webnovel

CHAPTER 29 : Rival Baru

Namaku adalah Jennie. Sejak awal hidupku sudah termarginal, papa dan mama selalu mengajarkanku untuk bersyukur. Katanya di luar sana masih banyak orang yang lebih sengsara daripada kami.

Kami berempat tak ingin lebih, bisa makan setiap hari sudah memuaskan nafsu kami. Terutama adikku yang imut ini, dia premature—bagaimana kami bisa mencukupi kebutuhan gizi jika setiap hari hanya makan mie dan kuah ba'so. Daging adalah sesuatu yang mahal belum pernah kucoba seumur hidupku. Kudengar jika menambahkan taburan merica dan bubuk cabe akan terasa lebih spicy. Waahh… membayangkannya saja sudah membuatku ngiler

"Heeeii… Ninie usap air liurmu!" kata mama

"Wahahaha… apa yang kau bayangkan Ninie sampai ngiler begitu?" kata papa

"emm… aku hanya membayangkan bagaimana rasanya makan daging—aku ingin daging!" balasku

"ya… yaaa.. yaa… papa mengerti besok hari ulang tahunmu akan papa bawakan daging yang paling enak"

"benarkah? Aku sudah tak sabar. Horeee… horree…"

Krisis pangan di wilayah kami menjadi momok yang besar. Bahkan makanan jauh lebih berharga dibanding nyawa sendiri. Orang-orang kaya hanya bisa menertawakan kami, seenaknya saja membangun gedung-gedung tinggi dan merusak alam.

Bumi yang kukenal sudah mati… tanah menjadi tandus tak berumput maupun berbuah, sungai penuh dengan limbah hewan apapun tak sudi hidup di dalamnya. Bahkan jasad hewan-hewan laut selalu ke tepi pantai penuh dengan plastik dalam perutnya. Lantas apa yang kami makan? Yaa.. mie instan, dan bahan pengawet lainnya yang dibalut sempurna seperti makanan.

Akhirnya di umurku yang ke-sepuluh ini aku bisa makan daging. Ini semua berkat papa, hasil jerih payah dan kerja kerasnya demi aku untuk bisa membeli daging. Begitu banyak daging yang tersaji di meja makan, mungkin aku tak sanggup menghabiskannya sendiri. Tapi papa dan mama tak mau membantuku memakannya, mungkin supaya aku bisa lebih puas makan daging-lagipula ini daging pertamaku. .

Malam ini begitu terang, bintang-bintang di langit bersinar indah meski sang rembulan tak menampakkan diri. Lilin yang menyala di meja makan menghangatkan kami. Hanya inilahh yang kuinginkan bisa berkumpul dengan keluargaku.

Tapi tangisan adikku sedikit membuatku jengkel, hanya dia yang tak suka aku jika aku bahagia. Aku membentakknya supaya diam, tapi mama malah membelanya. Dasar adik cengeng… lantas papa menggendongku. Tapi papa juga memarahiku, semuanya sama saja tak ada yang benar-benar mengerti diriku. Bergegas aku lari ke kamar dan mengurung diri.

Tok… tookk.. tookk…

Itu pasti papa… apapun yang papa katakan aku takkan keluar. Aku benci dunia ini, semuanya tak berguna.

"Tak usah pedulikan aku!" bentakku—bersembunyi dibalik selimut.

Gubbrraakkk…

Pintu yang terkunci rapat terbanting ke lantai, seseorang mendobraknya. Bantingan itu tak membuatku kaget, sebaliknya orang yang muncul di depanku bukanlah papa-justru mengagetkanku. Siapa orang ini?

Dengan kasar dia memegang tanganku. Cengkramannya begitu kuat, ototnya terlatih dengan sempurana-bahkan telapak tangannya penuh dengan tekstur. Aku berteriak minta tolong… tak ada jawaban? Kemana papa dan mama?

Orang itu membawaku keluar, aku begitu takut untuk memikirkannya. Aku berharap semuanya salah… benar-benar salah! Pikiranku dipenuhi dengan hal-hal negatif.

Aku tak mau pergi!

Aku tak mau pergi!

Tapi apa yang bisa dilakukan gadis kecil ini?

Aku hanya bisa berjalan melangkahi mayat keluargaku. Entah kemana orang ini akan membawaku? Kenapa ia tak membunuhku sekalian?

Kenapa?

Kenapa?

Heeeii… apa tuhan itu benar-benar ada? Kenapa dia diam saja? apa salahku? Kenapa aku harus menanggung semua ini? Apa kau pikir aku ini hiburan? Jika benar begitu, aku penasaran bagaimana raut wajahmu melihat diriku yang seperti ini.

Ini sudah dua hari sejak aku meninggalkan rumah, fajar menyisingkan dirinya dua kali. Sepertinya kereta ini juga tak hendak berhenti. Daerah ini tak kukenal—jauh dari rumahku. Baru pertama kali aku keluar dari desaku, ini benar-benar berbeda. Kota ini jauh lebih kumuh daripada tempatku, tapi begitu ramai-banyak orang berlalu-lalang… seperti punya kesibukan sendiri.

Bau limbah ini benar-benar busuk bahkan lebih busuk daripada diriku. Apa aku harus tinggal di tempat seperti ini? Sang kusir menghentikan kudanya, seorang lelaki menyuruhku keluar.

Kami menuruni sebuah tangga, menuju gorong-gorong yang besar. Dia menyerahkanku kepada lelaki lainnya. Lantas ia menerima bayaran atas perbuatannya… berakhir sudah hidupku. Kini aku menjadi budak manusia-manusia kotor! Tak ada bedanya dengan ternak.

Dia mendorongku ke dalam lapangan untuk bergabung dengan budak lainnya. Sebuah palu telah diberikan padaku, tanpa adanya instruksi yang jelas. Aku melihat sekeliling, kurasa harus melakukan seperti yang mereka semua lakukan, yaa… memecahkan batu ini.

Untuk seorang gadis kecil yang baru genap sepuluh tahun adalah hal yang sulit untuk memecahkan batu. Lagipula setidaknya beri aku makan—sudah dua hari lalu sejak terakhir aku makan. Hewan ternak juga butuh makan untuk mengembalikan staminanya… itu adalah pengetahuan umum.

Suara yang keras sekali memekakan telingaku, awalnya aku kira itu adalah suara guntur, hanya saja suara alarm yang begitu keras. Orang-orang mulai berbaris-aku hanya mengikuti dibalik punggung mereka. Namun, yang kuterima hanya sup ubi-ubian. Hambar rasanya, tak ada garam atau merica Cuma terasa hangat saja.

Melihat mangkuk sup ini aku merasa hatiku tersayat sedemikian halusnya. Ternyata kemiskinan keluargaku masih menyelematkanku dari perbudakan ini. Kini tiap hari aku harus memakannya, jika tidak aku pasti sudah mati seperti anak lainnya. Mungkin sekarang lidahku sudah tak bisa merasakan bumbu—benar-benar mati rasa. Bahkan aku sudah lupa bagaimana rasanya manis itu, lantas buat apa aku memiliki lidah ini jika tak berguna?

Hari demi hari kuhabiskan dengan memcah batu dan membuat bata. Aku hanya berharap hidup ini segera berakhir. Sesekali aku mencoba bunuh diri, nyatanya kematian tak semudah itu, aku selalu selamat! Siallnya hidupku ini!

Lima tahun berlalu—aku tak hanya mejadi pemecah batu, keterampilan dan kemampuan fisikku memikat para atasan. Aku mengikuti pertarungan gladiator, setiap hidung belang pasti menikmati hiburan ini. Dimana para gadis muda saling bertarung untuk mendapatkan hadiah.

Ternyata pekerjaan ini lebih baik dari aku kira. Aku tak bisa menyembunyikan tawaku. Meski rasa letih dan lelah ini menyelimutiku tapi aku bersyukur bisa menjadi jawara dalam gladiator ini. Akulah yang nomor satu di sini, tak ada yang bisa mengalahkanku!

Sekali lagi alarm berbunyi keras, membuat kebisingan di seluruh penjuru. Akhirnya tiba juga. Semua mulai berbaris rapi—tapi tidak untuk makan. Perseteruan sudah mendekati puncak. Pasukan revolusi menerobos masuk markas, kami para budak diperintahkan untuk melindungi atasan. Jangan bercanda! Inilah kesempatan kami untuk kabur.

Rute pelarian yang kubuat selama ini tidak sia-sia. Akhirnya aku bisa menggunakannya. Orang-orang mulai bertarung satu sama lain, aku tak memdulikannya siapapun akan kuhajar jika menghalangiku. Aku meraih kain untuk menutupi kepala dan wajahku.

Satu-satunya yang bisa kulakukan adalah lari.

Setiap blok mampu aku lewati, entah berapa penjaga yang sudah kuhajar. Menyusuri jalan yang becek ini membawaku keluar dari distrik. Mencari tempat yang lebih sepi kurasa akan aman.

Adrenalineku meningkat drastis-udara sekeliling terasa panas meski rintikan hujan ini tak mau berhenti. Mendaki sebuah bukit… aku menemunkan sebuah pohon beringin untuk berteduh di sana. Sepertinya aman tak ada siapapun di sana. Tak kusangka pohon ini begitu kuat tak tergerus zaman, pasti sudah puluhan tahun dia berdiri tegar di sini.

Aku membuka tudungku… senja ini begitu indah. Bahkan suara bising tak terdengar di sini. Jika aku mati—kurasa aku ingin mati di sini.

Langkah kaki mewaspadakanku… siapa di sana? Bersiaga aku memegang pisau yang kudapat dari distrik. Seseorang bertudung muncul dari balik batang pohon.

"tak usah takut! Aku bukan musuhmu!" kata pria bertudung

Tak mungkin aku percaya begitu saja, dasar orang mencurigakan. Ia tak memdulikan dan beridiri di sebelahku menikamti pelangi.

"Lihatlah pelangi itu begitu menawan, menandakan era baru akan dimulai"

Apa maskud orang ini aku tak mengerti… ia masih melanjutkan ocehannya.

"Dimana pun berada, kapan pun jamannya yang kuatlah yang menang, dan orang lemah hanya akan menyalahkan keadaan"

Kata-kata orang itu sedikit menggetarkan jiwaku, sepertinya dia tak bermaksud menyindirku tak kata-katanya begitu menusuk. Teringat orang tuaku yang mati dibunuh pembunuh bayaran. Saat itu aku hanya menyalahkan keadaan, bahkan aku menyalahkan tuhan. Tapi tidak dengan orang ini! Yang lemah akan terpinggirkan dan yang kuat akan berkuasa. Aku pun juga merasa begitu—aku mencoba mengakhiri hidup namun gagal. Kemudian aku berusaha untuk hidup, hingga sampai ke titik ini. Aku mengalahkan orang-orang di arena, aku menjadi juara, dan aku menjadi kuat. Karena itu aku bisa bertahan.

Orang berjubah mengeluarkan seseuatu dari kantongnya, dan menawarkannya padaku. Satu bungkus permen karet telah dikunyahnya, satunya lagi diberikannya padaku.

Belum pernah aku memakan sesuatu seperti itu, sepertinya dia keenakan. Kurasa baik-baik saja jika aku menerimanya.

Lantas aku membuka bungkusnya, dan mengunyahnya. Seketika itu air mataku menetes.

"Apaa ini?"

"bagaimana… enak kan?"

Entah berapa lama aku tak bisa merasakan sesuatu. Bahkan aku kehabisa cara untuk mengekspresikan sesuatu. Konsep enak dan tidak enak sudah kulupakan—satu bungkus… yaa hanya satu bungkus permen karet ini mengingatkanku betapa manisnya kebahagiaan yang pernah kulupakan.

Sejenak aku bertanya pada paman di sebelahku, kenapa ia memberikan permen karet ini kepadaku. Hanya jawaban biasa yang kuterima… seseorang yang berusaha berhenti merokok selalu membawa permen kemana-mana. Nyatanya… dibalik itu ia hanya ingin berbagi manisnya permen karet ini dengan orang asing sepertiku.

"sebentar lagi gelap… sepertinya aku akan pulang. Ngomong-ngomong nona mau kemana?" kata paman

"aku tidak kemana-mana" balasku

"passs… sekali maukah kau ikut ke rumahku? Hari ini aku mengadakan pesta"

"mana mungkin aku ikut ke rumah orang asing yang tak kukenal"

"tenang saja—seorang gladiator sepertimu sangat mudahkan membunuhku dengan pisau itu?"

Bagaimana dia tau tentang diriku?

Lantas paman itu mulai beranjak dan menawariku untuk kedua kalinya. Aku tak mengiyakan atau menolaknya—hanya saja mengikutinya dari belakang. Setelah kabur dari tempat perbudakan itu aku tak memiliki tujuan. Di samping itu tempat ini sangat berbahaya bisa saja aku tertangkap dan diperbudak lagi. Sebaiknya aku menerima tawarannya sambil memikirkan langkah selanjutnya-bagaimana pun juga aku harus tetap waspada terhadapnya.

Bab berikutnya