webnovel

Fragments Found

"k6ita mau kemana?" tanya Pak Ardan kepada orang yang membawanya. Pak Ardan akhirnya memberanikan diri untuk bertanya kepada orang yang membawanya pergi ketika mereka tiba di sebuah warung makan.

"Saya akan bawa kamu ke tempat aman, cepat naik ke mobil." Orang tersebut langsung menyuruh Pak Ardan untuk menaiki mobil yang sudah terparkir sedari tadi di depan warung makan tersebut. Pak Ardan yang mulanya ragu-ragu akhirnya menuruti permintaan orang tersebut.

Setelah Pak Ardan naik ke dalam mobil, orang yang membawanya segera masuk ke dalam mobil dan mulai menyalakan mesin mobil.

"Tutup muka kamu pakai ini, buat jaga-jaga." Orang tersebut menyerahkan sebuah topi dan meminta Pak Ardan untuk menutupi wajahnya.

Pak Ardan segera menutupi wajahnya dengan topi yang diberikan. Mobil yang mereka tumpangi perlahan melaju meninggalkan pelataran rumah makan.

***

Bara menjalani serangkaian pemeriksaan untuk memastikan keadaannya. Disinilah dia berada saat ini, Bara memandangi lampu ruang operasi di atasnya. Kali ini dia masuk ke ruang operasi dalam keadaan sadar. Bara bisa menyaksikan sendiri beberapa Perawat yang sibuk memasangkan berbagai macam alat ke tubuhnya.

"Tarik napas dalam-dalam," ucap seorang Dokter wanita sambil memasangkan masker ke wajahnya. Bara mengikuti instruksinya dan menarik napasnya dalam-dalam. Dokter tersebut kemudian menyuntikkan sesuatu melalui selang infus yang terpasang di punggung tangannya. Dokter terus memperhatikan semua tanda vital yang sudah terpasang sambil menunggu efek dari anastesi yang diberikan.

Bara mulai merasakan sensasi aneh pada tubuhnya. Perlahan Bara merasa tubuhnya seperti kesemutan. Cahaya lampu ruang operasi samar-samar menjadi buram. Rasa kantuk luar biasa akhirnya memaksa Bara untuk memejamkan mata. Hal terakhir yang didengarnya adalah bunyi 'beep' dari alat pendeteksi detak jantung, selanjutnya Bara menjemput alam bawah sadarnya. Setelah mendapat aba-aba dari Dokter anastesi bahwa semua tanda vital bara stabil, dokter bedah mulai mengoperasi Bara.

***

Pak Haryo berdiri di depan sebuah kamar rawat di rumah sakit tempatnya berada saat ini. Pak Haryo menghela napas, bersiap untuk menghadapi kepingan yang akan ditemuinya saat ini. Kepingan ini akan menjadi salah satu kunci untuk mengungkap apa yang terjadi pada Bara sepuluh tahun yang lalu setelah kecelakaan yang dialaminya bersama kedua orang tuanya.

Pak Haryo kemudian memutar kenop pintu dan melangkah masuk ke dalam ruangan tersebut. Pak Ardan yang sedari tadi seorang diri di dalam ruangan langsung terduduk siaga begitu ada seseorang yang masuk ke dalam ruangannya.

"Ndak usah takut, kamu aman disini," ucap Pak Haryo seraya mengambil kursi dan duduk di samping tempat tidur Pak Ardan.

"Kamu tahu kan apa yang saya inginkan dari kamu?" Pak Haryo langsung menyiratkan keinginannya untuk mencari tahu apa yang terjadi pada cucunya sepuluh tahun silam.

Pak Ardan menganggukkan kepalanya.

"Saya ndak suka basa-basi, jadi langsung saja kamu ceritakan," ucap Pak Haryo.

***

Pagi itu, seperti biasanya, Pak Ardan berjalan menyusuri sungai bersama istrinya untuk memasang perangkap ikan. Istri Pak Ardan bercerita riang bahwa semalam dia bermimpi memeluk seorang anak laki-laki.

"Mungkin sebentar lagi kita akan punya anak mas," Ucap istri pak ardan sambil tersenyum gembira.

"Iya dek." Pak Ardan mengiyakan ucapan istrinya sambil membelai lembut kepalanya.

Istrinya memang sangat mengharapkan kehadiran seorang anak ditengah-tengah mereka. Pernikahan mereka yang sudah berjalan hampir lima tahun belum juga dikaruniai seorang anak. Terkadang Pak Ardan melihat Istrinya menangis seorang diri jika tidak sengaja mendengar omongan tetangga yang membicarakannya. Melihat itu, Pak Ardan hanya bisa berharap Tuhan mendengar doa Istrinya.

"Itu apa pak?" tunjuk Istri Pak Ardan ketika melihat sesuatu terdampar di bibir sungai.

Pak Ardan memicingkan matanya melihat ke arah yang ditunjuk oleh Istrinya. Mereka berdua kemudian berjalan mendekati bibir sungai.

"Astaga, Pak!" Istri Pak Ardan terkejut begitu melihat objek yang mereka tuju ternyata adalah tubuh manusia.

Dengan hati-hati Pak Ardan membalikkan tubuh yang tertelungkup itu. Mereka semakin terkejut dan memundurkan langkahnya sedikit. Ternyata itu tubuh seorang anak laki-laki. Istri Pak Ardan kemudian menyentuhnya dan mendekatkan wajahnya ke wajah anak laki-laki yang ditemukannya itu.

"Masih ada napasnya, Pak!" teriak Istri Pak Ardan.

Pak Ardan memberanikan diri dan ikut mengeceknya. Pak Ardan memegang kepala anak laki-laki itu, terasa ada sesuatu yang hangat dari kepala anak laki-laki tersebut. Pak ardan membalikkan telapak tangannya, rasa hangat yang dirasakannya ternyata adalah darah yang merembes keluar dari kepala anak laki-laki tersebut.

"Kamu tunggu disini dek, saya panggil bantuan ke balai desa." Pak Ardan bergegas lari untuk mencari pertolongan. Sementara itu Istrinya segera melepas jaket usang yang dikenakannya untuk menutupi tubuh anak laki-laki tersebut.

"Tunggu sebentar, kamu akan selamat, Nak," bisik Istri Pak Ardan di telinga anak laki-laki itu sambil memeluknya.

Ada perasaan hangat yang mengalir ketika dia memeluk tubuh tak berdaya itu. Istri Pak Ardan kemudian berusaha mencari identitas anak yang ditemukannya. Pada saat mencari, dia mendapati anak tersebut mengenakan sebuah liontin berbentuk hati. Istri Pak Ardan semakin terkejut karena liontin yang dikenakannya berhiaskan sebuah batu zamrud yang cukup besar. Istri Pak Ardan membuka liontin tersebut, di satu sisi liontin terdapat foto anak tersebut dan di sisi lainnya terdapat ukiran bertuliskan 'My precious, Bara'.

"Bara" istri Pak Ardan menggumam.

Istri Pak Ardan memperhatikan jemari anak tersebut bergerak sedikit ketika dia menggumamkan kata Bara.

"Bertahanlah, Bara." Istri Pak Ardan kembali memeluk tubuh Bara yang tidak berdaya dan memasukkan liontin yang ditemukannya kedalam saku celananya.

Tidak berapa lama kemudian, Pak Ardan datang dengan sekelompok orang dan membawa tandu. Mereka segera mengevakuasi Bara ke puskesmas terdekat.

-----

"Gimana Bu Dokter keadaan anak itu?" tanya Istri Pak Ardan khawatir ketika dokter yang menangani Bara keluar dari ruang pemeriksaan.

"Keadaannya cukup parah, tapi sepertinya dia anak yang kuat, sekarang dia sedang tidur," jawab Dokter.

"Boleh saya masuk, Dok?"

"Silahkan, tapi kalau bisa jangan lama-lama, biar dia istirahat."

"Baik, Bu Dokter."

Istri Pak Ardan kemudian masuk ke dalam ruang pemeriksaan dan mendekati tubuh Bara yang terbaring di tempat tidur. Luka di kepalanya sudah di perban, bajunya yang tadi basah sudah diganti dengan pakaian lain yang lebih bersih.

"Syukurlah kamu bisa bertahan," ucap Istri Pak Ardan sambil membelai lembut wajah Bara.

Istri Pak Ardan mengambil kursi dan duduk di samping ranjang Bara dan memandangi wajahnya yang sedang tertidur.

"Mama, Mama." Bara meracau dalam tidurnya dan memanggil Mama. Tidurnya menjadi tidak tenang.

"Mama disini," bisik Istri Pak Ardan sambil menggenggam lembut tangan Bara dan mengusap kepalanya. Bara pun perlahan kembali tenang.

Keesokannya, Istri Pak Ardan kembali menemani Bara. Ketika Bara terbangun, tidak banyak kata yang terucap dari mulut Bara. Bara tampak kebingungan dan tidak mengingat siapa dirinya. Perawat dan Petugas Puskesmas juga kebingungan karena tidak ada satu pun identitas yang ditemukan. Istri Pak Ardan yang mengetahui nama Bara melalui identitas yang ditemukannya pada liontin yang dikenakan Bara memilih untuk menutup mulut.

Dirinya tidak ingin berpisah dengan Bara karena menganggap Bara adalah jawaban dari mimpinya selama ini. Setelah beberapa hari dirawat di Puskesmas, Bara diizinkan untuk dibawa pulang. Karena tidak ada yang mengetahui asal-usulnya, Istri Pak Ardan mengajukan diri untuk membawa Bara pulang ke rumahnya sampai ada keluarga yang datang mencarinya.

Pak Ardan yang mulanya tidak setuju dengan kemauan Istrinya, akhirnya memilih untuk menuruti keinginannya. Dirinya tak tega menghapus rona kebahagiaan yang terlihat di wajah Istrinya ketika sedang bersama Bara. Bara akhirnya dibawa pulang ke kediaman Pak Ardan.

"Gimana kalau kita panggil dia Bara saja, Pak?" ucap Istri Pak Ardan begitu mereka bertiga tiba di rumah.

"Bara?" Pak Ardan nampak keheranan.

"Iya, Bara," jawab Istri Pak Ardan antusias.

"Terserah kamu saja lah, Dek," ucap Pak Ardan singkat.

Saat ini memberi nama untuk anak yang mereka temukan tidak terlintas di kepalanya. Yang terlintas di kepalanya saat ini adalah bagaimana mereka bisa merawat Bara jika untuk memenuhi kehidupan sehari-hari mereka berdua saja sudah sulit, saat ini malah bertambah satu kepala lagi yang harus diberi makan. Ditambah lagi asal-usul Bara yang tidak jelas membuat Pak Ardan khawatir.

Beberapa hari tinggal bersama Pak Ardan dan Istrinya membuat Bara perlahan membuka dirinya. Istri Pak Ardan merawat Bara seolah ia adalah darah dagingnya sendiri. Meskipun di dalam hati dia merasa bersalah karena sudah menyembunyikan identitas Bara yang dia temukan.

-----

Suatu hari sepulang dari bekerja di pasar, Pak Ardan dicegat oleh segerombolan preman. Preman -preman tersebut lantas membawa paksa Pak Ardan ke dalam mobilnya. Pak Ardan dibawa ke sebuah gudang tua yang berada di pinggiran desanya. Setibanya di gudang tersebut, Pak Ardan dibawa menemui seorang pria paruh baya.

"Siapa kamu? Mau apa kamu?" tanya Pak Ardan setengah ketakutan.

"Tenang dulu, saya ngga bermaksud apa-apa sama kamu. Saya cuma mau bertanya," ucap pria tersebut dengan tenang.

Pria itu kemudian mengeluarkan sebuah foto dari balik kantong jaketnya dan memperlihatkannya pada Pak Ardan. "Kamu pernah lihat anak ini?" tanyanya.

Pak Ardan terkejut, pria tersebut memegang sebuah foto anak laki-laki yang mirip sekali dengan Bara. Pak Ardan menggeleng.

"Yakin kamu ndak pernah lihat anak ini?"

Pak Ardan kembali menggeleng.

"Oh, bagaimana kalau yang ini?" Pria tersebut kembali mengeluarkan sebuah foto. Kali ini foto Bara yang sedang bersama Istri Pak Ardan.

Pak Ardan kaget sekaligus ketakutan, bagaimana bisa pria tersebut mempunyai foto Istrinya yang sedang bersama Bara.

"Biar saya kasih tahu kamu. Sebelum kamu dibawa kemari, orang-orang saya sudah lebih dulu memantau kamu, jadi kamu ndak perlu berbohong," ucap pria tersebut sambil mendekatkan wajahnya ke wajah Pak Ardan. Nampak keringat sebesar biji jagung membasahi kening Pak Ardan.

"Jadi saya tanya sekali lagi, kamu pernah lihat anak ini?"

"Iya, Pak," jawab Pak Ardan ketakutan.

"Nah begitu, itu jawaban yang saya mau." Pria tersebut menepuk bahu Pak Ardan.

"Saya punya tugas buat kamu. Itu pun kalau kamu ndak keberatan, tapi saya rasa kamu ndak bakal keberatan, karena taruhannya nyawa Istrimu."

Mendengar nyawa Istrinya dipertaruhkan membuat pak ardan menjadi semakin ketakutan.

"Tugas apa, Pak?"

"Mudah kok, kamu cuma perlu menghabisi anak itu, kamu tinggal pilih mau menghabisi anak itu atau Istri kamu yang saya habisi," ucap Pria tersebut dengan tenang.

Pak Ardan terkejut mendengar ucapan pria dihadapannya. Pria tersebut bahkan berbicara tanpa mengedipkan matanya. Pak Ardan sangat ketakutan dengan ancaman pria tersebut untuk menghabisi nyawa Istrinya, sehingga dia bersedia untuk melakukan tugas tersebut. Setelah menyetujuinya, Pak Ardan kembali diantar pulang oleh preman-preman yang tadi membawanya. Tidak lupa, pria yang tadi ditemuinya memperingatkan jika saat ini Pak Ardan sedang berada dalam pengawasannya.

-----

Pak Ardan kembali kerumah dan segera mencari Istrinya. Istrinya keheranan, begitu tiba di rumah Pak Ardan mencarinya seperti orang ketakutan dan langsung memeluknya erat begitu melihat Istrinya baik-baik saja.

"Ada apa, Mas?"

"Ngga apa-apa, Dek." Pak Ardan menyembunyikan apa yang baru saja dialaminya. Dia tidak ingin membuat Istrinya ketakutan.

"Bara dimana?" tanya Pak Ardan.

"Di kamar."

Pak Ardan segera menuju kamar Bara. Di dalam hatinya ia merutuki kehadiran Bara yang membahayakan nyawa Istrinya. Bagaimana bisa niat baik Istrinya untuk menolong Bara malah berubah menjadi malapetaka bagi Istrinya.

"Anak pembawa sial," umpat Pak Ardan dalam hati.

Pak Ardan lantas menghampiri Bara yang sedang mencorat-coret kertas di atas kasur dan langsung mencengkeram leher bara. Sorot mata Pak Ardan penuh dengan kebencian ketika memandang wajah Bara yang ketakutan. Bara meronta-ronta mencoba melawan kekuatan Pak Ardan yang mencengkeram lehernya kuat-kuat. Istri pak ardan yang mendengar keributan dari arah kamar Bara segera berlari untuk memastikan apa yang sedang terjadi.

"Astagfirullah, Pak!" Istri Pak Ardan terkejut melihat Pak Ardan yang sedang mencekik Bara.

"Lepas, Pak!" Istri Pak Ardan memegang tangan Pak Ardan dan berusaha melepaskan cengkramannya di leher Bara. Pak Ardan tidak mengindahkan ucapan Istrinya dan malah semakin kuat mencengkeram leher Bara. Istri pak Ardan tidak kehabisan akal, dia mengambil sebuah jarum dan menusukkannya ke lengan Pak Ardan. Pak Ardan refleks dan melepaskan cengkramannya. Istri Pak ardan lantas langsung memeluk Bara. Bara nampak ketakutan di dalam pelukan Istri Pak Ardan. Pak Ardan memandang Bara dengan penuh amarah.

"Istigfar, Pak," ucap Istri Pak Ardan sambil terus memeluk Bara erat.

"Argh!" Pak Ardan berteriak meluapkan kekesalan sekaligus ketakutannya. Lantas pergi meninggalkan kamar Bara.

Setelah menenangkan Bara, Istri Pak Ardan mencari Suaminya. Pak Ardan sedang duduk seorang diri di meja makan. Nampak Pak Ardan seperti seseorang yang sedang frustasi. Istrinya segera menghampiri Pak Ardan dan duduk di hadapannya.

"Ada apa sebenarnya ini, Pak? Kenapa Bapak tiba-tiba bertindak seperti tadi? Tadi bukan seperti bapak yang saya kenal," ucap Istri Pak Ardan lembut.

Pak Ardan memandangi Istrinya dan menangkupkan kedua tangan di wajahnya. "Mereka mengancam saya jika saya tidak menghabisi Bara."

"Mereka siapa, Pak?"

"Saya ngga tahu, yang jelas mereka menakutkan. Mereka sedang mengawasi kita. Saya cuma ngga mau sesuatu yang buruk menimpa keluarga kita, Dek." Terlihat jelas raut kesedihan pada wajah Pak Ardan.

Istri Pak Ardan terdiam mendengar penuturan Suaminya.

"Kita pikirkan caranya sama-sama, Pak. Sekarang Bapak istirahat dulu."

"Iya, Dek."

-----

Keesokan harinya, pagi-pagi buta Istri Pak Ardan keluar membawa Bara. Mereka berjalan menuju hutan yang berada tidak jauh dari desanya.

"Kita mau apa kesini, Bu?" tanya Bara polos.

Istri Pak Ardan diam dan tetap meneruskan jalannya sambil menggandeng lengan Bara. Begitu mereka tiba di tengah hutan, terdapat sebuah pondokan kecil yang terlihat sudah reyot. Biasanya pondokan tersebut digunakan para pencari madu liar untuk beristirahat. Namun karena saat ini belum musim untuk mencari madu liar, maka pondokan tersebut kosong.

"Bara, dengar ibu. Untuk sementara waktu kamu bersembunyi dulu disini, ya?" ucap Istri Pak Ardan sambil memegang bahu Bara.

"Kenapa Bu?"

"Ini demi keselamatan kamu, Nak."

"Tapi Bara takut sendirian, Bu," ucap Bara sambil memperhatikan sekeliling pondokan.

Tidak ada apa pun disekitar pondokan selain pepohonan dan semak yang cukup lebat.

"Untuk hari ini saja. Nanti sebelum gelap, Ibu jemput bara disini."

"Bara ngga mau ditinggal sendirian Bu." Bara mulai merajuk.

"Ibu sudah siapkan bekal untuk Bara. Ibu janji, Ibu akan jemput Bara sebelum gelap, anggap saja Bara sedang berkemah, ya?"

Mata Bara mulai berkaca-kaca, dirinya benar-benar ketakutan jika harus ditinggal sendirian di dalam pondokan tersebut. Melihat itu, mau tidak mau Istri Pak Ardan mengeluarkan cara terakhir agar Bara bisa tinggal di dalam pondokan dan tidak pergi kemana pun.

"Nah, Bara pakai ini biar tidak takut." Istri Pak Ardan mengoleskan ulekan daun kecubung pada dahi bara. Daun kecubung mempunyai efek seperti obat penenang alami. Di desanya daun kecubung kerap kali digunakan pada anak laki-laki setelah menjalani proses sunat agar tidak terlalu merasakan sakit. Setelah diolesi ulekan daun kecubung, biasanya anak-anak itu akan tertidur sampai keesokan harinya. Istri Pak Ardan berharap Bara akan tertidur setelah dioleskan ulekan daun kecubung.

Tidak berapa lama, bara mulai merasakan kantuk. Bara berulang kali menguap. Melihat efek daun kecubung yang mulai bekerja, Istri Pak Ardan segera membimbing Bara ke dipan yang ada di dalam pondokan dan membaringkan tubuh Bara. Istri Pak Ardan membelai-belai lembut kepala Bara. Buaian lembut membuat Bara perlahan-lahan memejamkan matanya dan tertidur pulas.

Setelah Bara tertidur, Istri Pak sedangkan segera menutupi tubuh Bara dengan selimut dan memasangkan kelambu tipis di sekitar dipan. Tidak lupa ia menaburkan garam dan beberapa rempah yang dibenci hewan liar ke sekitar pondokan agar tidak ada ular dan hewan liar yang mendekat. Setelah selesai, Istri Pak Ardan bergegas kembali ke rumah dan meninggalkan Bara yang sedang tertidur di dalam pondokan.

"kamu darimana saja, Dek?" Tanya Pak Ardan ketika istrinya mengendap-endap masuk kedalam rumah.

"Eh, Bapak sudah bangun?" Istri Pak Ardan terkejut melihat Pak Ardan yang tiba-tiba muncul dari balik pintu dan mencoba mengalihkan pertanyaan yang diajukan suaminya.

"Saya tanya kamu darimana kok kamu malah balik tanya?"

"Saya dari kebun belakang."

"Kamu jangan bohong, saya tahu kamu sedang berbohong."

Istri Pak Ardan tertunduk mendengar ucapan Suaminya.

"Jujur saja, kamu habis darimana?"

"Saya sudah menemukan cara supaya kita semua aman, Pak."

"Apa maksud kamu?"

Istri Pak Ardan kemudian duduk di salah satu kursi yang ada di meja makan dan menyuruh Suaminya untuk ikut duduk bersamanya. Setelah mereka berdua bertatap muka, Istri Pak Ardan segera menjelaskan rencana yang dia susun untuk menyelamatkan Bara dan juga mereka berdua. Pak Ardan sedikit terkejut dengan apa yang dilakukan Istrinya.

"Tugas saya sementara sudah selesai, selanjutnya Bapak yang harus bersandiwara didepan orang-orang itu," ucap Istri Pak Ardan mantap.

Pak Ardan keluar rumah dan membawa baju Bara yang sudah dilumuri oleh darah hewan. Pada saat Pak Ardan sedang berjalan, seorang preman mengikutinya. Pada saat sedang mengikuti pak Ardan, preman tersebut tidak sengaja tertabrak oleh seorang penduduk desa yang sedang menaiki sepeda. Preman tersebut hilang keseimbangan dan terjatuh di tanah.

Pada saat akan berdiri, dia ditolong oleh seorang Nenek yang kebetulan sedang melintas. Nenek itu memegang bahunya dan berbicara cepat di telinga preman yang mengikuti Pak Ardan. Setelah selesai berbicara, nenek tersebut menjentikkan jarinya dan preman itu kembali tersadar.

"Kamu ndak apa-apa, Mas?" Nenek itu bertanya.

"Oh, saya ngga apa-apa, Nek. Saya permisi." Preman itu pun kembali pergi mencari Pak Ardan yang sedari tadi sedang dia ikuti.

"Kamu cari saya?" Pak Ardan muncul dari belakang preman tersebut.

"Bawa saya ke bos kamu, tugas saya sudah selesai."

Mendengar ucapan Pak Ardan, preman tersebut lantas segera membawa Pak Ardan ke gudang tua tempat dirinya dibawa kemarin.

Setelah menunggu beberapa saat, akhirnya pria yang kemarin menemui Pak Ardan muncul. Pak Ardan segera melemparkan baju Bara yang berlumuran darah dihadapannya.

"Apa ini?" tanya pria tersebut.

"Saya sudah penuhi tugas saya."

Pria tersebut tampak mengernyitkan alisnya.

"Benar dia sudah menghabisi Bara?" tanya pria tersebut pada preman yang tadi membawa Pak Ardan.

Preman tersebut kemudian menjelaskan, dirinya tadi melihat Pak Ardan masuk ke dalam hutan bersama seorang anak. Dia juga menjelaskan melihat Pak Ardan menghabisi anak tersebut di tengah hutan dan langsung menguburkannya. Setelah mendengar penjelasan anak buahnya, pria tersebut yakin dengan apa yang diucapkan Pak Ardan.

"Bagus sekali, saya suka dengan orang yang cepat kerjanya," ucap pria tersebut sambil menepuk bahu Pak Ardan.

Pria itu kemudian mengeluarkan selembar cek dari dalam saku jaketnya.

"Ini apa, Pak?"

"Sedikit hadiah buat kamu."

Pak Ardan menerima cek tersebut dengan sedikit ragu.

"Sekarang kamu boleh pulang, semoga kita tidak bertemu lagi."

Pada saat berjalan meninggalkan gedung tua tersebut, Pak Ardan bisa mendengar pria yang ditemuinya tertawa-tawa senang. Pak Ardan bergidik ngeri mendengar tawa pria tersebut. Dia tidak bisa membayangkan apa yang akan dilakukan pria tersebut jika tahu Pak Ardan mengelabuinya. Pak Ardan bergegas pergi. Dia berniat untuk segera mencairkan cek yang diberikan pria tersebut dan pergi dari desanya.

Pak Ardan kembali ke rumah dengan membawa sebuah amplop berisi uang tunai. Istrinya yang harap-harap cemas menunggu kepulangan Pak Ardan langsung memberondongnya dengan pertanyaan.

"Kamu berikan sedikit uang ini untuk Tarjo dan Ni Mirah yang tadi sudah membantu kita," ucap Pak Ardan sambil mengeluarkan beberapa lembar uang lima puluh ribuan dan menyerahkannya pada istrinya.

"Iya, Pak." Istri Pak Ardan menerima uang tersebut.

"Tapi, berapa lama efek hipnotis Ni Mirah bekerja pada preman itu?" tanya Pak Ardan sedikit khawatir.

"Nini bilang, dia sudah memberikan sugesti yang sangat kuat, preman itu tidak akan sadar jika yang dia katakan itu hanya sugesti semata."

"Baiklah kalau begitu, tapi untuk berjaga-jaga, kita akan pergi dari desa ini."

"Tapi, Pak."

"Tidak ada tapi-tapian kali ini. Tidak ada jaminan bahwa preman-preman itu tidak akan kembali kesini."

"Baik, Pak." Istri Pak Ardan tidak berani menyanggah ucapan suaminya lagi. Apa yang direncanakannya sejauh ini sudah berhasil. Dan separuh dari dirinya juga setuju dengan apa yang diucapkan suaminya bahwa tidak ada jaminan preman-preman itu tidak akan kembali lagi.

"Kalau begitu saya pamit menjemput Bara dulu, Pak."

"Iya, kamu hati-hati. Ajak saja Tarjo untuk menemani kamu, saya akan membereskan barang-barang kita disini."

Istri Pak Ardan kemudian kembali berangkat menuju tengah hutan untuk menjemput Bara. Sesampainya di pondokan, dia mendapati Bara masih tertidur lelap, padahal hari sudah mulai gelap.

"Biar saya gendong dia, Teh." Tarjo menawarkan diri untuk menggendong Bara.

"Tolong ya, Jo."

"Iya, Teh."

Istri Pak Ardan kemudian membantu menaikkan Bara di punggung Tarjo.

"Kita sudah aman, Nak." Batin Istri Pak Ardan seraya membelai lembut punggung Bara.

"Terima kasih ya, Jo. Kamu sama Nini sudah mau nolongin saya, kalau bukan karena kalian berdua mungkin anak ini sudah--" Istri Pak Ardan tidak sanggup menyelesaikan kata-katanya.

"Iya, Teh. Jangan sungkan Teh kalau butuh pertolongan."

"Iya, Jo."

Malam itu juga setelah Istrinya dan Bara kembali dari hutan, Pak Ardan segera menyewa sebuah mobil untuk mengantar mereka menuju pelabuhan. Pak Ardan berencana untuk kembali ke kampung halamannya di pulau Sumatra dan memulai kehidupan yang baru. Pada awalnya mereka menjalani kehidupan baru di kampung halaman dengan bahagia.

Namun lambat laun kebahagian itu perlahan memudar. Pak Ardan terus dihantui rasa takut bahwa para preman yang dahulu menemuinya akan datang kembali, perlahan melampiaskan kekalutannya dengan minum minuman keras. Tak jarang pada saat mabuk, Pak Ardan melampiaskan kemarahannya dengan memukuli Bara. Semakin hari perilaku pak Ardan semakin kasar, bahkan pada Istrinya sendiri.

Istri yang dahulu sangat dicintainya. Istrinya hanya bisa pasrah dengan perlakuan Pak Ardan. Hingga pada suatu hari, Pak Ardan kembali mengajak Istrinya untuk kembali ke pulau jawa. Istrinya berharap setelah kembali ke pulau jawa, Pak Ardan akan kembali seperti dulu. Namun Istrinya tidak mengetahui bahwa alasan dibalik itu adalah Pak Ardan sedang dikejar-kejar oleh penagih hutang.

Sekembalinya mereka di pulau Jawa, mereka tinggal di pinggiran ibukota. Pak Ardan bekerja serabutan, namun hasil kerjanya kembali dia habiskan sendiri untuk mabuk-mabukkan. Sementara itu Istrinya dan Bara juga bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka bertiga.

Lambat laun kesehatan Istri Pak Ardan semakin memburuk dan akhirnya meninggal dunia. Pak Ardan semakin terpuruk sepeninggal Istrinya dan meninggalkan Bara seorang diri. Bagi Pak Ardan, Bara adalah akar dari kesialannya selama ini. Menolong Bara kala dirinya terdampar di bibir sungai adalah sebuah kesalahan besar dalam hidupnya.

***

"Kamu sudah bertemu dengan pria yang dulu meminta kamu untuk menghabisi Bara?" tanya Pak Haryo ketika pak ardan menyelesaikan ceritanya.

Pak Ardan mengangguk pelan. Pria yang tempo hari menyiksanya tampak sangat murka ketika bertemu kembali dengan Pak Ardan. Pria itu tidak menyangka bahwa dahulu Pak Ardan mengelabui dirinya dan mengatakan bahwa dirinya sudah menghabisi Bara.

"Sepertinya dia masih keluarga Bapak," ucap Pak Ardan sedikit bergetar.

"Baiklah kalau begitu, itu sudah cukup buat saya." Pak Haryo bangkit berdiri dan pergi meninggalkan ruangan Pak Ardan.

Pak Haryo terdiam begitu ada di luar ruangan Pak Ardan dan segera mencari kursi terdekat. Kepingan ini membuat hatinya mencelos. Pak Haryo kemudian kembali bangkit berdiri dan melangkah menuju ruang perawatan Bara. Pak Haryo memandangi Bara yang masih tertidur. Perlahan air mata Pak Haryo menetes. Mengapa harus cucunya yang mengalami semua kejadian nahas itu.

"Kamu harus membalas semuanya, mereka tidak layak dimaafkan, sudah saatnya kamu melawan balik," bisik Pak Haryo di telinga Bara.

***

Don't forget to follow my Instagram Account pearl_amethys and my Spotify Account pearlamethys untuk playlist musik yang saya putar selama menulis Bara.

Karya asli hanya tersedia di Platform Webnovel.

Bab berikutnya