Pesawat yang ditumpangi Zaidan dan Hazel dari Bandara Internasional Soekarno-Hatta, baru saja mendarat selamat di Bandara Ngurah Rai, Bali. Dan kini keduanya tengah mematung sambil memandangi dua mobil mewah yang berhenti tepat didepan mereka. Satu diantaranya adalah mobil Lamborghini Aventador S Roadster berwarna biru, satunya lagi mobil Avanza dengan warna hitam. Seorang pria dengan setelan jas hitam keluar dari mobil sport Lamborghini, menghampiri Zaidan untuk menyerahkan kunci mobil seraya membungkukkan badannya. Dan satu pria yang lebih tua tersenyum setelah membungkukan tubuhnya didepan mobil Avanza hitam.
Kedua bodyguard itu kompak membungkuk. "Kami akan mengawal sesuai perintah kakek Mahendra."
Zaidan mengangguk dan langsung berbalik, menuntun Hazel menempati tempat duduknya disamping kiri sebelah kemudi. Membukakan pintu mobil dan meletakkan tangannya diatas kepala Hazel, menjaga agar kepala sang kekasih tak terbentur mobil. Tak ada senyuman, sapaan, atau kata basa-basi yang keluar dari mulutnya. Hal ini memang pernah Hazel lihat dibeberapa kesempatan, tapi kali ini Zaidan lebih menunjukan sikap yang jauh lebih dingin dari hari-hari biasanya.
"Siapa mereka?" tanya Hazel.
Zaidan menoleh dan tersenyum tanpa kata. Membuka atap mobil unduk mendapatkan udara segar secara langsung. "Orang suruhan kakek."
"Oke." Seperti janji yang mereka ucapkan didalam pesawat tadi, Hazel akan masuk kedalam dunia Zaidan. Maka dari itu ia lebih memilih untuk tidak bertanya lebih banyak lagi.
Zaidan mengambil kacamata hitam dilaci dashboard yang ditaksir bernilai US$700 atau Rp.10.000.000,00. Tanpa berkata-kata dia menekan tombol untuk membuka atap mobil. "Hari ini panasnya cukup terik, tapi udaranya cukup sejuk. Apakah kamu suka?"
Hazel mengembuskan nafasnya dan menoleh kearah Zaidan dengan mata menyipit. "Suka, tapi––" Bibirnya seketika kelu setelah melihat wajah Zaidan dibawah sinar matahari. Saat Zaidan kembali membuka kacamatanya, saat itu pula manik mata Zaidan bersinar terang. Warna mata cokelat yang biasa Hazel lihat kini berubah menjadi kehijau-hijauan. "Terlalu indah."
"Ya. Pemandangannya memang indah."
Hazel menggeleng dengan mata masih berpusat pada wajah Zaidan. "Aku tidak sedang berbicara tentang pemandangan, tapi aku sedang membicarakanmu."
"Apa maksudmu? Apa yang sedang kamu bicarakan?"
Perempuan itu mengerjapkan matanya saat Zaidan menangkap basah dirinya tengah memandangi visual Zaidan. "A-ah, perasaan apa ini?" memegangi dadanya yang berdegup kencang. "Aku tidak mungkin jatuh cinta hanya karena ketampanan seseorang. A-aku tidak boleh seperti itu."
Zaidan tersenyum setelah kembali memasang kecamata hitamnya. "Tak ada salahnya menyukai kelebihan orang lain, sejauh itu tidak membenci kekurangannya."
"Tapi sulit untuk mencari kekurangan dari dirimu," ujar Hazel sedikit bergumam.
"Tak baik mencari kekurangan orang lain. Hal itu hanya akan membuang waktumu dan menyakiti dirimu sendiri. Kamu akan kecewa dan tak bisa menyalahkan orang lain akan tindakanmu itu."
Apa yang dikatakan Zaidan memang benar adanya. Mencari celah untuk menemukan kekurangan orang lain hanya akan menyakiti dirimu sendiri. Jika kamu cukup bahagia akan seseorang, tak sepantasnya kamu mempermasalahkan kekurangannya lagi. "Masalahnya, apakah aku pantas dicintai orang sesempurna dirimu?" tanya Hazel.
"Memangnya kenapa?" tanya Zaidan tak habis fikir. "Seperti yang aku katakan sebelumnya kalau saat ini aku tengah memakai berlapis topeng untuk menutupi kekuranganku. Kekurangan yang aku bicarakan tak kurang dari kelebihanku. Tak ada makhluk yang sempurna, termasuk diriku."
"Apapun alasannya, kamu tidak boleh mencintaiku terlalu dalam." Saran Hazel mengingat akan fakta telah terjadi sebenarnya. "Jika suatu saat kamu menemukan sesuatu dalam diriku yang membuatmu kecewa, kamu akan terluka."
Zaidan menoleh dan menatap Hazel dengan tatapan tidak . "Berhenti berbicara omong kosong, Hazel. Aku benci jika kamu terus mempertanyakan tentang cinta kita. Tidakkah kamu diam dan menikmati pertunjukannya? Aku yang akan memerankan kesatria untuk wanita yang aku cinta. Jika kamu tak bisa melakukan timbal balik, lebih baik diam dan terima apa yang aku beri."
Hazel terdiam dengan wajah tertunduk. Masih mencoba untuk menahan tangis yang lebih dahsyat lagi. Jemarinya sibuk meremas jemarinya yang lain. "Aku hanya tak ingin kamu terluka nantinya."
"Justru sikapmu ini yang membuatku terluka, Hazel. Ada apa dengan dirimu sebenarnya? Sebelumnya kamu tidak pernah membahas hal-hal konyol seperti ini. Jangan buatku berfikir yang tidak-tidak, Hazel."
"Berfikir yang tidak-tidak? Seperti aku yang meragukan perasaanku sendiri? Mengkhianati dirimu? Selingkuh? Atau kemungkinan kalau kekasihmu ini hanya berpura-pura mencintaimu?"
"Cukup, Hazel!" bentak Zaidan. "Aku dan kamu saling mencintai. Itulah fakta yang aku percaya selama ini."
"Hiks. A-aku––"
"Jangan mengkhawatirkan hal-hal yang akan terjadi dimasa depan. Sekalipun kamu tak lagi ada untukku. Sekalipun tak ada lagi sisa cintamu untukku, aku akan tetap mencintaimu."
Haruskah Hazel bangga dan bahagia akan hal itu? Karena faktanya dia bukanlah Hazel Star yang Zaidan cintai. Dan apa yang dikatakan Hazel sebelumnya murni dari hatinya yang paling dalam. Dia takut jika suatu saat nanti Zaidan kecewa dan terluka akan cintanya sendiri. Karena mau bagaimanapun Hazel harus mengungkapkan segalanya; tentang jati dirinya, perasaannya, dan tentang The Eternal Love.
"Kamu hanya boleh menangis jika ada aku. Hanya tanganku yang boleh menghapus air matamu." Zaidan mengusapkan ibu jarinya dipipi Hazel lembut. "Kamu akan kelelahan jika tak berhenti menangis."
"T-tapi, hiksss …."
"Jangan menangis!"
Ciiittttt!
Zaidan menginjak pedal rem tiba-tiba. Hal itu sukses membuat beberapa mobil dibelakangnya ikut berhenti juga. Dan dengan gerakan cepat dia melepas sabuk pengaman dan menarik leher Hazel. Sepasang mata Hazel terbelalak saat merasakan sepasang daging kenyal mendarat diatas bibirnya. Tak ada perlawanan atau penolakan, Hazel hanya bisa diam pasrah setelah tangan Zaidan menahan tengkuknya.
Glup!
Perempuan itu terdiam setelah menelan salivanya sendiri. Suhu tubuhnya naik tiba-tiba, diiringi dengan detak jantungnya yang menari dengan indahnya. Ini adalah ciuman pertamanya. Dan karakter yang hidup dari sebuah novel fiksi telah merebut hal itu darinya. Walau sebelumnya Hazel pernah mendapatkan itu dari Zaidan dari dalam mimpi kala itu, tapi Hazel tetap tidak menyangka dia akan merasakannya secara langsung.
Ini benar-benar terasa nyata. Saat Zaidan mendaratkan bibir itu diatas miliknya, seketika tubuh Hazel merespon dengan desiran darah yang terasa membuncah. Seperti ada sesuatu yang hendak meledak dalam dirinya. Dan perasaan itu hadir berbarengan dengan perasaan geli seperti ada beribu kupu-kupu yang berterbangan didalam perutnya. Andai tidak sedang duduk diatas kursi mobil, sudah dipastikan lutut Hazel akan melemas dan jatuh bertumpu ditanah.
"Tangismu membuatku terluka, Hazel." Zaidan berbisik tepat diwajah Hazel setelah berhasil melepaskan tautan bibir mereka. "Aku cemburu, aku ingin menangis juga."
~~~@~~~
Villa Morabito Art Cliff, Bali.
Hazel berdecak kagum setelah memasuki area Villa Morabito Art Cliff yang bernuansa elegan seperti berada di Santorini, Yunani. Hotel mewah yang satu ini berlokasi di atas tebing dengan pemandangan laut di depan mata. Tidak hanya itu, suasana bangunan yang didominasi warna putih sengaja ditujukan untuk memberi kesan mirip dengan Santorini. Villa ini juga menyediakan pemandangan laut yang indah secara langsung saat keluar pintu kamar.
Seseorang memandu Zaidan dan Hazel memasuki Villa dengan dekorasi unik dan mewah, berbeda dengan villa kebanyakan di Bali. Dinding dan furniture semuanya berwarna putih bernuansa Santorini, Yunani. Disana juga terdapat akses kolam renang pribadi yang terletak di atas tebing dan memberikan pemandangan lautan secara 180 derajat.
"Selamat datang." Sapa seseorang yang keluar dari sebuah ruangan dengan bertelanjang kaki dan bathrobe yang menutupi tubuh gempalnya.
"Mr. Abraham Smith." Keduanya tersenyum sambil berjalan mendekat kearah pria paruh baya tersebut.
Pria itu mengangguk. Memberi kode tangan agar dua tamunya itu mengikutinya keluar. Berjalan menuju area kolam renang yang menghadap lautan langsung. "Terimakasih sudah menyempatkan untuk datang ke penginapanku," ujarnya sambil melepaskan bathrobe putih ditubuhnya. Membiarkanya tergeletak dilantai begitu saja. Disusul dengan kedatangan seorang wanita berbalut bikini hitam, ikut bergabung bersama Abraham didalam kolam renang LED.
"Honey. I have to do an interview session now." Kata Abraham seraya menepis tangan sang wanita saat akan melakukan backhug.
"Okay." Kata si perempuan berbikini sexy. Kembali mengenakan bathrobe yang sempat dilepasnya tadi dipinggir kolam, didepan Zaidan.
Hazel menggerakan ekor matanya, menajamkan tatapannya kearah Zaidan. "Keep your eyes, badboy!" menggerakan dua jari kearah matanya. Memberi isyarat agar sang kekasih bisa menjaga pandangannya dari perempuan lain, terutama perempuan dengan pakaian minim, apalagi bikini pantai. Dan Zaidan hanya tersenyum simpul. Memilih untuk menggulungkan celananya keatas, begitu juga dengan kemejanya. Duduk berdampingan dengan Hazel dipinggiran kolam yang menghadap langsung kearah laut.
"Di Indonesia anda terkenal dengan sebutan Asian Lion. Dimana banyak perusahaan kecil dan besar yang takut bersaing dengan perusahaan anda, Queen Louie. Kebanyakan orang mengira sang pendiri brand fashion ternama ini adalah perempuan, bagaimana tanggapan anda? Dan apa alasan anda menamai brand tersebut dengan Queen Louie bukan King Louie?"
Hazel mengagguk kecil sambil terus memfokuskan kamera kearah narasumber. Mereka hanya datang berdua, tak ada cameramen atau crew lainnya, dengan begitu Hazel menawarkan diri untuk membantu Zaidan memegangi kameranya. Sedangkan Zaidan sendiri bertugas memberi pertanyaan sambil mencatat semua hasil wawancara, dia juga terlihat menggenggam Voice Recorder untuk merekam selama wawancara berlangsung.
"Asian Lion? Haha. Sepertinya julukan itu sudah tak berarti lagi, karena sekarang Queen Louie telah membuka cabang di Amerika dan juga Eropa. Jika kalian bertanya kenapa harus Queen Louie, jawabannya karena cinta."
Abraham bangkit dari kolam. Membalut tubuhnya dengan bathrobe, berjalan kearah gazebo serba putih. Meminta seseorang untuk menyiapkan menu makan siang untuknya dan juga kedua tamunya. Merangkul bahu perempuan berbikini tadi yang kini telah membalut tubuhnya dengan tanktop dan juga hotpants. "Pada awalnya saya memang memulai karier di Jakarta, namun ketika waktu merenggut nyawa tunangan saya—saya memilih banting setir dari seorang aktor jadi desainer. Saya dan Kanya Dewi memiliki mimpi besar didunia bisnis fashion."
Kening Zaidan menyerit. "Kanya Dewi? Bukankah dulu anda sempat menampik rumor adanya hubungan khusus dengan mantan model Kanya Dewi?".
"Bukankah media sempat heboh atas berita pertunangan Kanya Dewi beberapa hari sebelum kematiannya? Pada awalnya kami akan mempublikasikan hubungan, namun setelah Kanya Dewi meninggal karena bunuh diri, keluarganya memilih untuk menyembunyikan fakta kalau putrinya akan segera melangsungkan pernikahan dalam beberapa bulan ke depan."
"Untuk beberapa bulan saya bisa melupakannya dan masih terus menerima pekerjaan di industri hiburan tanah air. Namun tak lama kemudian, saya lelah dan tak bisa menyembunyikan rasa frustrasi dan depresi. Hingga pada tahun berikutnya saya memutuskan untuk meninggalkan dunia hiburan dan beralih ke dunia bisnis fashion." Ungkap Abraham sambil cerutu disela jari tangannya. "Saya sungguh menyesal atas kematiannya yang sangat mendadak, kami terpukul akan kejadian itu," lanjut Abraham dengan raut muka sedihnya.
Zaidan menyunggingkan ujung bibirnya, berseringai penuh curiga. "Bunuh diri? Bukankah hanya orang-orang bodoh yang mempercayai itu?"
"Apa maksudmu?"
Zaidan meletakkan buku dan bolpion ditangannya, mendekatkan wajahnya kewajah Abraham. Lagi-lagi memasang seringai yang sangat sulit untuk diartikan. Seperti halnya seseorang yang tengah menyembunyikan perasaan yang dirinya sendiri tidak tahu seperti apa jenisnya. Rahangnya mengetat, terlihat jelas saat urat-uratnya yang menegang kaku dengan kulit yang memerah. "Seharusnya saya yang bertanya; kenapa anda membunuhnya?!"
Abraham menajamkan tatapannya. "Kau—"
"Anda bisa saja melakukan media play dengan Queen Louie sebagai alibi atas semua kekayaan yang melimpah, tapi tidak dengan saya."
Hazel benar-benar tak habis fikir dengan apa yang dikatakan Zaidan barusan. "Zaidan! Apa maksud—"
Zaidan memotong ucapan Hazel dengan menatap matanya tajam, memberi isyarat agar perempuan itu menutup mulut dan tak ikut campur. "Bisnis seperti apa yang bisa menjadikan seseorang kaya raya dalam waktu singkat?"
Abraham berdiri dengan wajah merah padam. "Saya akan menuntut anda karena—"
"Seharusnya anda yang membusuk didalam penjara sejak 18 tahun lalu!" teriak Zaidan sambil menunjuk wajah Abraham dengan jari telunjuknya.
Entah karena beban kamera yang cukup berat atau kondisi tubuhnya yang tidak baik. Hingga detik kemudian Hazel menurunkan tangannya, berpegangan pada lengan Zaidan sebagai gantinya. Tubuhnya melemas saat mengingat kembali berita dari koran yang pernah dibacanya tentang kematian model Kanya Dewi 18 tahun lalu. "Zaidan," bisiknya sambil mengusap hidungnya yang mengeluarkan darah segar.
"Zel?" Zaidan panik saat melihat Hazel meremas rambutnya sendiri, seolah tengah menahan sesuatu yang begitu menyakitkan.
Hazel mengangkat dagunya. Menatap Zaidan dengan mata berkaca-kaca. "Aku takut."
Hazel baru saja mendapat ingatan tentang sesuatu yang tak pernah ia fikirkan sebelumnya. Matanya tertutup, tak bisa melihat tempat dimana ia berada. Namun Hazel mendengar jelas seseorang memutar lagu Gloomy Sunday diruangan tersebut. Selain itu, ia juga mendengar suara seseorang merintih kesakitan. "Gloomy Sunday," gumam Hazel.
Pria itu menghembuskan nafasnya kasar, menatap Abraham dengan wajah frustasi. "Kali ini kau bisa lolos," tekannya dengan suara berat. "Tapi, seseorang harus menangkapmu," lanjutnya lagi sebelum meninggalkan tempat itu.
Abraham menatap kedua reporter itu dengan tatapan tajam. "Brengsek!"
Sambil berjalan menuju mobilnya, Zaidan sibuk berbicara dengan seseorang lewat telfon genggam. "Kirim laporan pada tim redaksi bahwa aku dan Hazel batal bertemu narasumber."
"Tapi kenapa?" tanya Natasha dari seberang telfon.
"Aku akan menjelaskannya, tapi tidak untuk sekarang."
Hazel menatapnya sendu. "Kenapa?"
"Kondisimu sedang tidak memungkinkan untuk memikirkan hal rumit seperti itu. Aku akan menghapus seluruh rekaman video dan suara wawancara hari ini"
"Ini—" kening Hazel berkerut setelah melihat buket bunga mawar dikursi belakang.
"Aku meminta bantuan mereka untuk menyiapkan acara penyambutan." Potong Zaidan sambil melirik sekilas buket bunga mawar ditangan Hazel.
Beberapa saat yang lalu Zaidan meminta bodyguard untuk membelikan buket bunga mawar ditoko terdekat. Sepertinya pria itu tengah berusaha melakukan penyambutan manis untuk wanitanya dengan surprise yang sangat jarang ia lakukan. "Apakah kau menyukainya?"
"Ya, tapi––awh!" Hazel menyerit kesakitan.
Zaidan menginjak pedal rem seketika. Melepas seatbelt-nya dan meraih tangan Hazel cepat. Meraih jari telunjuk Hazel dan memasukan dalam mulutnya, mengisapnya sedikit upaya menghentikan pendarahan. "Masih ada durinya?" tanya Zaidan khawatir.
Hazel mengangguk kemudian termenung saat melihat tetesan darah membasahi kelopak mawar putihnya. Buket mawar ini memang cantik, namun seseorang meninggalkan satu duri ditangkainya. Membuat kulit jarinya sobek dan mengeluarkan darah, menetes diatas tumpukan kelopak bunga dan mewarnai mawar putih menjadi bintik merah. "Aku kira darah ini berasal dari hidungku, tapi ..." Bibirnya terbungkam saat teringat akan sesuatu. Mawar putih mengingatkannya pada teror dikantor sebelumnya. Dia hampir melupakannya, tentang mawar putih dengan tetesan darah merah, sepucuk surat mistrius, dan nomor asing yang mengiriminya pesan teror belakangan ini. "Apakah—"
"Brengsek!" maki Zaidan sambil merebut buket bunga ditangan Hazel, membuka kaca pintu mobil, dan melempar buket bunga itu keluar. "Aku akan memecat mereka dan menuntut pemilik toko bunga itu!"
Hazel terkekeh. "Jangan sok menjadi pria berkuasa! Aku tahu kamu bukanlah sosok yang biasa menjadi peran utama didalam novel romantis. Kamu bukan CEO, tidak suka mengoleksi jalang, tidak gila harta, dan tidak memiliki sisi protektif terhadap wanitanya."
"Tolong koreksi poin." Zaidan protes tak terima.
"Dalam novel yang aku baca, tokoh utama pria selalu memperlakukan wanitanya bak Cinderella. Sedangkan kamu—"
Zaidan mengangkat bahunya dengan penuh percaya diri. "I can."
"So show me!" tantang Hazel berani.
"I'll show you!"
Hazel tersenyum melihat Zaidan yang terus berceloteh dan memaki tanpa henti. Adapun mulutnya berhenti berceloteh saat meniupi jari telunjuk Hazel yang terluka. Pria itu terlihat sangat menggemaskan disaat seperti ini. "Kanya Dewi bukan mati karena bunuh diri?"
Zaidan menoleh kemudian memejamkan matanya sejenak, masih sibuk meniupi luka kecil dijari kekasihnya. "Aku menemukan seseorang yang bertugas melakukan autopsy pada mayat Kanya Dewi 18 tahun lalu. Mereka mengirimkan laporan lab yang sudah disabotase pada kepolisian kala itu. Mereka sengaja meninggalkan fakta penting kalau kematian Kanya bukan karena irisan nadi ditangan kanannya, melainkan obat penenang yang dikonsumsinya sebelum mengiris tangannya."
"Jadi—"
"Seseorang sudah merekayasa kematian Kanya. Tidak mungkin seseorang yang tak sadarkan diri mengiris tangannya. Dia dibunuh dengan motif bunuh diri. Seseorang mengiris pergelangan tangan Kanya setelah berhasil membuatnya overdosis dan tak sadarkan diri."
"Tunggu!" Hazel sambil memutar tubuhnya menghadap Zaidan. "Sejauh mana kamu terlibat dengan kasus seperti ini? Lalu apa hubungannya dengan tuan Abraham?"
Zaidan mendesah berat, kembali memposisikan tubuhnya seperti sebelumnya, siap melanjutkan perjalanan ke kampung halaman. "Aku curiga bahwa Abraham memiliki bisnis lain selain bisnis fashion."
"Ya, tapi bisnis seperti apa?"
"Jaringan narkoba internasional."
Jawaban Zaidan sukses membungkam mulut Hazel seketika. Kali ini wajahnya berubah tegang dan jauh lebih serius dari sebelumnya. Suasana seketika membeku, Hazel bisa merasakan perubahan emosi dan suasana hati Zaidan hanya dengan menatap bagian samping wajah pria itu. Sepertinya Zaidan sedang tidak bercanda atau bermain-main dengannya. Dan setahu Hazel, Zaidan bukanlah tipe pria yang suka bermain-main dengan ucapannya sendiri. Pria itu terkenal pandai menempatkan diri dalam situasi apapun, termasuk meletakkan konten candaan pada tempat yang sepantasnya.
"Kamu tahu apa yang terjadi 18 tahun lalu?" selidik Hazel curiga.
Zaidan terdiam cukup lama, tak langsung merespon pertanyaan Hazel. Sepasang matanya kembali bersinar saat sinar matahari menerpa wajah tampannya, warna mata yang biasa terlihat cokelat itu kini terlihat jauh lebih terang hingga mendekati warna cokelat kehijauan. Zaidan baru saja menunjukan karismanya seperti aktor-aktor berbakat diluar sana. Postur tubuhnya saat menyetir, kedua lengan dengan otot dan urat yang menonjol, setiap sisi wajah yang memikat, dan tatapan tajam dengan warna mata yang bersinar. "Ya, termasuk dirimu." Jawabnya dengan rahang mulai mengendur.
"Tak ada salahnya menyukai kelebihan orang lain, sejauh itu tidak membenci kekurangannya."