webnovel

Genderang Api dan Angin

Belibis dan burung api terbang berjajar

Belibis merunduk

Mendekat pun tak berani

Burung api bahkan tak sadar

Ada belibis di sana

Sungguh membuat iri!

Pasukan Sulran bisa menciptakan sebuah jarak kosong sebesar lima puluh yard dari pasukan Moharan yang mengejar. Prestasi ini tercapai berkat pasukan kavaleri bersenjata panah yang diposisikan di luar dan belakang pasukan yang terus mundur itu, sementara pasukan berkuda bersenjatakan tombak mendukung mereka di garis kedua. Tapi pasukan Gajah mulai perlahan mengejar mereka, tidak mempan terhadap panah, dan lebih kencang dari kuda.

Jendral mereka memberikan komando tepat waktu, "Pasukan Belakang! Bubarkan Formasi!"

Pasukan Belakang itu mendadak berpencar menjadi tiga arah, menyebar dan memacu kuda mereka sekencang-kencangnya dan bergabung dengan pasukan sayap lainnya. Mendadak jalan menuju Pasukan Utama Sulran terbuka dan terancam terjangan para Gajah! Tapi Sulran sudah memperhitungkan semua ini.

Komandan Pasukan Utama berteriak, "Siapkan obor! Nyalakan! Biar mereka cicipi rasanya dibakar!"

Mendadak, di garis paling belakang pasukan Utama Sulran, 200 kereta perang dari tembaga, penuh dengan bahan terbakar, sudah dilepaskan ke arah pasukan Gajah yang kian mendekat itu!

Barisan kereta perang terbakar dan terdepan terlempar hancur saat menabrak pasukan Gajah, tapi ketika baris kedua, ketiga, keempat terus menyusul bagaikan lautan api, mendadak Pasukan Gajah itu berhenti, berbalik dan malah menghantam pasukan mereka sendiri! Gila oleh kesakitan, panas, dan api, mendadak seluruh Pasukan Timur harus menghadapi amukan pasukan Gajah mereka sendiri!

Moharan begitu kesal dan marah melihat kegagalan pasukannya ini, tapi ia mendadak girang saat melihat pasukan penghadangnya dari Kiri dan Kanan di depan! Mereka agaknya berhasil mengejar pasukan Sulran!

Pasukan Timur terus mengejar Pasukan Barat sejauh 6 mil, dan mereka akhirnya mencapai sebuah padang luas dengan daerah berbukit-bukit menonjol di kejauhan. Seluruh Pasukan Sulran mulai membuang perlengkapan mereka, termasuk senjata dan baju besi mereka, demi memacu kuda atau kaki mereka lebih kencang. Mereka berhasil menambah jarak dari musuh mereka 50 yard lagi dalam waktu yang kritis itu.

Pasukan Penjepit Timur terus mengejar mati-matian, tapi Pasukan Barat bagaikan tumbuh sayap dan kaki. Mereka begitu kencang melarikan diri.

Sulran menggeram ke pembantunya, "Mana Damar! Apa ia sudah di posisi?"

"Tidak tahu, Tuan!"

"Lihat! Bendera Biru, Tuan! Itu tandanya!"

Sulran melihat unit kavaleri kecil melambai-lambaikan panji-panji berwarna biru. Itu berarti dua hal: Damar sudah di posisinya dan unit-unitnya sudah siap.

"Beri sinyal buat lari sekencangnya! Berkumpul ke bendera biru! Lari! Lari sekencangnya! Kalau mau selamat lari!" Sulran tertawa bagaikan gila.

Melihat musuh mereka lari lintang pukang demikian, Pasukan Timur semakin bernafsu saja mengejar!

Kalau saja Jendral Moharan bisa melihat bagaimana hebatnya Sulran bisa mengendalikan pasukannya, bahkan saat melarikan diri begini sekalipun, mungkin ia akan mencurigai adanya perangkap… Tapi sayang, ia tertinggal terlalu jauh di belakang dan harus dihadang Gajah-Gajahnya sendiri. Ketika ia sudah berhasil menenangkan suasana ia menyuruh sebagian pasukannya mengejar.

Makin cepat ia menyuruh mereka mengejar ketika ia mendapat berita musuh sampai membuang semua perlengkapan perang mereka demi melarikan diri.

Di atas bukit di kejauhan, Damar melihat barisan lima puluh mesin pelontar raksasa atau katapul, dua puluh mangonel, dan dua ratus lima puluh pelontar tunggal atau katapul kecil hasil ciptaannya sendiri. Semua mesin itu telah dimuati dengan tempayan besar dari tanah liat yang diisi penuh dengan minyak, tutupnya disegel dengan malam bersumbu.

Ia melihat pasukan Gurunya berpacu mati-matian makin dekat dengan kaki bukit, ketika mendadak 15,000 pasukan muncul dari Utara dengan Bendera Merah dan 10.000 lainnya dari selatan dengan Bendera Hijau! Pasukan pencegat musuh telah datang dan bisa menghentikan usaha Gurunya mencapai daerah aman!

"Unit 1 sampai 10! Atur 15 derajat ke atas, arahkan 27 tupsi ke Utara! Lontarkan ke Bendera Merah!"

"Unit 11 sampai 20! Naikkan 28 derajat lebih tinggi, 32 tupsi ke Selatan! Hajar Bendera Hijau!"

Suara roda gigi dan orang-orang berteriak dan bekerja mengatur sudut dan jarak bagaikan dentuman debar jantungnya, suara teriakan para pekerja menarik katapul seakan dipandu oleh cucuran keringat dingin di kening Damar. Setiap detik berlalu bagaikan cairan besi panas dituang langsung ke kulitnya, ia sedang bertarung melawan waktu, mempertaruhkan keahlian seluruh pekerja dan insinyurnya yang telah ia latih lebih dari 10 tahun.

"SATU SIAP!" Mendadak suara teriakan insinyur kepala membelah udara, diikuti yang lainnya: "TIGA SIAP! EMPAT! LIMA! TUJUH! SEPULUH SIAP!"

Ia tidak menunggu, tahu bahwa yang lainnya akan selesai dalam hitungan detik. Bahkan satu detik pun terlalu berharga buat disia-siakan.

"LUNCURKAN!!"

Gelombang pertama tempayan-tempayan itu berterbangan mengisi udara, mengarah tepat ke kedua sisi pasukan Penjepit musuh! Diikuti gelombang kedua dan ketiga! Lebih dari seribu tempayan melayang dan menghantam tepat di tengah-tengah musuh! Membuat kuda-kuda, prajurit mereka terjatuh, juga mengirimkan pesan mengerikan ke lawan…

"MINYAKK! ISINYA MINYAAAKl!" Jerit para tentara yang tersiram minyak dan pecahan tanah liat bagaikan melelehkan semangat dan keberanian mereka seketika. Formasi mereka berantakan, bingung, dan akhirnya kacau seketika saat gelombang demi gelombang hujan tempayan minyak menjatuhi mereka!

"Mereka akan pakai api!"

"Lari!"

Tapi Damar tidak langsung menyerang mereka dengan jenis tempayan kedua: tempayan yang ia sulut. Ia tetap menghujani mereka dengan minyak, tapi tidak api, karena ia masih memiliki rencana lain yang belum ingin ia ketahui. Ia hanya ingin rasa kaget menyerap dahulu sampai ke tulang belulang musuh mereka, sampai mereka membasahi seluruh padang dengan minyak seiring lari panik mereka.

"Benar-benar insinyur setan!" Sulran bercanda dan memuji keakuratan tembakan Damar, senyumnya cerah saat melihat pasukan penjepit musuh mulai enggan mengejar mereka karena ketakutan.

Pasukan Sulran akhirnya mencapai daerah berbendera biru ketika pasukan penjepit yang mundur mulai bertemu pasukan utama mereka sendiri yang mengejar. Mereka hendak mundur saat melihat keadaan rekan mereka yang kuyub dan luka dengan minyak, tapi semuanya sudah terlambat sejak saat mereka memasuki jarak jangkau mesin pelontar dan penggempur.

"Jarak 110 tupsi, siap!"

"135!", "160!", "270", "315!" Para insinyur berlomba mengumumkan kesiapan mesin mereka, sampai yang terakhir berteriak, "600 tupsi siap!"

Damar meraung, "SULUT!"

Sumbu yang ada di pucuk tempayan itu dipotong berdasarkan ukuran, jarak, waktu yang mereka tempuh sebelum meledak tepat di atas sasaran mereka. Semua sudah dihitung bersama Toto. Bahkan kalaupun apinya mati di udara, nyala di sumbu-sumbu yang dilapisi bubuk belerang tidak akan padam.

"LUNCURKAN!"

Lebih dari 2,000 tempayan besar dan kecil bertebaran memenuhi udara seperti burung-burung hitam, sebelum mereka mendarat di seluruh padang rumput dalam garis yang tebal dan rapi, menutup kedua jalan keluar di depan atau di belakang pasukan musuh dengan dinding api nan tebal! Lebih dari setengah Pasukan Timur terperangkap dalam neraka itu!

Suara jerit dan tangis musuh, serta kekacauan baru dimulai, ketika seluruh padang rumput mulai menyala-nyala dengan api, memusnahkan semua yang hidup dan bergerak, terutama yang dibasahi oleh barang setetes minyak!

"SIAPKAN GELOMBANG KEDUA!" Gelombang kedua adalah tempayan yang lebih ringan dan tipis, dengan sumbu lebih pendek, dirancang untuk meledak di udara tepat satu meter di atas pasukan lawan. Ledakannya akan menyebarkan api dan juga kepingan tanah liat bagaikan bom kecil. Serpihan tanah liat dalam kecepatan itu bahkan bisa menembus baju besi, tulang dan daging!

Kurang dari satu menit, mereka sudah siap kembali meluncurkan hujan amunisi berikutnya.

"LUNCURKAN!

Damar menembakkan gelombang kedua! Suara ledakan dan tangisan, juga desis api dan asap mulai meliputi seluruh padang! Ketika ia sudah menembakkan gelombang ke-10, seluruh padang rumput sudah lenyap, digantikan ladang api nan bergelora! Hujan api dan ledakan terus meringkus musuh yang tersisa demikian kejamnya! Ketika gelombang ke-20 selesai mendarat, asap bahkan sudah terlalu tebal untuk melihat apa pun lagi. Suara teriakan kesakitan dan terbakar, bau hangus nan memuakkan terbawa angin dan perlahan yang tersisa hanya kesunyian derak api.

Damar melihat ke balik bukitnya, di mana pasukan kavaleri panah, cadangan mereka, semua sudah siap untuk melakukan serangan balik. Sulran dan Toto juga sudah mengganti kuda mereka, lalu memimpin pasukan cadangan mengitari dan mengejar musuh yang tersisa!

Semua prajurit yang tadinya lari tunggang langgang melemparkan bahkan baju besi mereka sekarang sedang berebut memakai baju perang atau mengambil senjata lagi, menunggang kuda dan bergabung dengan yang lain ke medan perang! Semua berebut mengejar kemenangan dan pahala!

Mendadak Damar teringat sesuatu. Ia mengibar-ngibarkan bendera berwarna emas ke arah Guru dan Toto. Keduanya segera melihatnya ketika mereka mendengar bunyi sangkakala Damar.

Sulran bertanya pada Toto, "Menurutmu apa yang ia mau bilang?"

Toto melirik sebentar ke bendera Damar yang bertuliskan 'Api.'

"Ah! Kita bisa melumpuhkan pasukan gajah dengan melemparkan tempayan minyak kecil dari jarak dekat lalu membakar mereka dengan panah api," Keduanya mendadak berkata bersamaan.

Sulran lalu menunjuk ke 3,000 pasukan berkuda garis depannya, yang semuanya sudah membawa satu pot kecil penuh minyak di sadel yang diikat ke kain pelempar.

"MAJU! JANGAN BIARKAN MUSUH KABUR! BUNUH MEREKA SEMUA!"

"Bagaimana dengan Yardil… pengkhianat itu, Guru?" Toto bertanya dengan geli.

Jawaban Gurunya singkat dan sudah ditebak, "Aku benci pengkhianat. Habisi mereka semua!"

Ketika melihat dinding api tebal yang memblokir pasukannya, lalu hujan api bak neraka berjatuhan di atas mereka, Moharan sadar bahwa kemenangan telah lepas dari genggamannya. Ia memerintahkan pasukannya mundur. Setelah mundur teratur beberapa jauh, ia akhirnya merasa sedikit lega, ketika seorang utusan yang luka parah datang dari belakang, "Berita buruk! Tuanku! Tuanku!"

"Ada apa? Katakan yang jelas!"

"B-benteng kita… dan Benteng di Sungai sebelah Timur telah hancur… Musuh mendadak mundul entah dari mana… Jendral Kaju… memimpin mereka… menuju ke sini…"

Wajah Moharan langsung pucat pasi. Ia segera memerintahkan pasukannya mundur ke Utara. Ia masih punya benteng di atas gunung.Tapi setelah seperempat jam berkuda, mendadak seorang mata-matanya melaporkan, "Tuanku! Ada utusan datang!"

Sebenarnya itu bukanlah utusan, melainkan pasukannya yang tercerai berai dan melarikan diri… Moharan menggigil saat melihat mimpi buruknya jadi kenyataan.

"Benteng di Gunung Utara jatuh, Tuanku! Jendral Gluka… Ia tiba-tiba muncul dan menyerang kita! Kami lengah… Ia datang kemari Tuanku!"

Utusan lain datang dari belakang, "Tuanku… Pasukan Pendahulu, Sayap Utara, dan Selatan telah musnah! Jendral Sulran memimpin sendiri Pasukannya menuju kemari dari Selatan!"

"Tuanku! Musuh datang! Dari Utara!"

"Daerah Timur dipenuhi musuh, Jendral!"

Moharan menyadari bahwa ia sudah dikalahkan dengan begitu telak, dan diperangkap seperti tikus. Ia melihat wajah-wajah pucat dan lelah di sekitarnya, semua menanti adanya perintah atau secercah harapan darinya.

Baru dua jam bertempur dan ia sudah kehilangan dua per tiga pasukannya…

"Kita tembus kepungan mereka! Semua pasukan kita menyerang ke Timur! Jangan menyerah! Kita masih bisa kabur!"

Tapi ia tahu bahwa harapan begitu kecil, jika tidak mustahil.

Seorang perwira muda mendadak memacu kudanya dekat dengannya dan dengan gagah berujar,

"Tuanku! Biarkan kami jadi pasukan belakangmu! Tuan harus selamat!"

Moharan terkesan dengan keberanian pemuda itu, dan ia berseru, "Kami tidak akan melupakan keberanianmu! Dari mana kesatuanmu?"

"Pasukan Cadangan Kelima Kavaleri Fru Gar, Tuanku!"

"Semoga Divara memberkati kalian semua."

Kokru Sabayez Oward baru diangkat sebagai pemimpin tidak resmi regunya, semenjak kematian Kapten mereka barusan. Kokru mengangguk penuh tekad. Ia menggerakkan kudanya menjauh dari Jendral itu, menjadi pasukan pelindung paling belakang.

Kokru berteriak ke bawahannya, "Jangan sampai ada yang boleh menyentuh Jendral kita!"

Teriakannya disambut sorak perang anak buahnya, tapi ekspresi mereka dipenuhi tekad baja untuk mati.

Kokru melihat wajah-wajah berputar di matanya begitu cepat ketika ia memacu kudanya. Ia melihat ayah, ibu, kakak-kakaknya, si kembar, lalu Wander dan terakhir wajah Nalia yang tersenyum padanya. Penuh cinta dan kehidupan.

General Moharan gugur di hari itu, terbunuh di tangan Jendral Terkenal dari Batalion Banteng: Gluka, Murid Pertama Jendral Sulran. Sisa-sisa pasukannya hancur atau tertangkap oleh hadangan Batalion Singa di bawah pimpinan Jendral Kaju, Murid Kedua Jendral Sulran. Pasukan Gajah hancur total oleh perangkap api dan minyak.

Lebih dari 74,000 jiwa pasukan Timur tewas dalam peperangan ini, hanya 2,000 orang yang bisa melarikan diri, sisanya tertangkap, sementara kubu Barat hanya menderita korban sekitar 8,000 jiwa. Sebenarnya jumlah pasukan Barat adalah 88,000 jiwa, setelah berangkat dari Beku Yasa, pasukan mereka berpencar jadi tiga. Kaju memimpin pasukan ke arah Selatan sebanyak 15,000 orang menyamar sebagai karavan pedagang, sedangkan Gluka memimpin 10.000 tentara ke Utara.

Keduanya berhasil menyamar dan menyusup melalui garis pertahanan musuh dan mengitari mereka dari belakang. Gerakan cepat mereka mengacuhkan benteng-benteng maupun pos penjagaan kecil dan berhasil menembus jauh ke dalam pertahanan musuh. Dalam pertempuran ini jelas terlihat bahwa jaringan informasi dan mata-mata sangat penting. Pasukan Barat bisa mengetahui rencana Pasukan Timur mengepung mereka, tapi sebaliknya Pasukan Timur tidak menyangka Pasukan Barat sedang melakukan taktik yang sama hingga mereka hancur total.

Kalkulasi Toto yang cemerlang bisa memprediksi sampai di mana pasukan Kaju dan Gluka berada tanpa adanya tanda atau sinyal apa pun, sehingga rencana pengepungan berjalan sempurna. Peranannya dalam membujuk seorang perwira musuh untuk menyerah dan memancing pasukan musuh juga menentukan.

Kehebatan mesin-mesin perang Damar, baik penguasaan maupun eksekusinya, lalu jaringan informasinya yang sangat efisien. Taktik penggempuran pada jaman itu dianggap tidak efisien, tapi Damar berhasil melakukan revolusi taktik itu hingga bisa mengalahkan musuh yang lebih kuat.

Akan tetapi di atas segalanya, semuanya sudah direncanakan di kepala Sulran. Jendral menakutkan yang menemukan dan melatih keempat murid itu!

Saat ia memeriksa kepala Moharan, ia berbisik dengan sinis, "Ketika kau masih digendong, aku sudah turun di medan laga. Ketika engkau memburu kaum barbar Mauro dan berhasil mencuri gajah mereka, aku sudah menemukan dan membesarkan Empat Naga. Bagaimana mungkin kau bisa dibandingkan denganku, Bocah?"

Bab berikutnya