Sebab sindrom yang dialami olehnya, Hinata mampu melihat segala suatu visual nyata di dalam mimpinya. Meski dia buta, dia setidaknya tahu setiap warna, setiap senyuman, kesedihan, bahkan semua yang tidak bisa dia lihat di kehidupannya selama ini, tampak terlihat nyata di dalam mimpinya.
Kadang kala, ia lebih senang untuk terlelap. Dia bisa melakukan apa pun di dalam mimpinya, menyentuh semua benda bahkan tahu kegunaan tanpa menebak-nebak. Ia tahu jenis bunga dari warna dan bentuknya tanpa meraba-raba. Ia pun tahu raut seseorang tanpa perlu mencermati dari nada bicaranya.
"Hinata, kau sudah bangun?" gadis itu dapat mendengar Ino tengah menyibak gorden kamarnya, angin pagi hari menyerbu masuk ke kamar, udara segar pagi hari menyentuh kulitnya yang kemudian meremang, ia bahkan tahu bahwa di luar cerah seperti biasanya, meski sedih karena terbangun tiba-tiba, tetapi ia harus tahu tentang kenyataan yang tak dapat disangkal. "Kau mau langsung sarapan?"
"Ino, kau bukan pelayan di rumahku, jangan menawari aku seperti itu."
"Kau adalah tamu di rumahku, sepantasnya aku memperlakukanmu istimewa."
Hinata mengambil duduk, hingga pada waktu yang sama, Ino mendekatinya, membantunya untuk peregangan. "Jangan lakukan Ino!" tetapi dia tidak bisa menarik kakinya ketika Ino menyentuhnya, memijit perlahan pada bagian pergelangan. "Kumohon, jangan lakukan itu!" wajah Hinata memerah, terselip rasa malu kemudian.
"Mengapa aku tidak boleh melakukannya?"
"Kau..." mau bagaimana lagi, pada setiap pergerakannya dibatasi karena kelumpuhan dari lutut sampai ujung jarinya, Hinata tetap duduk penuh gusar, sentuhan-sentuhan itu kecil, tapi dapat dirasakan oleh Hinata bahwa jari Ino menusuk kulit pada telapak kakinya. "Kau bukan pelayanku."
"Aku seorang teman. Semestinya teman saling membantu."
Pagi itu, Hinata hampir dibuat menangis karena perkataan Ino, tetapi ia sadar untuk tidak menangis terharu. "Aku sudah menyiapkan sarapan, aku belajar banyak dari Hanabi, apa yang perlu aku lakukan ketika pagi, dan pahami sedikit kau memang tidak bisa melakukannya sendiri Hinata, kau butuh seseorang di sampingmu, aku di sini sebagai temanmu, jangan pernah sungkan."
Hinata tersenyum, meski air mata telah menuruni pipinya karena tak dapat ditahan. Kemudian Ino menarik tisu dan menghapus air matanya perlahan. "Biarkan lima belas menit aku melakukan ini, jadi kau hanya perlu menghirup udara pagi hari dalam-dalam, itu juga untuk kesehatanmu."
Setengah jam setelah membantu Hinata melakukan rutinitas pagi harinya, Ino mendorong kursi roda gadis itu untuk menuju ke ruang makan. Sejak Hinata tinggal bersamanya, Ino belajar membuat banyak hidangan.
Sudah hampir sepuluh tahun terakhir ini Ino Yamanaka tinggal sendiri di Jepang, sementara orangtuanya memilih untuk menetap di Australia karena pekerjaan.
"Apa kau yakin tidak menghubungi adikmu?"
"Aku lebih senang kalau dia tidak ke sini," kata Hinata, sambil perlahan menyendoki sup ke mulutnya. "Tahun besok dia sudah kelas tiga, saat-saat seperti ini dia harus memperjuangkan nilai agar masuk ke universitas favorit. Kupikir penjagaannya semakin diperketat, jadi aku tidak ingin membebankan Hanabi, menghubungi anak itu sama saja aku menghambat pendidikannya."
"Mengapa sampai kau berbicara seperti itu? Kalau Hanabi mendengarnya, dia pasti akan marah." Ino menengok pada ambang pintu ruang makan, di sana Hanabi Hyuuga memicingkan mata sembari melipat kedua tangannya di depan dada. "Apa kau sudah siap mendengar ocehan Hanabi?" Hinata tergelak selesai dia meletakkan sendoknya di samping mangkuk nasi. "Kalau sudah siap, maka aku akan tinggalkan kalian di sini berdua." Hinata terkesiap.
"Ino, apa maksudmu?" Hinata mengendus-endus, ia baru menyadari aroma bunga matahari ciri khas adiknya tercium di sekitarnya. "Hanabi?"
"Ya, ya, ya, kau sok dewasa sampai mengatakan hal seperti itu! Apa kau benar-benar tidak membutuhkan aku?" Hanabi mendekati kakaknya, sedangkan di depan kabinet ketika Ino mengambil mangkuk nasi untuk Hanabi, perempuan pirang itu terkekeh melihat wajah ketakutan Hinata. "Kau yakin aku tidak perlu ke sini?"
"Kau membolos lagi?"
"Jawab pertanyaanku!"
Hinata menghela napas. "Bukan seperti itu, kau akan kelas tiga, seharusnya kau belajar dengan giat."
"Ayolah, Kak, aku belajar dengan giat setiap harinya, bahkan ketika aku tidak belajar aku tetap juara kelas, sama-sekali tidak berubah. Lantas, ketika aku berada di rumah apakah aku perlu kembali bergelut bersama buku, pena, dan pensil? Tidakkah boleh aku bermain sebentar kemari?" Hanabi menggeleng-gelengkan kepalanya tidak mengerti—tentu saja dia menunjukkan rasa lelahnya dengan itu, seandainya kakaknya tahu bahwa kepalanya seakan-akan meledak dalam detik kelima setelah menghirup dalam-dalam oksigen setiap harinya.
Namun setelah itu Hanabi tersenyum kembali begitu melihat raut wajah kakaknya ditekuk. "Tidak akan ada yang menyalahkan dirimu lagi, kau sudah keluar dari tempat jahanam itu."
"Ayah dan Ibu?"
Hanabi melirik ke samping, ketika Ino datang dengan setelah itu menyajikan semangkuk nasi untuknya. "Jangan pikirkan mereka berdua," ujar gadis itu. "Mereka masih di luar negeri untuk melakukan kunjungan, Ibu menemani Permaisuri pergi ke Inggris, kudengar bertemu dengan Ratu Elizabeth."
"Apakah seseorang mengikutimu Hanabi?" Ino bertanya kali ini. "Orang rumah tidak merasa curiga Hinata menghilang?" alis Hanabi hampir menyatu, tetapi gadis itu membuang napasnya sesaat setelah menjumpai kakaknya justru terlihat penasaran.
"Bagaimana?" tanya kakaknya.
"Neji membantuku," Hinata melebarkan kedua matanya, tubuhnya menegang seketika. "Kak Neji tahu semua rencana kita. Dia akan bertanggungjawab, untuk sementara waktu tidak akan ada orang yang mencarimu, tapi kemungkinan yang terjadi ketika Ayah dan Ibu pulang dari Inggris, semua pengawal dan mata-mata mungkin akan mencarimu ke ujung dunia sekalipun."
Ino menangkap tangan Hinata yang dingin. "Aku merepotkan Kak Neji."
"Ayolah, Kak Neji bahkan tidak merasa direpotkan, dia mendukungmu, dia mengatakan sekali saja tidak mendengarkan apa yang dikatakan Ayah, Kak Neji bilang, dia akan membantumu untuk kembali tersenyum."
Neji memiliki ciri khas sebagai pria apatis yang tidak memikirkan siapa pun selain dirinya sendiri dan perintah orangtuanya. Terkadang pria itu cukup skeptis dalam mengambil keputusan yang dirasa olehnya sama-sekali tidak memiliki keuntungan atau bahkan ketika keputusan itu tidak didasari dari perintah sang ayah, Neji sama sekali tidak akan berminat untuk terlibat ke masalah siapa pun.
Sementara ketika mendapati Neji sangat memikirkan dirinya, Hinata beranggapan jika Neji sedikit berubah untuk kali ini—sepanjang mengenal Neji sebagai kakak kandungnya yang pendiam, pria itu tidak pernah peduli pada siapa pun bahkan saudari-saudarinya, hidupnya selalu ditekan untuk menjadi penerus klan, dan ucapan ayahnya menjadi prioritas yang tak dapat dibantahkan.
Meski terselip ketidakpercayaan, seharusnya dia mengapresiasi sikap kakaknya dalam hal ini. Satu-satunya yang dapat dilakukan dalam sementara waktu, tidak boleh meragukan Neji.
Hari itu, setelah sarapan, Hanabi membolos lagi, tetapi Hinata tidak berani memperingatkan adiknya soal pentingnya pergi ke sekolah dan memiliki seorang teman, sementara baginya sendiri ia tidak pernah mengenal siapa pun selain Sasuke dan Sakura. Teman yang sesering mungkin meluangkan waktu untuk bertemu dengannya bahkan menanyai kabarnya.
Dan pagi yang sama ketika baru membuka toko bunga, Ino dikejutkan oleh kehadiran seorang laki-laki tinggi ada di depan taman kecil buatannya, duduk di salah satu kursi besi sambil membaca surat kabar yang baru mendarat di atas rumput buatan pada tamannya. "Oh, selamat pagi." Ino menyapa dengan gugup. "Seikat bunga?" ia mencoba menebak.
"Seperti janjiku kemarin, aku akan kembali ke sini untuk bertemu Hinata."
Di belakang Ino, Hanabi tengah mendorong kursi roda kakaknya untuk dibawanya ke taman di mana sering kali kakaknya membantu Ino memilih-milih bunga segar. Dan ketika mendapati Ino menghalangi jalannya, Hanabi berhenti untuk mengunci kursi roda kakaknya, kemudian mendekati sisi Ino sembari penasaran siapa sosok laki-laki tinggi yang ada di taman botani Ino. Laki-laki itu berujar ramah dan juga tenang.
Mata dengan mata bertemu.
Hanabi terdiam dalam beberapa detik waktunya begitu matanya menembus indahnya safir laki-laki yang memberikan senyuman hangat kepadanya pagi ini. Oh sialan, laki-laki itu bukannya—"Kau?" Hanabi mendadak kelu.
"Apakah dia datang lagi?" ketika secepat dia membalikkan tubuhnya untuk kembali memandangi sang kakak, yang ditemukan oleh Hanabi jika kakaknya bertanya sembari mengumbar senyum malu-malu—hingga akhirnya membuat Hanabi sendiri bertanya-tanya; sejak kapan kedua orang ini kembali bertemu?
"Hanabi, dia temanku." Hinata memperkenalkan begitu bangga.