webnovel

Bagaimana?

"Kau diam saja disini," perintah Adhitya kepada Arfa agar tetap tinggal di depan pintu UKS. "Aku tidak akan lama."

Arfa hanya mengangguk patuh dan bersandar pada salah satu tiang yang berada di dekat UKS. Sedangkan Adhitya, ia memutuskan untuk masuk ke dalam ruangan itu dan berniat bicara empat mata dengan Zera yang telah ia perlakukan dengan tidak pantas itu.

"Aku menyukainya. Jatuh cinta padanya. Menghormati dirinya." Adhitya menghentikan langkahnya sesegera mungkin ketika suara Zera menyeruak masuk melalui gendang telinganya. Isakan wanita itu, Adhitya merasa bersalah di atasnya. Sekaligus ia terkejut akan perkataan wanita itu. Ia tidak menyangka kalimat tadi ialah kalimat pertama yang akan ia dengar setelah melukai wanita itu.

"Aku tidak ingin ia berbalik menyerangku dengan berjalan bersama wanita lain. Aku tidak bisa," lanjut Zera dan Adhitya kembali menegang. Tunggu, dia benar-benar cemburu aku bermesra dengan Vanie?, batin Adhitya. "Aku sudah cukup mati selama beberapa menit ketika melihat Adhitya memeluk mesra seorang wanita. Adhitya sangat sayang pada wanita itu dan aku tidak bisa tahan untuk tidak menangis." Tunggu, Zera menangis waktu di gereja? "Lalu ia bersikukuh untuk menjadikanku kekasihnya tapi aku menolak dengan tidak jelas. Ia beranggapan aku menerima lalu menyebarkannya ke seluruh penjuru sekolah. Lalu aku menuduhnya memiliki perasaan pada wanita lain. Aku bodoh ya?"

Adhitya mengepalkan tangannya, mengingat setelahnya ia membabat habis oksigen Zera hingga kini ia masih terisak dan suaranya terdengar sangat bergetar. Adhitya tidak mampu membayangkan seperti apa kondisi wanita itu saat ini karena ia tahu pasti sangat buruk. Zera benar-benar shock karena dirinya berlaku tidak adil. Menciumnya tanpa izin, di hadapan banyak orang? Yang benar saja, desah Adhitya.

"Aku harus meminta maaf padanya sebelum ia benar-benar pergi dan meninggalkanku untuk selamanya. Aku suka pada dia yang selalu berada di sisiku. Sulit melepaskan ketika aku tidak hanya nyaman tapi sudah terkurung dalam emosi yang ia ciptakan," lanjut Zera yang kembali membuat Adhitya mencaci dirinya sendiri dalam hati.

"Aku mencintainya. Dia, yang pertama meraih tali kepercayaanku."

Adhitya tidak bisa berpikir dengan jernih. Otaknya panas dan hatinya mengeras. Ia tidak bisa mengendalikan detak jantungnya yang tidak normal. Napasnya memburu dan ia membutuh oksigen saat ini. Zera memenuhi otaknya. Zera membuatnya kehilangan kendali. Mencium wanita itu membuatnya menjadi lelaki brengsek yang utuh dan sempurna. Lebih parahnya lagi, ia tidak bisa menghentikan bayangan tentang pertama kali bibirnya menyentuh bibir Zera. Terlalu nyaman dan ia terlalu menikmati setiap detail perasaan itu.

Adhitya membuka tirai yang menyembunyikan wajah Zera dan Reva dibaliknya. Ia menatap tegas ke arah Reva dan untungnya tanpa perlu diperintah, wanita itu bergegas meninggalkan mereka berdua saja. Ya. Berdua. Dirinya dan Zera. Wanita yang membuatnya merasa penasaran dan tertarik untuk menjadikannya lebih dari sekadar sahabat.

"Aku minta maaf," ujar Adhitya tanpa basa-basi. "Aku salah. Seharusnya aku tidak menciummu seperti itu."

Zera hanya terdiam di tempatnya. Bergeming menatap mata Adhitya yang tidak melunak sedikitpun. Adhitya menunjukkan sikap dinginnya bahkan saat ia tahu ia sedang bersalah. Lalu apa lagi yang ia tunggu? Toh ia sudah meminta maaf?

"Aku kecewa," tambah Adhitya dan kali ini membuat tubuh Zera semakin bergetar. "Aku sakit hati mendengarmu berbicara tentang hubunganku dengan Vanie seperti itu."

Zera berusaha membuka mulutnya untuk mengangkat suara namun gagal. Ia hanya bisa membuka lalu mengatupkan bibirnya, lagi dan lagi. Tidak bisa menggerakkan tubuhnya juga setelah ditatap semenakutkan itu oleh Adhitya.

"Kau sepertinya suka saat aku bersama dengannya," dusta Adhitya. Ia tahu dengan pasti jika Zera cemburu saat ia bersama dengan Vanie. Tapi ia tetap mengatakannya hanya sebatas formalitas yang menunjukkan bahwa ia tidak tahu apa-apa. "Kau suka aku menjalin hubungan lebih? Baik. Akan kulakukan."

"Jangan," pekik Zera begitu mendengar ketiga kalimat terakhir Adhitya. Hatinya tentu saja terluka. Adhitya pun demikian. Kecewa membuatnya melakukan hal yang tidak-tidak demi mempertahankan Zera disisinya. Demi mendapatkan pengakuan Zera tentang perasaan yang mungkin-mungkin timbul di antara mereka.

"Jangan," desah Zera dengan nada yang lebih lemah. Matanya memelas dan air matanya mengucur. "Aku minta maaf membuatmu kecewa."

Adhitya tersenyum dengan paksa. "Setelah ini kita tetap sahabat. Tidak lebih."

"Aku..."

"Kalau kau merasa tidak diinginkan di dunia ini, bagiku kau yang tidak membiarkan orang lain untuk menginginkan dirimu. Bahkan ketika aku ingin melakukannya kau tetap saja menolak," tambah Adhitya tidak peduli dengan pemikiran Zera. "Orang akan mengira aku bersama dengan Vanie itu benar. Aku hanya bisa menjalaninya."

"Adhit," panggil Zera lemah. Ia sudah frutasi akan menjawab apa. Ia tidak tahu harus menjawab apa.

"Aku akan meresmikan hubungan kami. Kau benar. Aku memang sayang padanya. Aku memang memiliki rasa lebih padanya. Dan kalau akhirnya kau harus kembali padaku, semoga Vanie adalah perantaranya."

"Apa maksudmu?" tanya Zera dengan dahi berkerut.

"Melibatkan Vanie adalah ide yang buruk. Dia hanyalah anak kecil. Tapi...." Adhitya menggantungkan kata-katanya. "jika kau hanya bisa merasakan patah hati dan cemburu saat aku bersama dengannya, aku akan melibatkan Vanie untuk setiap hal. Aku janji."

"Adhit..."

"Kau yang memaksaku untuk berhenti menginginkan dirimu. Tapi kelak aku akan memastikan kau kembali pada pelukanku, bukan sebagai sahabat. Dan semoga Vanie adalah perantaranya."

---

"Kau ingat wanita yang di gereja waktu itu?" tanya Adhitya berusaha membuat Vanie ingat akan Zera.

"Tidak," jawab Vanie dengan ketus.

"Ayolah, Van. Cobalah untuk mengingat," paksa Adhitya.

Vanie memutat bola matanya. Ia mendengus kesal karena waktunya yang selalu ia sisihkan untuk bersenang-senang harus direnggut oleh pembicaraan tidak penting di antaranya dengan kakak temannya sendiri itu.

"Aku ingat," ujar Vanie kesal karena Adhitya terus merengek agar ia mengingat Zera. "Lavazera, 'kan?"

"Bagaimana rupanya?"

"Lebih tinggi dariku. Pasti seumuran denganmu. Cantik."

Adhitya memekik bahagia karena perjuangannya untuk membuat Vanie ingat akan Zera telah berhasil. Yang sebenarnya Vanie sudah ingat dari awal tapi ia malas jika harus menjawab pertanyaan Adhitya tanpa membuat lelaki itu tersiksa terlebih dahulu.

"Aku butuh bantuanmu," ujar Adhitya pada akhirnya.

Vanie langsung memutar tubuhnya dan berjalan cepat-cepat untuk meninggalkan Adhitya, namun Adhitya langsung menghadang langkahnya. "Aku butuh bantuanmu."

"Tidak mau," ketus Vanie. Karena ia tahu permintaan Adhitya pasti sangat merepotkan dirinya. Dan ia pasti akan tergolong rugi.

"Please?" rayu Adhitya sambil memainkan rambut Vanie.

Vanie mendesah kalah dan Adhitya langsung melonjak kegirangan. Kakak dari temannya itu sangat menggelikan. Menjengkelkan. Tapi ia senang bergaul dengan lelaki itu. Wawasannya jadi luas. Ia jadi merasakan betapa bahagianya memiliki kakak laki-laki dalam hidupnya. Ia merasakan bagaimana rasanya dimanjakan oleh seorang kakak yang bersiap jungkir balik untuk melindunginya.

"Katakan," kata Vanie sembari bersedekap.

"Apa kau menyayangi diriku?" tanya Adhitya to the point.

"Hah?" Spontan Vanie langsung membelalak kaget lalu memukul kepala Adhitya keras-keras. Ia memarahi Adhitya habis-habisan hingga tenaganya terkuras habis dan napasnya tersengal.

"Aku hanya bertanya, Vanie!" teriak Adhitya pada telinga Vanie agar wanita itu berhenti memukulnya.

"Kau sudah gila bertanya padaku seperti itu."

"Ya sudah tidak jadi," gerutu Adhitya sambil mengelus puncak kepalanya yang terasa perih akibat pukulan maut Vanie.

"Kau selalu merugikanku saat meminta tolong," celoteh Vanie dengan kesal. "Kapan kau menguntungkan diriku?"

"Aku hanya meminta bantuanmu."

"Sudah kukatakan tidak mau. Lagipula mengapa kau harus bertanya tentang aku menyayangimu atau tidak? Tidak penting!"

Adhitya menghela napas panjang lalu menahan kedua pergelangan tangan Vanie sebelum berucap, "Karena aku ingin memintamu berpura-pura menjadi kekasihku."

Vanie hanya membelalakkan matanya. Ia ingin sekali menghantamkan seluruh barang ia miliki ke kepala lelaki itu agar jalan pikirnya menjadi benar. Hanya saja pergelangan tangannya digenggam erat dan ia tidak memiliki cukup tenaga untuk melawan genggaman Adhitya. Vanie menatap Adhitya dengan tidak percaya. Rahangnya mengeras dan ingin sekali membuat Adhitya menyesal pernah mengatakan hal itu kepadanya.

"Jangan pukul aku lagi," kata Adhitya sambil menatap penuh permohonan.

"Kau sudah gila memang. Aku adikmu. Bagaimana kau bisa mengatakan itu padaku?"

"Zera merasa cemburu saat melihatku denganmu. Sebelumnya ia tidak pernah cemburu. Bahkan ketika aku menggendong wanita lain dalam pelukanku."

"Lalu?" tanya Vanie tidak mengerti.

"Aku menyukainya. Aku merasa cukup dengan memiliki dirinya. Tapi ia tidak ingin mengakui perasaannya di depanku. Aku sudah mendengarnya mengaku mencintaiku. Tapi ia belum mengatakannya padaku," jelas Adhitya. "Aku ingin dirinya kembali padaku. Aku ingin memilikinya dengan utuh."

"Utuh? Bagaimana bisa utuh kalau kau masih seenaknya menggandeng wanita lain untuk kau jadikan mainan?" geram Vanie.

Perlahan Adhitya melepas pergelangan tangan Vanie lalu menangkup wajah Vanie dengan lembut. "Please bantu aku. Aku serius menginginkannya."

Vanie mendesah lelah. Akhirnya tetap ia harus membantu, 'kan?

"Kau hanya perlu berpura-pura menjadi kekasihku saat di hadapannya. Kau bebas berpasangan dengan siapapun. Entah itu Enrico, Vano, Deffas atau siapapun yang kau mau. Asal jangan Ronald," ujar Adhitya menjelaskan job desc Vanie. "Kau bebas mencintai siapapun, tapi kau harus berpura-pura mencintaiku di depan Zera. Kau harus semanis mungkin padaku dan aku akan melakukan hal yang sama."

"Bagaimana kalau aku yang jatuh cinta padamu nantinya?"

Adhitya menganga mendengar pertanyaan itu keluar dari mulut Vanie. Vanie 'tak pernah bercanda sebelumnya. Ia hanya mengeluarkan isi pikirannya tanpa memfilter bahasan-bahasannya terlebih dahulu.

"Maksudku," lanjut Vanie kikuk, "jika esok aku yang tertarik padamu dan bukan Zera bagaimana? Apa boleh?"

"Vanie," desah Adhitya bingung menjawab pertanyaan Vanie. "Sebaiknya kau berhati-hati sebelum bertanya."

"Aku serius."

Adhitya hanya bisa menahan napasnya. Vanie tidak terlihat bercanda. Matanya tegas dan penuh dengan pertanyaan yang sama seperti yang ia lontarkan, membuat Adhitya bergidik ngeri saat membayangkan hal itu benar-benar terjadi.

"Kau tahu peribahasa yang mengatakan tentang cinta datang karena kebiasaan?" tanya Vanie membuyarkan lamunan Adhitya. "Mengapa tidak memintaku sebagai kekasih sungguhanmu saja?"

"Vanie," desah Adhitya bingung.

"Kalau aku berpasangan dengan laki-laki lain selain dirimu dan Zera melihatnya, tidak lucu nantinya."

Adhitya membenarkan dalam benaknya. Kalau itu benar-benat terjadi bagaimana? Apa yang akan ia katakan? Vanie berselingkuh? Hanya sebatas teman Vanie? Atau apa lagi?

"Tidak semuanya berjalan sesuai keinginanmu. Kalau kau bersikap manis padaku dan tiba-tiba aku yang mencintaimu bagaimana, Kak?" tanya Vanie sekali lagi dan Adhitya merasa kepalanya semakin pecah. "Aku tidak mau diberi harapan palsu."

"Kalau begitu kau harus menahan diri untuk tidak menyukaiku," ujar Adhitya berusaha tenang.

"Kalau aku tidak bisa?"

"Pasti bisa."

Vanie memanyunkan bibirnya, berusaha menyusun pertanyaannya lagi. Ia suka menggangguk ketenangan batin Adhitya. Sekaligus, ia memang was-was jika hal yang ia pikirkan ini benar-benar akan terjadi.

"Kau tampan, Kak. Sangat. Kau juga romantis. Kau menjagaku di setiap saat. Kau memperlakukanku seakan-akan aku sangat rapuh. Aku suka membayangkan kelak menjadi istrimu," tutur Vanie dan Adhitya menegang seketika. "Apa kau tidak pernah merasa menyukaiku? Atau sayang padaku?"

Adhitya berusaha menghilangkan semua pemikiran tidak baik yang melintasi otaknya. Ia berusaha mengatur ketepatan suaranya. Tapi membuka mulut saja ia tidak bisa. Adhitya bergeming menatap Vanie yang mulai tertawa terbahak-bahak melihat reaksi Adhitya.

"Astaga, Kak. Jangan dipikirkan," ujar Vanie sambil melanjutkan tawanya. "Aku hanya bercanda."

Ada setitik lega dalam hati Adhitya. Tapi tawa Vanie justru membuatnya makin bingung. Ia merasakan dadanya mengalami desiran aneh yang membuatnya tidak yakin kalau Vanie memang hanya bercanda. Atau sebenarnya ia tidak suka mengetahui Vanie sedang bercanda terhadap dirinya.

"Kau yakin sedang bercanda?" tanya Adhitya ragu, tapi ia harus memastikan.

Vanie mengibaskan tangannya sembarangan. "Tentu saja tidak."

Adhitya kembali pada perasaan tegangnya. Sialan. Vanie berhasil mempermainkan perasaannya. Ia bahkan tidak tahu bagaimana cara memaki wanita yang adalah teman adiknya sendiri. Ia kesal setengah mati, namun takut sampai mati jika ucapan Vanie benar-benar terjadi. Wanita itu menyukainya pada akhirnya?

"Aku lebih takut kalau kau tiba-tiba mencintaiku," kekeh Vanie sambil menepuk pundak Adhitya. "Kemungkinan itu untuk terjadi sangat besar 'kan, Kak? Apa kau sudah memikirkannya sebelumnya?"

"Vanie!" bentak Adhitya tidak sabar dengan semua ocehan Vanie yang membuatnya tidak nyaman.

Yang dibentak hanya tertawa ringan lalu melanjutkan, "Ya, aku sayang padamu. Dan juga pada Ribka bahkan keluargamu. Bagaimana denganmu? Ribka bilang kau menyayangiku lebih dari sekadar sebagai adik."

Astaga, yang benar saja. Adhitya lupa pernah mengakui hal itu di depan adiknya sendiri. Sialnya Ribka mengatakannya pada Vanie? Semenjak kapan kedua wanita ini membicarakan dirinya dan ia tidak tahu? Ribka akan habis setelah ini. Adhitya berjanji pada dirinya sendiri.

"Jawab aku, Kak," paksa Vanie sambil menggoyang-goyangkan tubuh Adhitya agar lelaki itu tidak melamun lagi. "Bagaimana kalau kita saling mencintai dan lupa bahwa tujuan kita untuk membawa Kak Zera ke dalam pelukanmu?"

Adhitya menghela napas singkat dengan sangat pelan, menatap Vanie dengan serius lalu berucap lembut dan penuh ketegasan, "Aku sudah menyayangimu. Aku pernah menyukaimu. Tapi aku hanyalah seorang kakak di matamu. Dan sekarang aku hanya menyukai Zera."

"Pertanyaanku tidak terjawab," protes Vanie.

"Kalau ternyata esok kita saling mencintai, aku tidak tahu. Kalau aku yang mencintaimu, aku akan tanggung resikonya."

Vanie mengerutkan dahinya. "Kalau aku yang mencintaimu, bagaimana?"

Bab berikutnya