Ellenoir Café, seperti seorang kekasih yang kesetiaannya sedang diuji, sudah hampir satu jam Vero menunggu perempuan yang telah mencuri jam tangannya. Setiap menit yang terlewat membuat Vero yakin bahwa perempuan itu takut untuk bertemu dengannya dan mungkin dia tidak akan datang. Tapi, di ujung keputusasaan, seorang perempuan dengan rambut kecoklatan datang menghampirinya. Perempuan bermata sendu dengan pipinya yang berwarna merah muda. Ia tidak mengatakan apa-apa, hanya berdiri sambil menundukkan kepala.
"Kukira kamu tidak akan datang," ucap Vero mengawali pertemuan mereka.
"Saya kira Anda tidak akan menunggu."
"Sudah kubilang aku akan menunggungumu. Jadi, aku tetap di sini."
"Rasanya saya tidak perlu menjelaskan kenapa saya terlambat. Sudah saya bilang saya tidak tahu apa saya bisa menemui Anda atau tidak hari ini."
Vero tersenyum. Ia tidak ingin percaya alasan apa pun kecuali perempuan itu yang perlu berpikir panjang menemuinya. Lalu, ada apa dengan sebutan "Anda"? Vero menghela napas. Ia merasa jengkel karena tidak bisa begitu saja mencairkan suasana. Pertemuan mereka jadi terkesan canggung dan menegangkan, Vero tidak suka itu.
Amira menarik kursi dan duduk berhadapan dengan laki-laki yang masih asing buatnya. Sesuatu yang tidak ia mengerti kenapa akhirnya ia singgah ke café itu, kecuali sedikit rasa balas budi dan sedikit rasa bersalah yang membuatnya tidak bisa menjauh begitu saja.
"Bagaimana perasaanmu?"
Amira dibuat berpikir. Ia lupa kapan terakhir kali merasa baik-baik saja.
"Apa kejadian kemarin masih membuatmu takut?"
Ekspresi Amira tetap datar ketika mendengar pertanyaan kedua yang dilontarkan padanya. Ada lebih banyak hal yang buruk yang terjadi di hidupnya, dan soal kejadian dengan orang gila, adalah hal kesekian yang perlu dipikirkan.
"Saya sudah melupakannya, Pak! Jadi, Anda tidak perlu bertanya lagi."
"Orang normal tidak akan melupakan peristiwa traumatis seperti itu dengan mudah," tegas Vero. "Tidak perlu berbohong padaku, ungkapkan saja perasaanmu padaku! Sebisa mungkin aku akan membantumu melewati ini."
Amira menggelengkan kepalanya.
Vero menarik punggungnya. Diam-diam memperhatikan perempuan di hadapannya. Ada sisi di mana ia benar-benar benci karena jam tangannya dicuri. Tapi, setiap kali melihat Amira menunduk dengan tatapan kosong, Vero merasa kasihan. Perempuan itu seperti sangat tertekan.
"Apa kamu baik-baik saja?" tanya Vero lagi ketika sudah lima menit berlalu tanpa kata-kata yang keluar dari mulut Amira. Perempuan itu juga tidak protes dengan Vero yang seolah juga menikmati diamnya. Tidak, sebenarnya Vero tidak benar-benar diam, ia hampir menghabiskan Steak Blackpapper yang tersaji di hadapan mereka. Sementara Amira, entah semengerikan apa hidangan itu bagi dirinya, Amira sama sekali tidak menyentuh makanan tersebut.
"Boleh saya pergi sekarang?" ucap Amira terkesan tiba-tiba.
Vero mengambil tisu dan mengusapkan tisu tersebut ke mulutnya. Ia mencoba mencerna apa yang sebenarnya terjadi. Apa perempuan di hadapannya mulai merasa bersalah karen telah mencuri sehingga merasa tidak pantas untuk mendapatkan perlakuan istimewa. Sekali lagi Vero tidak yakin. Jika saja ia merasa bersalah, maka seharusnya perempuan itu meminta maaf kepadanya. Keyakinan Vero yang utama adalah Amira yang kleptomania dan itu belum berubah. Lagi pula, apa yang dilakukannya sekarang bukanlah hal yang istimewa.
"Anda yang bilang bahwa saya tidak perlu membayar biaya rumah sakit."
Kening Vero mengerut. Ia mencoba memahami arah pikiran Amira.
"Ya," jawab Vero singkat.
"Dan saya katakan bahwa saya tidak perlu bantuan Anda untuk mengatasi ketakutan saya."
Vero agak ragu soal itu. "Jadi?" tanya Vero.
Amira diam sejenak. "Saya harus pergi!"
Vero belum beranjak dari tempat duduk, ia tidak sungguh-sungguh berpikir tentang perempuan yang meninggalkannya begitu saja dan sedikit menyisakan rasa penasaran. Perempuan itu sekarang berada di seberang jalan, ia menengok ke kanan dan ke kiri, seperti menghadang sesuatu. Tidak lama berdiri di tepi jalan, perempuan itu melambaikan tangan. Sebuah angkutan umum berhenti di hadapannya.
Hanya angkutan umum, Vero mulai berpikir betapa tidak nyamannya berada di dalam sana. Setidaknya itu berdasarkan sudut pandangnya. Kota tempat mereka tinggal bukanlah kota besar, Vero baru menyadari itu saat tahu bahwa Amira bukanlah orang asing. Perempuan muda dengan kulit pipinya yang memerah, Vero merasa pernah melihatnya di salah satu restoran Jepang, bekerja sebagai waiters di sana. Dan Vero pernah harus meninggalkan selembar uang seratus ribuan hanya untuk membeli sekeping analgetik di apotek 24 jam karena tidak tega membangunkan kasir yang tertidur di tengah malam. Dan di mall? Vero tersenyum sendiri membayangkan itu. Perempuan itu tampak lebih sibuk darinya, tentang apakah dia bekerja di tiga tempat dalam satu hari. "Tidak mungkin itu dia. Ingatanku pasti salah,"gumamnya.
~II~
Maaf, Ver! Aku tidak bisa datang.
Mengecewakan. Sepertinya begitu. Vero akan melewati akhir pekan yang cerah sendirian. Bukan salah Angel jika ayahnya seorang dokter bedah ortopedi. Alasan pekerjaan membuat keluarga itu jarang bertemu. Dan sekarang, orang tua itu tiba-tiba saja ingin menghabiskan akhir pekan dengan Angel dan saudara-saudaranya. Sebenarnya Angel menawari Vero untuk datang ke rumahnya, tapi Vero bilang bahwa ini waktu yang tidak tepat. Vero merasa bahwa laki-laki adalah ancaman bagi seorang ayah yang memiliki anak perempuan. Vero tidak ingin acara keluarga Angel berubah menjadi menegangkan.
Pelan-pelan potongan memori tentang keluarga muncul di benaknya. Besok dia harus ke Jakarta, juga Bogor, mungkin akan bertemu dengan satu-satunya orang yang berhak ia sebut keluarga. Meski Vero tidak ingin mengakuinya. Vero mengempaskan punggungnya ke sofa sambil mengembuskan napas payah. Di hadapannya ada jendela kaca besar yang memperlihatkan batas daratan dan perairan yang begitu tegas.
Vero tidak tahan dengan air yang begitu tenang, itu seperti tantangan baginya. Kadang-kadang percikan air di lautan berkilau seperti kilauan berlian, seakan mengedip dan meminta untuk datang. Vero berdecak. "Tidak mungkin lautan setenang itu," katanya. Dia hanya perlu turun satu lantai dan berjalan sekitar 50 meter untuk sampai pada sesuatu yang mengganggu pikirannya. Lautan yang coba menantangnya.
Seseorang melempar kunci pada Vero. Vero menangkap benda itu dan terus melangkah ke dermaga.
Ali, yang barusan melempar kunci pada Vero memang paham betul apa yang diinginkan dokter itu jika turun ke laut. Jet ski, Vero tergila-gila dengan benda yang satu itu. Hanya saja,
"Sebagai penjaga tempat ini... aku tetap harus menyarankan...,"
Dan seperti biasa, Vero memutar pedal gas tanpa membiarkan Ali menyelesaikan kalimatnya. Kendaraan air itu melesat dengan sangat cepat.
Ali mendesis, ia menyesal karena menyerahkan kunci begitu saja. Seharusnya ia memberikan kelas khusus bagaimana menggunakan jet ski dengan baik dan benar. Mengingat sudah dua kali Vero hampir mati karena hobinya itu dan dia telah menghancurkan tiga jet ski selama hidupnya. Vero seharusnya menggunakan pelampung agar jika ia jatuh tidak perlu banyak tenaga untuk tetap mengapung dan seperti orang bodoh Vero pernah terdampar di tengah laut karena jet ski yang kehabisan bahan bakar.
"Apa sangat menyenangkan?" tanya Ali saat Vero kembali.
Vero tersenyum lebar, ia melepaskan sweater yang basah saat naik ke daratan. "Seperti biasa," katanya. "Aku suka jalan bebas hambatan."
"Apa ada masalah?" tanya Ali lagi seakan dirinya benar-benar memahami Vero.
Sekali lagi Vero tersenyum. Mereka berdua sadar bahwa pertanyaan itu akan sia-sia. Dan bagi Vero itu seperti lelucon karena Vero tidak akan mengatakan apa pun untuk menjawabnya.
"Terima kasih sudah peduli kepadaku," ucap Vero begitu manis, namun terdengar begitu menjijikkan di telinga Ali.
"Untuk pelanggan VIP yang berharga sekaligus pelanggan paling berbahaya di tempat ini, maksudku aku akan bangkrut jika pelangganku ada yang mati karena main jet ski di tempat ini," Ali benar-benar kesal mengingat ia harus memanggil ambulan dua kali. Sekali karena Vero tenggelam dan yang satu lagi karena Vero menabrak kapal barang yang besar.
Vero menahan tawanya, ia merasa sangat bodoh mengingat hal itu. Rasanya orang yang duduk di sampingnya bukan benar-benar seorang teman. Tapi, orang itu telah menyelamatkan hidupnya dua kali. "Orang asing" Vero begitu kagum dengan istilah itu, ada miliaran manusia yang berjalan di muka bumi ini, tidak sampai 0,0001 % kenal satu sama lain. Dan di antara mereka ada yang menjelma sebagai malaikat penolong, seseorang yang tidak terduga dan benar-benar asing. Vero meletakkan kepercayaan itu pada setiap orang yang ditemuinya. Bahwa mungkin mereka akan menjelma sebagai malaikat, dan malaikat tidak pantas untuk disakiti. Dan atas keyakinannya itu, sekali lagi Vero menjadi orang yang sangat baik.
~II~
Lampu jalanan mulai menyala. Vero menghentikan Lamborgini di tepi jalan, di depan salah satu restoran Jepang. Tidak ada tujuan khusus datang ke sana, kecuali untuk membuang yang namanya lapar. Ada sebuah buku tebal yang ia bawa, itu novel thriller, sesuatu yang membuatnya tidak akan lupa pada Angel. Bahwa buku itu adalah PR yang harus ia kerjakan. Namun, acara santainya terganggu ketika tidak sengaja melihat perempuan kurus dengan pakaian kimono modifikasi berlapis celemek putih di arah jam sembilan. Perempuan itu menghampiri Vero.
Vero segera memasang kaca mata dan memalingkan wajahnya. Namun,
"Apa Anda mengikuti saya hingga ke sini?" tanya Amira sambil menyerahkan lembar menu pada Vero.
"Yah, ketahuan,"gumamnya.
Vero melebarkan senyum, ia masih berpikir bagaimana meyakinkan perempuan itu bahwa pertemuan mereka kali ini memang tidak disengaja. Atau Vero akan dianggap sebagai penguntit.
"Cuma kebetulan aku mau makan," jelas Vero apa adanya.
Amira diam sambil menatap santai pada pelanggannya yang satu itu.
"Apa?" tanya Vero merasa terintimidasi dengan tatapan Amira.
"Apanya yang apa?" Amira balas bertanya.
"Kenapa kamu lihatin aku kayak gitu?" tanya Vero. "Emang aku nggak boleh makan di sini? Kamu jangan lupa ya, kalau aku ini pelanggan. Aku ke sini bukan mau ketemu kamu lo!" jelas Vero.
Amira tiba-tiba tersenyum.
Vero tertegun, untuk pertama kalinya ia melihat ekspresi di wajah Amira.
"Silakan Anda memesan!"
Vero berdecak. Sekarang Vero tahu kenapa Amira terus berdiri di dekatnya. "Bisa rekomendasikan sesuatu?"
"Sushi dan takoyaki dengan berbagai macam isian, seperti gurita, udang,kepiting. Sashimi...?"
"Tidak dengan sashimi, aku tidak suka makanan mentah. Bawakan takoyaki saja dan semangkuk ramen!"
"Baiklah!"
Baru saja ingin berbalik,
"Amira San! Please, come here!" seseorang dengan setengah berteriak memanggil Amira.
"Hai!" jawab Amira sambil menunjukkan keramahannya mendatangi pelanggan yang terkesan tidak muda lagi. Laki-laki empat puluh tahunan yang makan malam bersama rekan-rekannya yang memang orang Jepang asli.
Vero merasa tidak nyaman dengan pemandangan itu. Tidak sedikit yang mencoba merayu Amira, perempuan muda dengan pipi yang memerah. Terlalu banyak ketidakwajaran di sana, Amira yang terpaksa tersenyum melayani pelanggannya padahal ia dilecehkan berkali-kali. Kimono yang digunakan perempuan itu juga tidak wajar dengan belahan yang tinggi hingga pertengahan paha. Pemilik restoran juga tidak marah jika pelanggan menahan waiters perempuan mereka duduk lebih lama bersama pelanggan asal ada bayaran yang lebih untuk itu.
"Amira San!" ucap Vero berat sambil meletakkan lembaran dollar ke atas meja.
Amira tertegun sejenak sambil memperhatikan laki-laki yang masih duduk sendirian. Amira tidak yakin bahwa laki-laki itu menyebutkan namanya.
"Amira San! Come here, come here! Jangan diam di situ saja!" pemilik restoran yang lebih dulu mendatangi Vero, ia terlihat sibuk membereskan meja dari uang yang dihamburkan Vero.
"Aku memang terbiasa makan sendiri, tapi malam ini aku tidak ingin makan malam sendirian," ucap Vero ketika Amira kembali berada di dekatnya.
Amira diam saja. Apa pun itu, yang pasti ia dibayar untuk menemani laki-laki yang sekarang menjejalkan makanan ke mulutnya sendiri dengan wajah yang kusut.
~II~
Vero mendesah, matanya terpejam, belakang kepalanya ia benturkan ke dinding tempat ia bersandar sejak dua jam lalu. "Ada apa denganku?" ujarnya kesal sendiri. Seharusnya Vero tidak mempedulikannya, perempuan muda itu. Tapi, tetap saja ia merasa bersalah telah meletakkan uang di atas meja. "Apa dia merasa terhina?" Vero menggelengkan kepalanya. "Tidak mungkin!" lirihnya masih mencoba menyangkal.
Vero melihat sendiri perubahan ekspresi Amira selama mereka makan malam tadi. Muram, seolah Vero telah melakukan kesalahan yang besar dengan memanggil perempuan itu untuk menemaninya.
"Anda seharusnya tidak perlu melakukan ini," Vero ingat kalimat itu, kalimat yang terlontar dari mulut Amira setelah setengah jam tak bersuara.
"Seharusnya kamu beryukur, aku hanya berniat nyelametin kamu dari mereka, laki-laki hidung belang itu," balas Vero.
"Itu juga bukan urusan Anda dan ini adalah pekerjaan saya," tegas Amira.
"Tetap saja aku tidak suka."
"Lalu, dengan memanggil saya ke sini, apa bedanya Anda dengan mereka?"
Vero diam. Kunyahannya melambat. Ia meletakkan sumpit di atas mangkuk ramen setelah berpikir cukup lama soal pertanyaan Amira. Sampai Amira beranjak dan pergi, tidak ada yang diucapkan laki-laki itu. Jadi, di sinilah ia sekarang. Masih di belakang restoran Jepang. Entahlah, mungkin akan meminta maaf, meski Vero tidak yakin ia bersalah. Perasaan yang ada padanya lebih pada perasaan tidak nyaman dari seorang yang beradab dan Vero merasa perlu untuk meyakinkan Amira bahwa niatnya tidaklah buruk.
Amira yang tidak kunjung keluar padahal restoran sudah tutup, sempat membuat Vero mendesis berkali-kali. Sampai akhirnya, perempuan yang ia tunggu muncul dari pintu belakang restoran dengan menyeret kantong plastik hitam yang ukurannya lebih besar dari tubuhnya sendiri. Vero ingin menolong perempuan itu, tapi kemudian ia mengurungkan niatnya. Ia memilih memperhatikan Amira dari sudut yang tidak disadari perempuan muda itu. Amira yang tidak lagi mengenakan kimono, ia kembali dengan dandanan yang apa adanya, dengan jeans dan kemeja berwarna hijau lumut. Bedanya, rambutnya masih terkuncir dengan poni yang berbaris rapi di atas matanya.
Amira tidak kembali ke restoran setelah melemparkan kantong plastik hitam ke tempat sampah. Ia berjalan menyusuri gang kecil di belakang restoran dan perlu lima menit berjalan untuk sampai ke apotek yang buka selama 24 jam.
"Ternyata ingatanku tidak salah," pikir Vero merasa sangat luar biasa.
"Kamu sudah datang," seseorang menyambut kedatangan Amira. Seseorang yang kemudian menarik tasnya dan pergi setelah berbicara beberapa hal dengan Amira. Pukul sebelas malam waktu itu, sesuatu yang membuat Vero juga ingin mengakhiri penyelidikan tidak direncana itu. Selain kleptomania, tampaknya ada alasan lain untuk seseorang mengambil barang milik orang lain.
Tapi...
Amira sekali lagi menangkap basah Vero. Vero dibuat panik setiap kali Amira melihat padanya.
"Penguntit", pikir Vero seketika membayangkan apa yang dipikirkan Amira dan itu terdengar sangat buruk. Vero mengumpulkan keberanian untuk tetap berada di posisinya, berdiri di bawah beberapa anak tangga di depan pintu kaca apotek.
Amira bergerak, ia membuka pintu kaca dan menghampiri Vero.
"Apa Anda menyukai saya?" pertanyaan pertama yang dilontarkan Amira.
Vero tersenyum. "Ini gila!" pikirnya.
"Apa Anda menginginkan saya seperti Om-om di restoran tadi?" kali ini Amira yang tampak tersenyum. Senyum yang getir yang mampu meneggelamkan ketidakseriusan Vero.
"Saya mungkin akan mempertimbangkannya mengingat Anda pernah menyelamatkan hidup saya, tapi itu bukan tanpa bayaran."
Vero terdiam sejenak. Ia tiba-tiba saja merasa iba pada perempuan di hadapannya. Lelucon yang murahan.
"Aku hanya ingin membeli obat," kata Vero menerobos masuk ke apotek dan mengambil beberapa barang di rak. Tentu saja itu hanya sebagai sebuah alasan.
Amira berusaha menahan tawanya sambil membolak-balik barang yang dihamburkan Vero ke meja kasir. Obat keputihan, pelancar haid dan beberapa alat kontrasepsi.
Vero sempat mendesis setelah menyadari apa yang sebenarnya ia ambil dari rak obat, tapi laki-laki itu tetap berusaha bersikap biasa. "Ini memalukan", pikirnya.