Kuan berteriak saat Huo mengoreskan pedang ke lehernya. Huo melakukannya secepat kilat tanpa sebuah peringatan. Lukanya tipis dan terlihat halus, terlihat tidak begitu dalam. Namun cukup membuat darah mengucur deras.
"Ia akan mati karena kehabisan darah", kataku.
Gong menutup mata terlihat sangat tidak nyaman. Aku juga tidak nyaman karena lantai mulai lengket.
"Kenapa tidak mencongkel saja mata kanannya? Ku rasa itu lebih efektif" kataku. Seperti biasa Huo segera memberikan anggukan sebagai persetujuan dan meminta anak buahnya melakukan perintahku.
"Lakukan di luar jangan di sini!"
"Kenapa? Kau takut perbuatanmu diketahui Kaisar? Dasar iblis neraka. Kelak Kau tidak akan pernah merasa tenang. Mungkin aku akan mati hari ini, tapi hidupmu tidak akan pernah tenang. Tidak akan pria mana pun yan tertarik padamu."
Aku hanya menggelngkan kepala. Kuan melakukan kesalahan fatal dengan ucapanya. Dia lupa Jendral Huo adalah orang yang paling benci mendengar laki-laki mengumpat atau berkata kasar pada wanita. Ucapan Kuan, membuat Huo mengambil pedang. Dan menyanyat tubuhnya dengan sangat cepat di beberapa bagian tubuh. Ini membuat darah semakin deras, tapi Kuan tidak mati begitu saja.
Ia terus berteriak. Sementara Huo menaburkan garam ke setiap sayatan yang ia buat. Teriakannya memekikkan telinga. Ini membuatku sakit kepala.
"Jika kau tidak berhenti. Aku akan membuatmu tidak bisa berteriak lagi", ancam Huo.
"Lakukan saja apa yang kalian inginkan! Aku yakin, setelah ini Putra Mahkota dan Permaisuri akan menghukum kalian atas apa yang kalian perbuat atasku. Aku akan terus berteriak. Tanpa kekuasaan, teriakanku akan sampai ketelinga semua orang di istana. Mereka akan memaksa masuk dan akan membuatmu menyesali perbuatan ini."
Luar biasa hebat ancaman pria ini.
"Jadi hadiah apa yang putra mahkota dan permaisuri janjikan padamu?"
Kuan terperanjat. Wajahnya mengisyaratkan bahwa kata-katanya membuatku sadar bahwa orang di balik semua ini adalah putra mahkota dan permaisuri.
"Mengapa diam, cepat katakan!" perintahku dengan datar.
Dia tetap diam. Orang yang setia tidak ada gunanya di bunuh. Aku melirik pria yang satu lagi. Dia terlihat lebih tenang.
"Jendral, apa hanya mereka bertiga yang menyerangku semalam?"
"Tidak, ada lebih banyak lagi."
Lebih banyak lagi? Artinya selain mereka bertiga penyusup lainnya sudah tinggal nama?
"Mereka bertiga yang paling masuk akal. Yang lain hanya orang biasa yang bahkan tidak tahu siapa orang yang mereka coba bunuh." Ungkap Jendral wanita ini dengan sinis.
Kuan masih terus berteriak dan berharap ada yang mendengar. Gong menangis tanpa henti. Sedangkan satu orang lainnya hanya diam.
"Apa kita memiliki dendam di masa lalu?"
Ia menggelang.
"Lalu apa yang membuatmu menuruti perintah permaisuri dan putra mahkota?"
Ia memandangku dengan tatapan kosong. Kuan mengancam akan membunuhnya jika bicara. Dari raut wajahnya pria ini terlihat lebih tenang meski ia mendapat ancaman.
"Aku pantas mati Tuan Putri. Pilihanya adalah mati ditangan Anda atau mati di tangan permaisuri. Mati di tangan anda jauh lebih baik menurutku."
"Mengapa? Kesalahan apa telah kau perbuat?"
Ia menunduk. Sepertinya ia melakukan kesalahan yang cukup fatal.
"Apa kau berhutang budi pada putra mahkota dan permaisuri?"
"Benar" jawabnya. "Aku menukar nyawaku untuk nyawa ayahku padanya. Sebagai ganti aku harus melakukan apapun yang mereka inginkan."
"Hei nak hati-hati jika bicara. Orang di depanmu adalah seorang bidadari neraka. Meski kau mengakui semua hal, ia akan tetap mencicangmu." Kata Kuan dengan nafas yang semakin lemah.
"Huo, panggil tabib istana dan suruh ia menghentikan pendarahnya." Kataku.
"Jangan biarkan orang seperti ini mati sia-sia. Biarkan ia menjadi saksi atas setiap perkataannya mengenai diriku."
"Aku mengerti", kata Huo. Ia segera memerintahkan salah satu anak buahnya mencari tabib dan menyeret Kuan keluar dari kamar.
"Kau menukar nyawamu dengan nyawa ayahmu? Bisa kau jelaskan lebih lanjut?"
Pria di depanku mulai bercerita dengan tenang. Gong yang menangis mulai diam dan tertarik dengan ceritanya.
"Ayahku adalah salah satu tabib istana. Ia masuk ke istana permaisuri sejak tiga tahun yang lalu.. Suatu hari, sang permaisuri kedapatan pingsan di kamar mandi. Karena panik, beberapa dayang-dayang menanggil tabib.
Saat ayah memeriksa , sang pemaisuri masih saja memejamkan mata. Maka ayah mencoba segala macam cara untuk membuatnya bangun. Usaha ayah tidak sia-sia. Permaisuri bangun. Saat ia bangun ia begitu marah. Karena ternyata yang sebenarnya sang permaisuri tidaklah pingsang. Melainkan ia sedang meditasi.
Meditasi yang terganggu berakibat fatal. Wajahnya berubah sangat pucat seperti mayat. Rambutnya memutih seketika. Sebagai bentuk pertangung jawaban, permaisuri meminta ayahku mencarikan hati.
Hari seorang anak berumur kurang dari lima tahun. Mendengar permintaan itu, ayahku curiga. Tapi ia tetap melaksanakannya. Ayah mencarikan anak jalanan yang tidak memiliki orang tua untuk diberikan kepada sang permaisuri.
Sangat disayangkan, di depan mata ayahku. Permaisuri membunuh anak itu dan mengambil hatinya lalu memakannya. Seketika ia selesai makan hati itu, wajahnya kembali dan rambutnya kembali seperti sedia kala. Ayah pun sadar, bahwa wanita ini adalah seorang iblis. Ia berusaha lari namun, permasuiri mengancam. Jika ia lari maka ia akan membunuh ayahku dan memakannya hidup-hidup.
Sejak saat itulah, ayahku menjadi tawanan di istana permaisuri. Sampai suatu saat aku mengunjunginya dan melihat keadaanya. Aku memohon agar ia dilepaskan. Sebagai ganti aku akan melakukan apa pun untuk permaisuri"
Sebuah cerita yang dramatis.
"Apa permaisuri benar-benar melepaskan ayahmu?"
Ia menggeleng. "Sebaliknya, ia malah menguburnya hidup-hidup bersama putra mahkota. Ia menganggap ayahku berbahaya karena mengetahui rahasia mereka. Mereka pun memberikan tanda di punggungku. Jika aku tidak melakukan perintahnya ia mengancam akan membunuhku seperti ia membunuh ayahku"
"Mengapa tidak lari saja?" tanya Gong.
"Mereka memberiku tato, dengan sebuah mantra tato ini akan menjadi hidup"
Pria itu membalikkan punggungnya. Seorang anak buah Huo menyingkapkan pungungnya. Memang ada tato besar di sana. Senuah mahluk terlihat sangat mengerikan. Seperti se-ekor anjing bergigi tajam. Dengan nyala api di kakinya. Ada ular berbisa di leher mahluk itu.
"Jika mereka membacakan mantra. Tak peduli sejauh apa, hewan buas ini akan muncul dan membunuhku."
Aku meminta anak buah Huo kembali menutup punggung pria ini. Gong tidak percaya pada apa yang di dengarnya. Huo menunjukkan sikap biasa saja. Sejak ia bersamaku, ia sudah biasa mendengar banyak hal aneh yang mistis. Itu bukanlah sesuatu yang baru baginya.
"Aku masih hidup, artinya mereka akan membunuhmu bukan?"
"Itulah mengapa bagiku, mati di tangan mereka atau di tangan Tuan Putri tidak ada bedanya. Silahkan bunuh saya."
Aku berfikir sejenak. Melirik ke arah Gong. Melangkah keluar dan Huo mengikutiku.
"Lepaskan pria itu biarkan dia tinggal di sini dan bawa Gong menemui anaknya." Kataku memerintahkan Jendral yang baru saja menutup pintu.
Wajah tenangnya mendadak terganggu dengan ucapanku.