berambut blonde yang mengingatkannya pada wajah kesakitan milik Olivia.
"Alva, aku minta maaf" Gadis itu berkata seraya menyentuh lengan Alva, membuat Alva segera menghempaskannya. Pria itu kembali menekan rahang si gadis, tidak peduli wajah gadis itu yang masih membiru akibat ulahnya kemarin.
"Jangan pernah memanggil namaku dengan mulutmu! Jangan pernah bertingkah seolah kita berdua saling kenal!"
"Alva, I love you!!" Chloe berteriak tak tahan. Gadis itu meneteskan air matanya melihat tingkah Alva yang begitu menyakitinya.
"Oh, kau lebih baik melupakan perasaan persetanmu!" Bentak Alva, "Karena rasa hormatku kepadamu benar benar sudah hilang!"
"Kau selalu menilaiku sebagai orang yang salah disini! Kenapa kau tidak pernah menanyakan alasanku untuk melakukan itu? Hah?!" Bentak Chloe, membuat Alva tersenyum sinis, "Aku tidak butuh alasanmu!"
"Tapi kau harus tahu bahwa aku melakukannya untuk melindungimu!" Bentak Chloe lagi. Alva menatap gadis itu tak habis pikir, "Melindungiku? Melindungiku dengan menyakiti kekasihku?!"
"Dia bukan gadis baik baik, Alva!" Bentak Chloe. Hal itu membuat Alva semakin geram.
"Kau boleh menyiksaku setelah ini. Tapi kau harus melihatnya terlebih dahulu." Gadis itu menyerahkan ponselnya ke arah Alva membuat Alva merebutnya kasar.
Alva melihat layar ponsel Chloe yang menunjukkan sebuah video. Video itu menampilkan sosok Olivia dengan dress merah maroon yang ketat, sedang menari di tengah tengah kerumunan pria. Tarian Olivia begitu gila dan erotis, membuat mereka bahkan tidak segan untuk meraih bokong Oliv. Hal itu tampak membuat Oliv terlibat adu mulut dengan pria yang meremas bokongnya. Hingga salah satu pria menarik gadis itu ke salah satu sofa. Pria itu menjatuhkan Oliv ke sofa, membuat gadis itu terlihat tertawa dan mengalungkan lengannya di leher pria itu. Kemudian, ia mencium leher Oliv, sedangkan tangannya tampak menggerayai paha, pinggang, hingga selangkangan dan masuk ke bokong Oliv. Dan yang membuat Alva tak menyangka adalah ....
Oliv tampak bahagia di sana. Oliv tersenyum dan tertawa begitu lebar tanpa ada sedikitpun rasa penyesalan.
"What the fuck is this!" Bentak Alva tidak tahan. Pria itu hampir saja tidak mempercayai, namun, demi Tuhan yang Chloe tunjukkan adalah video! Bukan sekedar foto yang bisa direkayasa.
"Sebenarnya, aku tidak berniat untuk merekamnya. Tapi ku pikir kau harus mengetahuinya." Chloe menghela nafas, "Aku merekamnya kemarin malam. Ya. Hari dimana kejadian itu terjadi. Hari dimana kau berkata, dia butuh istirahat total karena perbuatanku."
"Dia tidak sebaik yang kau kira, Alva! Gadis yang kau agungkan, gadis baik baik yang kau jaga mati matian, dia sama saja."
Lagi lagi, ucapan Chloe menohok jantung Alva. Tangan pria itu mengepal, membanting ponsel Chloe ke sembarang arah. Alva menarik nafasnya berkali kali, berkata pada dirinya bahwa Olivia tidak mungkin seperti itu. Berkata bahwa Olivia adalah gadis baik baik yang membuatnya nyaman. Namun, semakin dia berpikir demikian, semakin sakit, hati Alva. Semakin banyak pula bayangan video Oliv di club malam itu teringat. Membuat Alva rasanya ingin memukuli siapapun untuk meredakan rasa kesalnya.
Alva mengambil botol vodka sisa Richard dan meneguknya hingga habis. Alva menjambak rambutnya sendiri. Apakah Olivia benar benar seperti itu? Apakah dia salah menilai seseorang? Apakah dia salah untuk jatuh dalam pesona Olivia? Kenapa? Kenapa harus seperti ini? Ketika ia sudah merasa menemukan gadis yang sesuai, kenapa gadis itu justru menyakiti hatinya, menyinggung egonya dan perasaannya?
Alva menangis. Alva benar benar menangis, dan Olivia lah penyebabnya. Demi Tuhan, seorang Alva menangis demi gadis yang dikenalnya seminggu belakangan.
"Alva" sentuhan Chloe membuat Alva menjadi beringas. Pria itu mendorong Chloe ke sofa dan menciuminya ganas. Alva menggigit bibir Chloe, mempermainkan lidahnya di mulut Chloe, begitu dalam dan kasar. Alva marah. Dia sangat marah. Tidak ada seorangpun yang berhak membuat Alva semarah itu. Tetapi, gadis beasiswa itu melanggarnya.
❤❤❤❤❤
Sekali lagi, Oliv memandang pantulan dirinya di cermin dan tersenyum puas. Dia tampak cantik dengan baju putih tulang yang memperlihatkan bahunya yang indah. Gadis itu menjepit rambutnya, membuatnya terlihat sangat menawan bahkan ketika dandanannya hanya terlihat seperti gadis 17 tahun.
Malam ini, dia akan berjalan jalan dengan Alva. Setidaknya, itulah yang Alva katakan tadi siang. Oliv kembali melihat jam tangannya dan menghela nafas. Alva bilang, ia akan menjemputnya jam setengah delapan. Namun, sekarang bahkan sudah jam delapan lebih lima belas menit dan batang hidung Alva belum terlihat. Hingga sudah tak terhitung berapa kali Oliv membenarkan rambutnya.
Gadis itu menenangkan hatinya dengan berkata, mungkin Alva sedang berdandan ... Atau, mungkin Alva sedang terjebak macet. Hingga akhirnya dia mendengar suara mobil Alva, membuatnya tersenyum lebar dan sekali lagi membenarkan tatanan rambutnya. Oliv berjalan keluar kamarnya, mendapati Alva yang sedang berjalan dengan limbung. Mata Alva memerah, seolah pria itu habis menangis.
"Olivia." Alva tersenyum lebar seraya berjalan tepat di depam Oliv, membuat gadis itu bisa melihat dengan jelas bagaimana berantakannya wajah Alva. Alva memeluk Oliv dan mendorong gadis itu untuk masuk ke kamar.
"Kau mabuk, Alva?!" ucao Oliv ketika bau alkohol menyerang indra penciumannya, membuat Alva tertawa kecil dan semakin menjatuhkan tubuhnya ke pelukan Oliv. Gadis itu terduduk di atas kasur karena tidak kuat menopang tubuh Alva.
"Kau kenapa?" tanya Oliv, membuat Alva menatapnya dengan pandangan sayu.
"Boleh aku bertanya sesuatu?" tanya Alva lirih, membuat Oliv menaikkan alisnya tidak mengerti, namun kemudian gadis itu mengangguk.
"Katakan padaku bahwa kau kemarin istirahat di rumah."
Oliv mengangguk, "Ya. Aku istirahat di rumah."
Alva tersenyum miring, "Kemana kau tadi malam?"
Mendengar pertanyaan Alva, Oliv hampir melompat. Dia tidak tahu kenapa tiba tiba Alva menanyainya. Oliv hendak menjawab ketika perkataan Jonathan terngiang di telinganya. Jonathan sempat meminta Oliv untuk tidak memberitahu perihal pergi ke club malam itu, karena Jonathan tidak mau membuat Alva khawatir. Lagipula, Alva sudah mempercayakan Oliv kepada Jonathan agar gadis itu istirahat total.
"Aku? Tentu saja di kamar. Kau menyuruhku untuk istirahat, bukan?"
Alva kembali tersenyum miring. "Pembohong."
Alva menatap tajam Olivia, membuat gadis itu merasa kehilangan sosok Alva yang hangat. Alva yang ada di depannya adalah Alva dengan kilatan marah di seluruh matanya.
"Kemana kau kemarin malam?" Alva kembali bertanya. Pandangannya semakin menajam, membuat Oliv harus memundurkan tubuhnya takut takut.
"Ada apa denganmu?!" ucap Oliv, membuat Alva memajukan tubuhnya. Pria itu menyentuh leher Oliv, kemudian merambat ke belakang rambutnya. Dan dengan sekuat tenaga, Alva menjambak rambut Oliv, membuat gadis itu berteriak kesakitan, namun lebih ke berteriak ketakutan melihat sosok pria dengan mata yang marah itu.
"JANGAN PERNAH BERBOHONG PADAKU, JALANG! KEMANA KAU SEMALAM?!" Bentak Alva. Membuat tubuh Oliv bergetar ketakutan. Gadis itu sama sekali tidak menyangka bahwa Alva akan berbuat demikian kepadanya.
"KAU BISU, HAH? JAWAB AKU!" Teriak Alva. Pria itu menekan rahang Oliv hingga membiru, membuat Oliv tak lagi bisa menahan rasa sakitnya. Gadis itu menangis sesenggukan, yang justru membuat Alva semajin beringas.
Alva menampar wajah Oliv kasar, membuat Oliv terhempas di tempat tidur, "Siapa yang mengajarimu berbohong, hah?! Siapa yang mengajarimu jadi pelacur berkeliaran di club malam, hah?! Kau tidak sadar siapa dirimu dan siapa aku?!"
Oliv tersentak. Tangisannya semakin kencang, gadis itu tidak mau melihat wajah Alva yang begitu menakutkan untuknya.
"KAU ITU MILIKKU! DAN AKU BENCI MELIHAT ORANG LAIN MENYENTUH BARANGKU, HARUSNYA KAU TAHU ITU!!" Bentak Alva. Pria itu kembali menjambak rambut Oliv hingga tubuh gadis malang tersebut terangkat sepenuhnya.
"Cukup, Alva! Cu-kup!" Oliv menangis seraya memukul lengan Alva yang masih menjambak rambutnya, membuat Alva tersenyum sinis, "Menangislah sebisa kau menangis!"
Alva menerjang bibir Oliv, melumatnya kasar. Oliv masih terdiam dalam tangisannya, dia tidak mau membalas ciuman Alva yang penuh emosi. Karena kesal, Alva menggigit bibir bawah Oliv keras keras, membuat Oliv akhirnya membuka mulutnya dan saat itu lidah Alva masuk dan mengabsen setiap jengkal mulut Oliv dengan ganas. Alva sedikut merasa asin karena bibir Oliv yang berdarah, namun pria itu tidak peduli. Dia benar benar marah saat ini.
"Katakan dimana saja pria pria itu menyentuhmu!" ucap Alva seraya menekan wajah Oliv yang sudah penuh dengan air mata. Melihat Oliv yang tidak lekas menjawab, Alva semakin geram. Pria itu menampar wajah Oliv dan berteriak, "Katakan!!!"
Oliv semakin menangis, "Aku, Aku tidak tahu, Alva!"
"Katakan!"
PLAK.
"Aku tidak ... "
PLAK.
"Bangun!" Alva menjambak rambut Oliv, kemudian menarik baju Oliv dengan sekuat tenaga hingga robek. Alva membuang robekan baju Oliv hingga ia bisa melihat dua payudara yang menggantung dengan indah di dada Oliv. Oliv menangis ketakutan seraya menutup kedua payudaranya dengan tangannya, "Jangan, Alva! Ku mohon, jangan lakukan itu!"
Alva membuka tangan Oliv dan segera membenamkan wajahnya di payudara Oliv, melumatnya kasar, menggigitinya brutal, memelintir putingnya sekeras mungkin, membuat Oliv berteriak kesakitan atas perlakuan Alva yang sangat beringas.
Tidak puas, Alva membuka resleting celana pendek Oliv dan melepaskannya, meninggalkan celana dalam yang menutupi surga kegadisan Oliv. Mata Alva semakin menggelap. Pria itu membalikkan tubuh Oliv, membuat bayangan video yang ia tonton kembali berputar di ingatannya. Pria pria itu meremas bokong Oliv. Pria pria itu meremas sesuatu yang hanya boleh ia sentuh! Alva menampar bongkahan bokong Oliv berkali kali membuat gadis itu semakin berteriak kesakitan.
"Hentikan! Ku mohon hentikan!" Oliv menangis, membuat Alva justru semakin gencar menampari bokongnya. Pria itu menyingkapkan celana dalam Oliv, dan kini justru memasukkan telunjuknya di lubang Oliv, membuat Oliv tersentak dan mengerang. Alva memaju mundurkan telunjuknya begitu cepat dan kasar, membuat Oliv memdesah di balik kesakitannya.
"Kenapa kau jahat, Alva?! Kenapa kau melakukan ini kepadaku?! Kenapa kau jadi seperti ini?!" Oliv terus berteriak seperti itu, membuat Alva menyeringai seiring dengan telunjuknya yang bergerak semakin cepat, "Harusnya kau memikirkan itu sebelum bertingkah seperti jalang!!"
Oliv menangis, "AKU MEMBENCIMU! AKU BENAR BENAR MEMBENCIMU!"
Mendengar teriakan Oliv, Alva semakin marah. Pria itu kembali menjambak Oliv dan menyeretnya ke kamar mandi. Alva membuka ikat pinggangnya dan mengikat Oliv di bawah shower, membuat gadis itu semakin menangis, namun Alva seolah tidak lagi peduli. Gadis itu sudah menghancurkan seluruh hatinya, mematahkan setiap kepercayaan yang Alva berikan padanya.
Alva menyalakan shower yang segera membasahi tubuh Oliv, membuat Oliv merasakan sakit disekujur tubuhnya, juga hatinya. Dia tidak pernah berpikir bahwa Alva akan menjadi pribadi yang seperti ini. Pria itu menekan rahang Oliv, memaksa Oliv untuk menatap mata Alva yang entah mengapa begitu Oliv benci.
"Kau sudah membangunkan sisi gelap yang mati matian ku kubur hanya untuk menghormatimu, Olivia." ucap Alva.
"Aku membencimu!" Oliv berteriak dengan sisa sisa tenaganya, membuat Alva membanting kepala Oliv dan meninggalkan gadis yang sedang menangis di bawah guyuran shower.
Meninggalkan Oliv dengan luka yang kembali terbuka. Bahkan, lukanya merambat hingga ke seluruh hatinya. Menyadari Alva yang seperti itu membuat Oliv mengingat perbuatan ayahnya kepadanya. Alva beryingkah seperti ayah Oliv, bahkan lebih kejam. Membuat Oliv benar benar ingin mati.
Ya, Oliv ingin hidupnya segera berakhir, sehingga ia tak perlu merasa sakit atas apa yang ia lalui saat ini.