webnovel

CHAPTER 8 : UJIAN TENGAH SEMESTER

Pak Rey menjelaskan bahwa kami akan menghadapi ujian tengah semester secara outdoor. Ujian tengah semester ini bertujuan untuk mengetahui dan menyaring kemampuan terpendam masing-masing siswa. SHS merupakan sekolah pertama yang mendepankan soft-skill, bakat dan talenta dalam bentuk apapun akan sangat dihargai dalam sekolah ini. Oleh karena itu, tes tulis bukan menjadi tolak ukur yang utama dalam penilaian kelulusan siswa.

Mengingat kontrak yang dibuat SHS dengan berbagai perusahaan ternama di dunia, pantas saja sekolah tak hanya menilai murid dari sisi akademik saja. Kepribadian, soft-skill, talenta, kemampuan fisik atau apa pun itu yang bisa menjadi komoditi akan masuk dalam kategori penilaian.

Menurut penjelasan Pak Rey, sebelum kami mengikuti ujian tengah semester kami diwajibkan untuk lulus dalam Quiz. Beliau tidak memberikan informasi secara detail bagaimana bentuk Quiz yang hendak dilakukan. Itu artinya kami harus siap dalam segala situasi yang terjadi. Namun, sebelum meninggalkan kelas Pak Rey berpesan 'jangan terlalu mempercayai temanmu, karena yang dia berikan kepadamu hanyalah racun, semoga menikmati perjalanannya jaga kesehatan kalian'

Astaga guru macam apa itu? pada umumnya bukankah kewajiban seorang guru adalah memotivasi para murid, dan menyuruh kami untuk saling berteman? Apa dia ingin kami bermusuhan satu sama lain? Aku benar-beanr semakin tidak mengerti tentang kepribadian Pak Rey, mengingat sejak awal dia sudah menyeleksi setengah murid kelas C, bisa jadi Pak Rey ingin menghabisi seluruh kelas C.

Ujian tengah semester diadakan di luar kota, tentu saja aku takkan melewatkan kesempatan ini. Mungkin setelah ujian akan langsung menuju tempat wisata, presentase kemungkinan ini lebih dari lima puluh persen. Untuk itu aku sudah mempersiapkan alat-alat yang digunakan untuk liburan seperti halnya kamera, jaket, jam tangan sport, dan topi.

Keesokan harinya kelompok kami berangkat terlebih dahulu, mengingat kelompok kami dalam kelas C yang terlebih dahulu menyelesaikan program magang. Untuk menuju area tempat ujian kami menempuh perjalanan denan bus. Kami ditempatkan di sebuah bus yang berisikan tiga puluh orang, yang terdiri dari murid kelas A sampai kelas D.

Karena ini kelas campuran kami tidak saling mengenal antara satu dengan yang lain. Tapi beruntungnya masih ada teman satu kelompokku yaitu Ringgo, Mawar, dan Leo. Aku memilih tempat duduk paling belakang supaya aku terhindar dari keramaian. Lalu aku memasang earphone berniat tenggelam ke dalam dunia musik.

Sepuluh menit kemudian seseorang mengambil perhatianku, terpaksa aku melepas earphone tuk mendengar apa yang dia ucapkan.

"mau permen?" kata perempuan di sebelahku yang tersenyum

"tidak… tidak perlu aku gak begitu suka yang manis-manis" jawabku

Lalu perempuan menawarkan permen kepada yang lainnya. Saat aku melihat ke depan ternyata suasana menjadi ramai, beberapa anak mulai mengobrol antara satu dengan lainnya.

"semuanyaa mumpung ada mic di sini ayo kita bernyanyi"

Mereka semua bernyanyi ria, seakan sudah lupa kita akan menghadapi ujian lhoo. Terlalu terbawa suasana, tapi yaaa sudahlah… hidup memang harus dinikmati.

Sepuluh kilometer kemudian sopir bus memilih pemberhentian di SPBU untuk mengisi bensin. Hampir semua anak turun dari bus untuk mampir ke toilet. Ini adalah kesempatan kami untuk menghirup udara segar, melepas segala kesesakan di dalam kursi bus.

"maaf sepertinya aku terkena diare, aku tak sanggup melanjutkan perjalanan" kata seorang siswa dari bus kami.

Sepertinya ada beberapa anak terkena diare, terpaksa mereka tidak melanjutkan perjalanan. Repot juga sih kalau diare saat perjalanan, mungkin mereka baru menerima challenge sama seperti Ringgo, tawaku dalam hati. Aku jadi teringat dengan Ringgo, apa dia juga diare? Bisa gawat kalau dia tidak mengikuti ujian. Aku melihat sekitar, nampaknya teman satu kelompokku baik-baik saja.

Bensin bus yang sudah terisi penuh menandakan bahwa kami harus segera kembali ke dalam bus. Perjalanan kembali berlangsung entah sampai kapan bus ini akan melaju, melihat berhektar-hektar lahan pertanian di sisi jalan membuatku jadi mengantuk. Beberapa jam berlalu tiba-tiba seseorang di bagian tengah menjerit, menggugah diriku dalam kantuk.

"waaaarrghh…. Arrrghhh gatal sekali"

Muncul bintik-bintik merah di sekujur tubuh anak itu, sepertinya anak itu terkena alergi. Dia tak bisa berhenti menggaruk kulitnya, hingga berdarah. Seorang temannya berusaha mencari obat P3K di dalam tas. Tapi tak juga menemukannya, semua orang menjadi panik. Sehingga terpaksa mereka mengambil keputusan untuk meninggalkan bus dan pergi ke rumah sakit. Dengan begitu dua orang pergi meninggalkan bus ini, tak melanjutkan ujian.

Sekarang sudah enam orang yang keluar dari bus. Melihat situasinya ini bukan hal yang kebetulan. Aku baru ingat kata-kata Pak Guru, beliau berkata semoga menikmati perjalanannya jaga kesehatan kalian.

Kurasa aku sekarang mengerti apa yang dimaksudnya itu, sepertinya Quiz sudah dimulai sejak kami memasuki bus ini. Yaa siapa yang bisa bertahan sampai akhir maka dia dinyatakan layak mengikuti ujian tengah semester. Siapa pun yang belum menyadarinya akan terus diseleksi dari bus ini, dengan cara apapun. Melihat dari situasinya sepertinya ada seseorang yang diberi perintah untuk menyeleksi siswa di sini, karena siswa yang gugur bukan semata-mata mengundurukan diri, melainkan karena hal yang tak terduga yang terjadi saat perjalanan. Sebagai contoh anak yang terkena diare, dia pasti sudah mengetahui bahwa ujian diadakan di luar sekolah pasti tak akan makan makanan aneh-aneh sebelum berangkat. Kemudian anak yang terserang alergi, sungguh aneh jika dia memiliki riwayat alergi kulit namun tak membawa obat yang dibutuhkan.

Mari kita lihat siapa selanjutnya yang akan seleksi. Aku menghembuskan nafas panjang melihat orang-orang saling berbicara. Menoleh ke kanan dan ke kiri, sesekali aku melihat ke bahu jalan atau mobil-mobil yang terlewati.

Sepertinya masih belum ada yang menyadari ujian ini, mereka semua terlalu polos. Aku meraih kamera yang ada di dadaku. Sengaja aku kalungkan supaya tidak jatuh, aku tipe orang yang tak ingin mencolok, tapi kenapa aku malah bawa kamera? Mungkin itu yang ada di benakmu, iyaa kan? Jika aku membawa kamera saat berpergian maka aku akan jadi juru foto, tentunya tak akan ada orang yang melihat fotoku bersama mereka.

Aku ingin tertawa sendiri mengingat logika semacam itu, tapi itu fakta. Mereka hanya akan memanggilku karena kebutuhan mereka, layaknya tukang jasa foto. Kebetulan aku membawa kamera model paling baru, ketika selesai memotret maka akan langsung jadi hasil jepretannya.

Sepertinya kita sudah sampai di pemberhentian pertama, karena pak sopir memberi tanda untuk turun. Kami tiba di sebuah kuil, rasanya nyaman sekali udaranya juga sejuk. Setelah empat jam berada di dalam bus, ini adalah balasan yang setimpal untukku.

Di sini banyak sekali orang berlalu-lalang, berbincang-bincang, dan berdoa di kuil. Kuil ini tampak begitu tua dan rapuh, sepertinya peninggalan jaman dahulu, karena dilihat dari desainnya yang begitu konservatif. Yaaa di ujung kanan dan kiri atap tampak runcing seperti tanduk kerbau.

Aku langsung mengabadikan tiap momen, lalu seseorang menyapaku, "waaahh… ternyata benar kamu yaaa—Alice?" kata Mawar

"yaaa… sudah jelas ini aku" balasku dengan jutek, dari sapaannya itu seperti tak mengenal diriku saja.

"tolong fotoin aku dong buat update di instagram"

"iyaaa… iyaaa.. tenang saja, cepat ambil pose!" kataku sambil membidiknya

Tak lama setelah itu orang-orang berkumpul dan meminta di foto, satu per satu kufoto. Adapula yang memaksa-ku, yaaa mau bagaimana lagi-sepertinya hanya aku yang bawa kamera, sedangkan yang lainya hanya mengandalkan kamera smartphone.

Biar lebih mengena, aku putuskan mengumpulkan mereka sehingga mendapat foto semua orang dalam wisata ini. Meskipun ada seseorang yang tak mau ikut dalam grup foto, tapi untunglah Mawar berhasil memandu mereka semua.

"sempurna"

Ugghkkk… ugghhkk…

Asap menyambar hidungku membuat jepretanku menjadi blurr, darimana sih asalnya? Aku pun melihat ke sekeliling. Rupanya dari pembakaran arang dari tengah-tengah kuil. Yaaa dinginnya udara di sini sudah sepantasnya ada penghangat.

Kemudian aku beralih ke dekat pagar menjauhi asap, angin sepoi-sepoi ini benar-benar memanjakanku. Aku tak peduli lagi-hanya memandang hantaran kota dari ketinggian sungguh agung nama-Nya. Meskipun manusia yang membuat gedung-gedung itu semua, tapi mata ini adalah ciptaan-Nya.

Pandanganku teralihkan pada seseorang di bawah pohon, sepertinya orang itu sangat serius membaca buku. Orang ini benar-benar penikmat tinta, Jepreett…

"Niiihh fotomu" aku berikan pada Ringgo.

"heeeiii seenaknya paparazi!" balas Ringgo

"maaf-maaf… tapi bagus kan?" kataku

"yaaa… karena bagus aku maafkan"

Meskipun begitu mukanya yang tersipu malu mengakui hasil fotoku, benar-benar imut. Padahal Ringgo memiliki potensi yang populer tapi kenapa dia begitu pemalu. Yang menjadi pengakuanku adalah dia benar-benar keren saat membaca buku, aku tau dari sinar bola matanya yang terpancar, hanya saat membaca buku ia begitu menikmati hidup.

Saat aku hendak menoleh seseorang mengancamku, "hentikan! Atau kau akan mati!"

Sepertinya ada seseorang yang menodongku dari belakang. Di keramaian seperti ini dia berani mengincarku? Apa mungkin mereka orang dari organisasi?

Lalu aku menunduk melihat Ringgo-aku tak boleh gegabah di sini, selain itu aku juga tak boleh melibatkan orang lain. Aku harus bagaimana ini?

"diam dan ikuti saja! tutup matamu-dan buka mulutmu"

Aaahh… panas itulah yang dirasakan indera perasaku, sebulat tahu masuk ke dalam mulutku. Perpaduan asin, manis, dan pedas memacu syarafku untuk memintanya lebih.

"wahaha… gimana rasanya? Enak? Itu balasan untuk jepretanmu!" kata Mawar

"hmmm… enak kok kurasa aku mau lagi, boleh?"

"tentu saja boleh… Ringgo apa kau mau juga?"

"Tidak—terimakasih"

"Dasaar kau cowok gak peka! Apa kau tidak mengerti perasaan seorang wanita? Heehh…. Menawarkan makanan kepada cowok bagi wanita itu sama saja menawarkan perasaannya! Tapi kau terang-terangan menolaknyaa"

Dia langsung menjitak kepalanya, lalu merangkul Ringgo menyuapinya dengan paksa. Ringgo yang tak berdaya itu hanya bisa pasrah. Melihat tingkah mereka berdua sangat lucu aku jadi tertawa sendiri. Tentu saja aku tak lupa mengabadikan mereka

"ini foto kalian… lihatlah begitu mesra, apa kalian sudah pacaran?"

"tidddaaakkk!" jawab bersama

"tuhhh kan—ngomongnya aja bisa barengan, sudah kuduga kalian itu berjodoh hahaha"

"bodo amat" jawab mereka lagi

"hoooiii…. Hoooiii…"

Ada seseorang menghampiri kami dari kejauhan. Dengan tergesa-gesa ia menuju tempat kami bertiga. Apaan sih orang ini? Sesampainya ia kemari, malah kami tinggal begitu saja

"heeii… heeiii disamperin malah pergi! Benar-benar jahat!" kata Leo

Kami pun malah lari menjauh, lalu meledeknya dari dari depan sambil menjulurkan lidah. Melihat tingkah kami Leo pasti kesal—bergegas ia mengejar kami. Entah apa tujuan kami bertindak seperti ini, tapi sepertinya menjahili Leo itu merupakan hal yang asyik.

Lalu kami semua kembali ke dalam bus untuk melanjutkan perjalanan, entah apa yang menanti kami di pemberhentian berikutnya. Aku sudah tidak sabar, akhirnya ada hal yang membuat jantungku berdebar-debar. Aku sangat senang hingga tersenyum sendiri di balik kaca yang mengembun.

Bab berikutnya