webnovel

BAB 89. BERSEMBUNYI

Suara ledakan memekakkan telinga. Seakan aku tidak lagi mampu mendengar apapun. Mbok Din dengan cekatan membungkus pakaian dan makanan untukku.

"Mari, Den." ucapnya menyadarkanku.

Pengawal yang kuingat bernama Suwoto itu telah menyiapkan kuda di depan bilikku.

"Kita akan lewat belakang, Noni." jelasnya.

Aku mengangguk seperti orang bodoh yang masih berusaha mencerna situasi.

Bagaimana dengan Aryo? Apa yang terjadi dengannya?

Tapi aku harus menyelamatkan anakku. Aryo pasti akan menyusulku.

Kami bergegas. Mbok Din berlari tergopoh-gopoh mengikuti kami. Pakaiannya sama sekali tidak cocok untuk berlari cepat.

Harusnya dia mengangkat jaritnya lebih tinggi sepertiku.

"Kudanya hanya satu." kata Suwoto bingung.

"Apakah Noni tidak keberatan naik bersama saya."

"Tidak masalah." ucapku cepat.

"Noni naik dulu.. Saya akan antar mbok untuk bergabung dengan yang lain." kata Suwoto

"Baiklah.."

Aku segera naik kuda berwarna kelam yang tampak gagah itu.

Walaupun tidak selincah sebelumnya, tapi aku masih bisa naik tanpa bantuan siapapun.

Mbok Din dan Suwoto berlari entah kemana. Aku melihat keramaian di kejauhan dan asap yang mengepul. Sepertinya penyerang itu menggunakan senjata api. Bau bubuk mesiu menguar. Orang-orang yang berteriak dan suara logam beradu membuat suasana semakin kacau. Ada rasa takut yang menyeruak di hatiku.

Bagaimana jika aku mati disini? Dimana Aryo? Semoga saja dia aman. Aku harus tetap tenang. Aku tidak boleh panik.

Telapak tanganku terasa dingin dan berkeringat.

Sial!

Aku merasa resah. Mungkin karena ada nyawa yang ingin kulindungi. Jadi aku menjadi lebih khawatir celaka dibanding sebelumnya.

Kenapa Suwoto belum juga kembali?

Ketika aku hendak turun dari kudaku, tiba-tiba saja muncul beberapa serdadu Belanda dari balik pepohonan.

Aku sangat terkejut. Tanpa pikir panjang, aku segera menghentakkan kudaku dan memacunya dengan kencang. Aku dapat mendengar letusan senjata api dibelakangku.

Aku harus bisa lolos.

Aku terus memacu kudaku. Mataku panas. Air mataku seakan siap meledak. Bahkan pandanganku mulai kabur.

Ini sangat kacau. Aku bahkan tidak tahu arah.

Suara itu seakan masih terus mengejarku.

Tak lagi ada jalan. Kudaku berlari diatas akar-akar pohon. Hingga kudaku tiba-tiba berhenti dan meringkik kuat sambil mengangkat kaki

"Ho.. Ho.. Ho.. Tenang...tenang.." ucapku sambil menepuk pangkal lehernya.

Aku mencoba menenangkannya.

"Oke... Kita berhenti dulu."

Aku melihat sekeliling. Aku tidak menemukan seorangpun yang mengejarku. Tapi aku juga tidak tahu aku berada dimana.

Aku memasuki hutan terlalu dalam.

Tidak ada kompas, apalagi GPS.

Aku harus mencari jalan keluar.

Hari sudah hampir gelap. Hutan akan lebih berbahaya saat gelap. Aku harus keluar dari sini.

Kupacu lagi kudaku. Kali ini dengan lebih kencang.

Belum lama aku memacu kuda, langit mulai bergelegar. Dan hujanpun jatuh tak tertahan.

Ya Tuhan! Apa yang harus kulakukan?

Aku harus mencari perlindungan. Tapi dimana?

Disela tetes hujan, air matakupun menetes. Tak pernah aku membayangkan kehidupan sesulit ini.

Aku mengelus perutku.

"Kid, semoga kehidupanmu kelak akan lebih mudah." ucapku pelan sambil terisak.

Aku turun dari kudaku dan menuntunnya untuk mencari tempat berteduh.

Aku pikir pengalamanku outdoor akan berguna. Di situasi seperti ini rasanya aku ingin menyerah. Kakiku bahkan sudah terluka oleh ranting patah diatas tanah.

Aku mondar mandir mencari tempat perlindungan. Paling tidak tempat yang teduh. Hujan yang semakin deras dan hari yang kian petang, membuat suasana kian suram dan mencekam.

Setelah berjalan beberapa lama dan ketika aku hampir menyerah, aku menemukan sebuah gua.

Syukurlah!

"Hei.. Ini keberuntungan kita, Kid." ucapku menepuk perutku pelan.

Walau aku tidak yakin itu aman untukku. Tapi saat ini, itu adalah pilihan yang terbaik.

Hujan reda beberapa saat kemudian.

Ha, Tuhan benar-benar senang bercanda denganku!

Hujan reda disaat aku menemukan tempat berteduh. Tapi memang hari sudah gelap. Aku tidak tahu harus kemana. Sebaiknya aku bermalam disini, sambil memikirkan cara untuk keluar dari sini.

Semoga saja itu bukan gua binatang buas.

Dengan pelahan aku mengecek kondisi gua. Gua itu tidak terlalu dalam. Tapi cukup untuk berlindung. Dindingnya terbentuk dari batu kapur dan sangat bergerigi. Jika tidak hati-hati akan sangat mudah menggores kulit.

Aku menggigil. Pakaianku basah kuyup. Dan bekal yang dibawakan oleh Mbok Din pun juga basah, walaupun tidak separah yang kupakai. Syukurlah.

Makanan yang dibungkuspun sudah bercampur air hujan.

"Paling tidak ini cukup untuk mengganjal perut." kataku sambil menghela nafas.

Tiba-tiba mataku terasa berat dan kemudian semua menjadi gelap.

Entah berapa lama aku tertidur atau mungkin pingsan, hari masih gelap saat aku membuka mataku. Hanya cahaya bulan satu-satunya penerangan yang ada. Suara nyanyian hutan terdengar begitu nyaring di telingaku. Aku semakin waspada saat mendengar bunyi-bunyi asing. Aku mencari ranting yang cukup kokoh. Minimal bisa kugunakan untuk mengusir binatang buas.

SRAKK... SRAKK...

Suara langkah itu terdengar kian dekat. Aku harus mengakui bahwa aku mulai ketakutan. Kupegang erat ranting kayu itu. Sambil berkali-kali meniupkan nafas dari mulutku untuk mengusir kepanikan.

SRAK... GUBRAK!! BUK!

Ada sesuatu yang terjatuh dari atas gua. Terjatuh tepat didepan gua. Aku berdiri dan berjalan mendekatinya.

"Ya Tuhan!" pekikku tertahan.

Bab berikutnya