Rockbar Cafe, Bali
Vian memilih untuk mengadakan pesta lajangnya di Rock Bar Cafe, sebuah Bar yang berada di pinggiran tebing dengan view pantai serta samudera luas yang akan memanjakan mata siapapun yang melihatnya. Beberapa tanaman segar yang di biarkan menjadi hiasan alami tempat ini, tangga dari bata yang mengarah langsung ke pasir pantai yang berkilauan di terpa cahaya bulan, kolam renang bertingkat dengan beberapa kusi malas di pinggir-pinggir kolam. Itu tadi hanya beberapa design eksterior dari restaurant ini.
Menuju ke dalam ruangan eksotis itu, Mata Briena di suguhkan oleh pemandangan yang membuatnya berdecak kagum. Sebuah mini bar terletak di tengah ruangan dengan nuansa warna orange, ungu dan biru itu. Menjadikan bar itu sebagai fokus utama ruangan ini. Di sudut barat tempat ini terdapat ruangan yang didesain sebagai restaurant formal dengan menu masakan khas Bali. Sedangkan di sudut timur terdapat balkon yang terbuat dari bata dan kayu yang mengarah langsung ke pantai.
Briena dapat melihat dengan jelas bahwa balkon itu kini sudah di penuhi oleh teman-teman Vian. Karena sedang tidak mood menghadapi Vian dan teman-temannya, Briena memilih untuk menyendiri dan duduk di kursi bar di tengah ruangan. Memesan salah satu jenis wine dengan kadar alkohol yang cukup tinggi kepada bartender yang bertugas.
Sedangkan para sahabat Briena, entah pergi kemana?
Berburu pria lajang yang tampan, mungkin.
Ck.
"Segelas wine untuk perempuan cantik malam ini," ujar bartender itu, seraya meletakkan pesanan Briena dihadapannya. Lalu dengan perlahan Briena meneguk cairan bening itu setelah mengucapkan ucapan terimakasih kepada bartender yang diketahuinya bernama Joce.
"Sepertinya kau begitu mengagumi desain restaurant ini. Kau tidak ingin bergabung dengan teman-temanmu di lantai dansa?" sapa sebuah suara di sebelah Briena. Pria itu memesan minuman yang sama seperti Briena.
"Aku tidak suka berdansa dengan para bajingan itu," sahut Briena sekenanya.
"Hei, aku hanya mengundang orang yang baik-baik saja," protes Vian.
"Siapa orang bodoh yang mengkategorikan pria hidung belang yang suka memanfaatkan perempuan mabuk, ke dalam kategori orang baik?" sinis Briena meraih minumannya lalu meneguknya dalam sekali teguk. Jangan lupa juga dengan penari setengah telanjang yang sedang meliuk-liukkan tubuhnya di tengah lantai dansa.
Aku menganggap itu sebagai ciptaan Tuhan yang patut dinikmati.
Briena mendengkus sinis. Kau bilang apa? ciptaan Tuhan yang patut dinikmati? Tubuh telanjang itu? ujarnya tak percaya.
"Bi, di dunia ini hanya ada dua tipe laki-laki, pertama dia yang pecinta perempuan dan yang kedua dia yang orientasinya berbeda atau homoseksual. Itu artinya, laki-laki normal yang memuja bentuk tubuh perempuan dan manusia tolol yang lebih memilih sesama jenis. Jadi, kalau aku sampai memuja tubuh sexy mereka, itu berarti aku masih normal. Kalau aku tidak tergoda, mungkin ada yang salah dengan tubuh mereka." Vian menegakkan tubuhnya, sedikit menyeringai puas kearah Briena.
Oh, sial!
Dia bilang tubuhku tidak normal.
Memang tubuhnya itu normal apa?
Tidak!
"Lalu kenapa kau malah duduk disini dan tidak menikmati 'ciptaan Tuhan' yang kau maksud tadi?" cibir Briena sinis, menegak kembali minumannya.
"Aku bisa menikmatinya dari sini," sahut Vian santai.
"Huh." Lagi-lagi dengusan kesal dari Briena membuat Vian ingin tertawa lebar. Pria itu merasa di atas awan karena sikap cemburu yang diperlihatkan oleh Briena. Oh, bukan cemburu, melainkan rasa tak ingin kalah.
"Kenapa kau tidak mengajak salah satu dari mereka ke ranjang sekalian?" ujar Briena sarkatis. "Daripada hanya diam dan memandang mereka seperti orang tolol," imbuh perempuan itu.
"Kau 36 B dan dia 34 B, kau fikir aku bodoh memilih standar yang lebih rendah dari punyamu. Aku lebih tertarik untuk mengajakmu dari pada pelacur-pelacur itu," ujar Vian sekenanya, meminum wine miliknya dengan santai.
Brengsek!" jerit Briena menatap Vian sinis.
Hahahahaha. Pria itu justru tertawa kencang melihat ekspresi Briena.
Kau memang menyebalkan! omel Briena beranjak dari kursi yang ia duduki.
"Apa yang akan kau lakukan kalau kau mencintai, Kenares?" tanya Vian membuat lagkah Briena terhenti.
Briena memutar tubuhnya ke arah Vian. "Kau tadi bilang apa?"
"Aku bertanya, apa yang akan dilakukan seorang Kalebriena jika harus dihadapkan pada situasi antara cinta dan keluarga? Mana yang akan kau pilih?" ujar Vian memperjelas pertanyaannya. "Kau pilih aku atau kau pil-"
"Kau."
"Huh?"
"Aku tetap memilihmu," sahut Briena santai, namun tegas.
"Kenapa?"
"Oh, ayolah Vi. Kenapa kau jadi tolol? Kau fikir aku akan melakukan tindakan bodoh seperti yang dilakukan oleh pasangan Romeo & Juliet, mereka mengorbankan nyawa mereka dengan mengatasnamakan cinta. Aku orang yang cukup realistis untuk berfikir kalau sebuah relationship apalagi pernikahan tidak cukup hanya menggunakan cinta... ya, walaupun Ares orang yang cukup kaya, tapi jelas lebih baik kau 2 kali lipat. "
"Ck, dasar matre."
"Cassanova sepertimu seharusnya tidak usah kaget jika bertemu perempuan seperti diriku, bukannya semua korbanmu pasti selalu meminta haknya untuk meminta apapun yang bernominal... atau aku harus menyebutmu sebagai korban? Laki-laki itu, kodratnya memang harus memenuhi masalah materi."
"Jadi, kau ingin balas dendam karena kodrat kalian hanya untuk memenuhi kebutuhan biologis kaum lelaki?"
"Itu adalah kalimat yang di lontarkan oleh laki-laki yang berfikir hanya dengan menggunakan penis."
"Dan makian itu di ucapkan oleh perempuan yang otaknya dipenuhi uang."
Makasih kalian semua sudah dukung cerita ini. Maaf jarang menyapa kalian, tapi plis dukung anak-anak saya ya.
Please, give me a power stone .
Jangan lupa juga kasih bintang dan review cerita saya yang lain, supaya anak-anak saya terkenal dan banyak yang baca.
Semoga Mas Vian dan Mbak Briena bisa naik rangking. Dukung mereka dengan memberi komen, like, atau power stone.
Thank you semua, ayam flu(๑♡⌓♡๑)
PYE! PYE!