webnovel

Kabar dari Ogil

Tak seorang pun bisa membayangkan

Seberapa menggunungnya kesedihan dan duka

Sebelum itu terjadi

Berbeda dengan kebahagiaan

Yang bisa diangankan...

Keesokan paginya, ketika ia bertemu dengan Kucing Tua lagi, pencuri yang suka berbicara itu rupanya memperhatikannya, "Kaw tampak sepeti baru saja mampus semalam. Tidak tiduw? T'eh?"

Wander mengangguk dengan suram.

"Waktu 'ku muda, aku juga pewnah rasa sama. Guruku suruh aku colong barang kecil dari gadis kecil ini sebagai ujian. Demi Divara! Malah 'ku kena dikerjai."

"Apa yang terjadi?"

"Gadis ciwik ini bawu aku tawu anak Guru! Betul-betul pencuwi jenius! Celana dan bajuku malah kena colong ia, demi Setan! Gadis setwan itu malah ketawa saja!"

"Celana dan baju? Itu kan… Bagaimana mungkin ia bisa ambil?" Wander tertawa terpingkal-pingkal membayangkannya.

Kucing Tua melihat ke sekeliling, seakan ingin menceritakan sesuatu yang penting sekali, "'ku agak suka melihat tampangnya… Jadi kukiwa ia anak biasa… jadi bisa kuwayu… tapi gebwakannya lebih cepat… giwa… Guru hampiw saja bunuh 'ku saat ia dengaw ini."

Wander tertawa tambah keras. Tapi ia tahu benar bahwa Kucing Tua berusaha menyemangatinya, "Terima kasih sudah menghiburku."

"Awas jangan sebar-sebar cewita tadi saja. Bisa-bisa 'ku menanggung malu," Pencuri itu mewanti-wanti.

Ia jelas juga suka pada Wander, dan sikapnya bersahabat, "Dan nak muda… jangan kuatir hal-hal yang tak bisa kau kendalikwan. Tak ada gunanya. Gak ada yang pasti juga di dunia… Seperti 'ku juga gelisah di sini. Tangan 'ku gatal mau mengais dompet. Ah suwara uwang di tanganku begitu indah."

Wander selalu mengantarkan makanan lezat buat pencuri itu dan banyak menghabiskan waktu bercakap-cakap dengannya. Kebanyakan obrolan mereka ngalor ngidul, tapi mereka bisa merasakan persahabatan di antara mereka, bukan sekedar penangkap dan tersangka.

Tanpa ia sadari sudah satu minggu ia bersama pencuri ini. Kasus Kucing Tua seharusnya mulai diproses, tapi untuk beberapa alasan bahkan pra-pengadilan pun belum dimulai.

"Kamu selalu suka bicara seperti ini?"

"Yap, 'nak muda. L'bih baik suka bicawa ketimbang diam. Kaw bisa menangkan hati owang kalau kaw bikin meweka ketawa. Kalau kaw diam-diam sok kuat, kaw lebih sewing ketemu cambuk dan besi panas, percaya deh…."

Wander terkekeh. Kucing Tua berbisik, "'Ku benci disiksa. Jadi biasanya 'ku langsung ngaku."

"Jadi apa sebaiknya kau kusiksa?"

"Ngaku 'ku biasanya masuk akal… tapi tidak benaw 100%. Biasanya begitu juga sudah cukup. Bukannya 'ku tak bisa tahan siksa sepeti laki-laki," Kucing Tua nyengir, "Tapi kayanya 'ku bawu bocorkan wahasia kerjaku!"

"Memang."

"Itulah akibatnya kalau owang hebat dikasih tiga wacun dunia!"

"Hm? Apa itu tiga racun dunia?"

"Arak, gadis cantik, dan pewsahabatan."

Wander menggelengkan kepalanya, "Aku tidak setuju. Tapi setidaknya aku mau bersulang untuk yang terakhir."

"Untuk wacun pewsahabatan!"

Mereka berpesta dan ngobrol dengan riang sampai malam.

Ketika Wander meninggalkan sel itu, kata-kata perpisahan pencuri itu muram, "Nak muda… Biaw 'ku bewi nasihat karena kau sudah merawat Kucing Tua ini dengan baik sekali, sepeti teman saja. Minggu ini wasanya betul menyenangkan kalau saja bukan kawena tempat sial ini atau gagal rampok. Kaw masih muda dan muda' pecaya owang, tapi banyak owang ja'at di luar sana. Dunia ini bukan itam dan puti… Tapi abu-abu dan tebal… Tebal sekali, kaw mengerti? 'Ku tak pewcaya pada kaw dan takkan pernah pewcaya. Ingat itu. Jadi jangan banyak hawap dapat sesuatu dawiku."

Wander membungkuk dalam ke pencuri itu, "Terima kasih banyak atas nasihatmu, Master Kucing Tua yang baik. Tapi aku percaya persahabatan tidak ada hubungannya dengan urusan lain. Apa kau pikir aku tidak bisa mencari jawaban sendiri? Aku hanya pikir bahwa kita bisa bersahabat meski di waktu yang gelap begini."

Kucing Tua tampak tidak enak hati, sebelum ia dengan tulus berkata, "'Ku sudah bikin arak ini wasanya pahit dan asam. Maafkan kata-kata Kucing busuk ini dan pegilah."

Wander membungkuk lagi sambil ketawa.

Ketika matahari baru keesokan harinya, lonceng di Alun-Alun Gubernur kembali berdentang. Wander, seperti hampir semua orang sontak terbangun, Tapi Wander tidak pergi ke lapangan itu, melainkan para pelayan. Ia tetap berjaga di rumahnya, meski tidak sabar. Ketika ia samar-samar mendengar suara jeritan orang-orang dari jauh, ia berjengit. Apakah kemenangan atau kekalahan?

Tapi ia tidak mendengar lagu atau teriakan kebahagiaan. Hatinya mencelos, dan ketika Pel datang tergopoh-gopoh, Wander akhirnya mendengarnya.

"Pasukan Timur telah hancur… Jendral Moharan tewas. Bukan hanya itu Turil Andin sudah jatuh ke tangan musuh dan Terpolt kini dikepung. Musuh hanya tinggal 70 mil lagi dari kota!"

Tidak ada berita mengenai Kakaknya.

"Kau jaga rumah, Pel!" Ia berkata demikian dan keluar dari rumah Gurunya.

Ketika ia tiba di rumahnya, ia melihat semua anggota keluarganya sudah berkumpul di ruang tengah. Bahkan abangnya Fyure juga di sana. Si kembar menangis di gendongan kakak-kakaknya.

Keluarganya semua tampak pucat, tidak tidur sama sekali. Mereka berkumpul bersama, membicarakan berbagai hal yang kadang tidak penting. Mereka menghindari bicara soal Perang atau Kokru. Fyure bertanya apakah mereka akan mengungsi dari kota.

Wander menjawab dengan tegas, "Buat apa?! Fru Gar adalah kota kita! Kita tidak akan meninggalkannya!"

Ayahnya juga mendukungnya, "Tembok kota ini demikian tinggi dan gerbangnya kokoh. Kekuatan pertahanan kota ini hanya sedikit di bawah Ibukota. Jangan membicarakan hal yang tidak perlu."

Sunyi. Chiru'un berkata, "Yah… Tampaknya mulai… larut… Wuan…" dan mendadak ia roboh!

Semuanya langsung mengangkatnya, dan menyadari seketika bahwa tubuh Chiru'un begitu panas.

Ibu mereka rupanya sedang sakit! Wander tanpa berpikir panjang, segera mengatakan bahwa ia akan tinggal di sana dan merawat ibunya.

Kepalanya terasa penuh. Ada masalah gurunya, amplop merah, kotak, lalu kakaknya. Ia merasa ia bagaikan tidak hidup sama sekali, melainkan hanya berupa gumpalan kekhawatiran dan kegelisahan yang berjalan.

Rasanya begitu mencekik. Penduduk juga tampak panik sampai ayahnya juga harus turun tangan bekerja membantu Gubernur menenangkan rakyat.

Ibunya juga bergolak dalam demamnya.

Ia mengigau, "V-valerie… Kak… di mana kau… Master memanggilmu…"

Wander menaruh telapaknya ke kepala ibundanya, dan segera beliau agak tenang ketika hawa dingin terus terpancar dari tangan Wander.

Ia mendengar ibunya sekarang bernyanyi, dari matanya bergulir air mata, "Duduk di bantal merah denganmu, Guru tercinta… Tanah kami dipenuhi rumput dan bunga… Suku kami bertumbuh, kuat dan sehat… Siang dan malam kami belajar di dalam tenda hangat… Di bawah ajaran Guru kami… Kami adalah murid Luan…"

Wander melihat air mata menetes dari pelupuk mata Ibunya.

Pembantaian Suku Selatan… dua puluh tujuh tahun telah berlalu sejak itu…

Kini perang datang merenggut yang terkasih kembali.

Hati Wander menangis, "Ah! Buat apa ada perang! Perang hanya membawa derita… Perang menghancurkan keluarga dan suku Ibu… Merenggut tanah kelahirannya… Perang memecah Kerajaan… Para prajurit berguguran dalam pertempuran… keluarga mereka tidak henti-hentinya gelisah dan berduka… orang-orang kehilangan rasa aman, dan perdagangan berhenti, ke mana mereka akan bisa mencari uang untuk mendapat makanan dan tempat tinggal… Mengapa? Mengapa harus ada perang?"

Keesokan hari, saat subuh, para penjaga melihat para prajurit yang berhasil melarikan diri itu. Jumlah mereka sekitar 900 orang, semuanya berseragam pasukan Timur yang kumal dan robek-robek. Banyak dari mereka yang terluka dan harus ditandu. Mengenali mereka adalah prajurit Fru Gar yang pergi berperang, penjaga gerbang membukakan Gerbang kota dan mengantarkan mereka ke kantor Gubernur.

Penduduk kota yang tetap waspada mendengar berita ini dan segera berkumpul di Alun-Alun, mencoba melihat para prajurit yang berhasil lolos, apakah salah satu dari mereka keluarga mereka atau setidaknya membawa kabar keluarga mereka yang hilang.

Pada pagi yang kacau itu, salah satu dari prajurit itu menembus kerumunan massa dan segera menuju rumah Wander. Prajurit kavaleri itu bernama Ogil Najan Kurek, sahabat dekat Kokru. Ketika ia tiba di depan rumah ia melihat seorang gadis memakai baju biru muda datang dari arah berlawanan. Ogil menggigit bibirnya keras-keras, ketika mengenali gadis itu sebagai tunangan Kokru, Nalia.

Ia mengetuk pintu, dan beberapa saat kemudian, pintu terbuka dan memperlihatkan wajah pucat Wander.

"Kak Ogil! Kau selamat?!" Wander begitu terkejut.

Lima menit kemudian, semua anggota keluarga Oward sudah berkumpul. Nalia begitu pucat, ia memegang tangan Chiru'un erat-erat. Ibu Wander berkeras mendengarkan, meski ia masih tidak sehat.

Tangan Wander gemetar saat ia menyajikan secangkir air panas kepada Ogil.

Wajah tentara itu gelap dan dipenuhi keengganan. Sesekali ia melihat wajah Kakak Wander, Miar, seakan berusaha mendapatkan dukungan darinya.

Likuun akhirnya membuka percakapan, suaranya bergetar karena ia tahu bahwa apa pun yang akan Ogil sampaikan, pastilah berita buruk.

"Nak Ogil… engkau sudah seperti keluarga kami sendiri, jadi janganlah ragu bicara."

"S-sangat berat bagiku untuk mengatakan ini, Pak… Maafkan aku. Sungguh maafkan aku!"

Ogil mengeluarkan sebuah lipatan kain dari balik bajunya. Hati Wander seakan jatuh ke kegelapan tanpa batas ketika ia melihat itu adalah Luan milik Kakaknya!

Selendang bergambar burung walet yang terbang di angkasa. Ogil membuka lipatan kain itu dan di dalamnya ada dua ikat rambut coklat.

Bab berikutnya