Ezell mengunjungi sebuah gedung yang ditawarkan oleh seorang makelar padanya. Sebuah gedung yang pembangunannya belum terselesaikan karena pemilik sebelumnya bangkrut.
"Orangku akan mengabarimu nanti." Ezell telah selesai melihat-lihat.
"Baiklah. Saya harap akan mendapatkan kabar baik." Makelar itu tersenyum, ia mengulurkan tangannya yang langsung dibalas oleh Ezell.
Ezell masuk ke dalam mobilnya, "Kembali ke rumah, Robert."
"Baik, Tuan."
♥♥
Setiba Ezell di kediamannya, ia segera melangkah ke kamar Qiandra. Kewajiban ketika ia pulang ke kediamannya saat ini bukan lagi masuk ke kamarnya tapi pergi kemanapun Qiandra berada. Entah itu kamar atau tempat lainnya.
Qiandra tak ada di kamarnya, Ezell membuka balkon kamar Qiandra. Dari sana ia bisa melihat ke arah taman, mungkin saja Qiandra ada disana. Namun Qiandra juga tak ada disana. Ia keluar dari kamar Qiandra. Ezell melangkah menyisiri koridor, ia pergi ke ruang membaca. Ia tidak pernah melihat Qiandra pergi ke ruangan itu tapi ada kemungkinan Qiandra membaca.
Dan Qiandra juga tak ada disana. Ezell melangkah lagi, ia keluar dari ruangan itu. Matanya menyipit ketika melihat ruangan pribadinya sedikit terbuka. Seseorang tidak akan berani masuk kesana tanpa izin darinya. Bahkan pelayannyapun harus meminta izin terlebih dahulu jika ingin membersihkan ruangan itu.
"Foto itu aku yang mengambilnya sendiri. Satu dari sekian foto yang begitu aku sukai."
Qiandra tersentak kaget, ia membeku di tempatnya. Rasa takut merayap di tubuhnya. Ia pasti akan menerima hukuman yang sangat berat karena telah lancang masuk ke ruangan pribadi Ezell.
"Lihat senyumannya. Terlihat begitu bahagia. Tentu saja bahagia, pria yang ia cintai membawa bucket bunga Lily of the Valley yang begitu ia sukai. Dua hal yang ia sukai melangkah menuju ke arahnya. Reaksi bahagianya adalah senyumannya." Ezell berdiri di dekat Qiandra. Ikut memandangi wajah cantik sang ibu yang bisa ia nikmati hanya dari potretnya saja.
Ezell melangkah ke foto berikutnya, "Ini adalah foto ketika Mommy ulang tahun. Dia selalu cantik dengan gaun putih, terlihat seperti bidadari."
Qiandra tak bisa mengatakan apapun, dia hanya mengikuti kemana langkah kaki Ezell. Ia tak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya, karena Ezell adalah pria yang tak bisa ditebak.
"Yang ini, ini saat aku berulang tahun. Mengabadikan apapun tentang Mommy adalah hal yang sangat aku sukai." Ezell melihat ke foto yang memperlihatkan Elizabeth meletakan sepiring makanan ke sebuah meja berbentuk bulat di sebuah taman.
Ezell kembali melangkah, ia menjelaskan lagi beberapa foto ibunya. Moment-moment bahagia yang masih terukir jelas di otaknya.
Qiandra terus mengikuti Ezell, mendengarkan Ezell dengan seksama, dengan hatinya yang seperti tersayat. Entah apa maksud Ezell menceritakan tentang kebahagiaan yang hanya tinggal kenangan itu. Apakah Ezell ingin menjelaskan pada Qiandra bahwa kebahagiaan itu telah hilang karena Deane -ibunya. Tanpa Qiandra sadari air matanya jatuh.
"Kenapa kau menangis?" Ezell tak mengerti kenapa Qiandra menangis, ia bahkan tak memarahi Qiandra yang telah lancang masuk ke dalam ruangannya.
"Maafkan aku." Qiandra meminta maaf. "Harusnya aku tidak bahagia diatas kehilangan yang kau rasakan."
Ezell mengerti. Qiandra menangis karena merasa bersalah. Qiandra benar-benar tak sama dengan Deane.
"Harusnya aku tidak egois. Harusnya aku tidak diam saja ketika Mommy menikah dengan pria yang sudah beristri dan punya anak. Harusnya aku.." Qiandra sesegukan. Ia benar-benar merasa bersalah.
Ezell memeluk Qiandra, "Kau tidak bisa melakukan apapun saat itu, Qiandra. Meski kauk bersuara hingga kau mengambil langkah seperti pergi dari rumah, mereka orangtua egois hanya akan mementingkan hati mereka saja. Seperti Albert yang tak peduli sama sekali ketika aku pergi dari rumah."
Qiandra tak bisa berkata-kata lagi, kerongkongannya seperti tersumbat pecahan beling.
"Setidaknya kau tidak seperti Deane." Ezell bisa menghilankan dinding tinggi di antara ia dan Qiandra karena ketulusan Qiandra.
"Aku tak tahu betapa banyak luka yang kau lewati. Aku tak tahu bagaimana kau hidup. Aku tak bisa membayangkan bagaimana jika aku menjadi kau. Mungkin aku tak akan bisa melewati semua luka itu. Aku-"
Ezell menghentikan kata-kata Qiandra, ia melumat bibir Qiandra. Kali ini berbeda dari biasanya. Benar-benar lembut dan menenangkan. Sesak di dada Qiandra menguap begitu saja.
"Jangan membayangkan lukanya. Kau hanya perlu berpikir bahwa luka itu bukan kau penyebabnya."
Tangisan Qiandra berangsur reda.
"Jangan membahas tentang apapun lagi. Ayo kita keluar dari sini." Ezell mengajak Qiandra untuk keluar.
Mereka melangkah ke kamar Qiandra. Ezell mendudukan Qiandra di sofa, ia menghapus sisa air mata yang ada di sudut mata Qiandra.
"Kau tidak marah aku pergi ke ruangan pribadimu tanpa izin?"
"Aku marah." Ezell selesai menghapus air mata Qiandra, "Kau akan mendapatkan hukumanmu sekarang."
Ezell mengangkat tubuh Qiandra ke atas ranjang. Ia melucuti pakaian Qiandra dengan segera.
Qiandra tahu, hukumannya pastilah BDSM.
Tapi yang Qiandra pikirkan adalah salah. Ezel tak memukul pantatnya, tak merantai lehernya atau mencambuknya. Bahkan sebaliknya, Ezell menyentuh Qiandra dengan sangat lembut. Memanjakan wanita itu dengan sentuhan seringan kapas yang membuat Qiandra menginginkan kejantanan Ezell berada dalam miliknya sesegera mungkin.
Jika hukuman Ezell seperti ini maka ia akan terus masuk ke dalam ruangan pribadi Ezell setiap hari.
"Aahh.." Qiandra melenguh ketika kejantanan Ezell masuk ke miliknya. Gerakan Ezell tak kasar seperti biasanya. Meskipun Qiandra sudah terbiasa dengan cara kasar Ezell tapi kelembutan memang lebih nikmat.
Melihat Ezell menikmati setiap gerakannya sendiri, Qiandra tersenyum manis.
Apakah mungkin aku sudah benar-benar mengubahmu, Ezell? Ya, aku yakin seperti itu. Qiandra yakin ia berhasil membuat Ezell jadi lebih baik.
Apa yang Qiandra yakini memang tak salah. Ezell menjadi lebih baik karena Qiandra. Seks menyimpangnya yang ia gunakan sebagai pelampiasan sakit sudah sangat jarang ia lakukan. Ezell sudah bisa tersenyum lembut. Dan masih ada lagi yang lainnya.
Ezell tersenyum menatap Qiandra. Nyatanya kemungkinan suka itu bisa ada diantara ia dan Qiandra. Melihat Qiandra yang begitu serius mengamati potret Elizabeth membuat Ezell menghangat. Dua wanita yang memiliki sifat periang yang sama berada di dekatnya. Bagaimana mungkin dia marah ketika dia merasa senang.
♥♥
Ezell memakai pakaiannya dengan cepat. Ia melihat ke arah Qiandra sejenak lalu meninggalkan Qiandra.
"Tidak perlu ikut, kau pergilah ke markas. Periksa barang-barang kita."
"Baik, Tuan."
Ezell meneruskan langkahnya lagi. Ia masuk ke dalam mobilnya dan pergi meninggalkan kediamannya.
♥♥
Qiandra terjaga karena suara ponselnya yang berisik.
"Halo." Qiandra menjawab panggilan itu dengan suara seraknya.
"...."
"Iya benar, saya Qiandra."
"...."
Mata Qiandra yang tadinya masih mengantuk sekarang terbuka lebar, "Ulangi kata-kata anda barusan?"
"..."
Mendengar lebih jelas apa yang pria diseberang sana katakan, Qiandra segera turun dari ranjang. Ia memakai pakaiannya dengan cepat.
"Tidak.. Aku harap mereka salah. Mommy tidak mungkin bunuh diri. Tidak mungkin." Qiandra berlarian menuruni tangga. Hatinya cemas dan tak karuan. Ia berharap apa yang ia dengar tadi adalah salah. Ibunya tak mungkin bunuh diri. Tidak mungkin. Tak ada hal yang bisa membuat ibunya bunuh diri. Hidup sederhana tak akan membawa ibunya pada kematian.
"Nona anda mau pergi kemana?" Robert bertanya pada Qiandra tapi Qiandra mengabaikannya. Qiandra bahkan tak mendengar pertanyaan dari Robert.
Mobil Qiandra melaju dengan cepat, telapak tangannya berkeringat dingin. Bukan hanya telapak tangannya tapi juga seluruh tubuhnya berkeringat dingin.
Sampai di tempat kejadian, Qiandra keluar dari mobilnya. Mobil polisi sudah berada di tempat itu dengan beberapa wartawan dan juga beberapa petugas polisi yang memeriksa tempat itu. Qiandra menembus kerumunan wartawan, ia melewati garis polisi. Tubuhnya kaku, matanya tak berkedip. Bibirnya terkatup rapat.
Benar, wanita yang tergeletak dengan darah disekitar tubuh adalah ibunya.
Kaki Qiandra terasa lemas hingga akhirnya ia terpuruk di lantai. Petugas polisi memegangi Qiandra.
Air mata mulai membasahi wajah Qiandra. Rasa hancur memenuhinya. Melihat ibunya mati tepat di depan matanya sama seperti dengan separuh nyawanya melayang pergi.
Mommy.. Mommy.. Qiandra membantin memanggil ibunya.
tbc