webnovel

BAB 39. CERITA

Aku ketakutan setengah mati.

Apakah dia pencuri?

Aku tidak memiliki senjata apapun.

Aah, sial sekali!

Bodohnya aku berada di tengah hutan sendirian dan berharap Aryo ada disini.

Aku tarik tanganku menutupi wajahku. Aku gemetar. Aku meringkuk seperti bayi. Aku berusaha menahan nafasku. Aku takut dia melihat kearahku.

Tiba-tiba dia beranjak dan berjalan keluar pondok. Langkahnya berhenti di dekat jendela. Dia tidak meninggalkan pondok itu.

Aku mengintipnya.

Apa yang dia lakukan. Dia menutup jendela itu dari luar.

Ya Tuhan!

Apa yang harus aku lakukan?

Dia kembali masuk kedalam pondok. Aku semakin gemetar ketakutan.

Suasana pondok menjadi sangat gelap.

'Ctak!'

Ada bunyi pemantik. Dia menyalakan lentera kecil.

'Kriet'

Balai-balai ini berbunyi seiring gerakanku. Dia langsung menoleh. Aku segera menyembunyikan wajahku. Aku benar-benar ketakutan.

Aku mendengar langkah-langkahnya mendekatiku. Jantungku berdegub kian tidak teratur.

Apa dia orang jahat?

"Kau sudah bangun?"

Suaranya lembut. Suara itu, suara Aryo.

Seketika aku langsung bangkit dan memeluknya. Aku menangis di dadanya.

Dia tidak membalas pelukanku. Tubuhnya kaku. Tidak seperti Aryo biasanya. Tapi aku tidak peduli. Aku terus mempererat pelukanku. Aku merindukankannya.

Kemudian tangannya terangkat, mendorong pundakku untuk menjauhinya.

Kenapa?

Dia menolakku.

"Aryo?" tanyaku tidak percaya.

Aku tak percaya dia menolakku.

"Katakan, apa maumu?" suaranya dingin.

Rasanya hilang semua yang ingin aku katakan. Aku teringat bagaimana aku mempertahankan diriku dari Daniel. Aku sakit. Sakit sekali. Lahir batinku sakit.

Aku pernah mengalami kejadian serupa saat di Rotterdam. Tapi kejadiannya adalah sebaliknya. Mantanku, Hans memelukku tapi aku mengabaikannya. Bahkan aku meninggalkannya begitu saja. Aku tidak peduli teriakannya. Aku tidak peduli alasan apapun yang ingin dia sampaikan. Tapi aku masih mau menemuinya, untuk yang terakhir kalinya.

Apakah kisah ini adalah karmaku terhadap Hans?

Tidak!

Aryo harus mau mendengarkan aku. Aku harus bisa membuatnya mendengar penjelasanku.

Jika dia masih menginginkan berpisah denganku, minimal bukan karena salah paham diantara kita.

"Aku memang tidak perlu menjelaskan kepadamu bagaimana aku sampai di tempat ini."

Sial! Aku tidak dapat melihat wajah Aryo dengan jelas. Lentera itu terlalu redup untuk ruangan ini. Aku tidak bisa membaca perubahan wajah Aryo.

Dia hanya terdiam. Aku mundur dan duduk diatas balai-balai.

"Kemarilah.." ajakku.

Aryo tak bergeming. Dia hanya diam mematung didepanku.

Baiklah! Minimal dia mendengarkan ceritaku.

"Anak ini bukan anak Daniel."

Aku berhenti sejenak menunggu reaksi Aryo.

Tapi sekali lagi, dia hanya diam. Seakan aku sedang berbicara dengan angin malam.

Aah... Mungkin ini sudah menjelang pagi.

"Saat perjalanan kembali ke Batavia..."

Aku harus memilih kata-kata dengan hati-hati. Aku tidak ingin Aryo semakin salah paham.

"... Aku pingsan di perjalanan. Papa mendatangkan Dokter Hoog untuk memeriksaku. Dokter Hoog terkejut bahwa aku hamil. Papa meminta Dokter Hoog merahasiakan hal ini. Hanya Papa, Dokter Hoog dan Dhayu yang mengetahui. Bahkan aku baru tahu setelah Papa meminta Dokter Hoog menyiapkan obat untuk menggugurkan anak ini. Aku akan dinikahkan dengan Daniel. Papa tidak ingin kehilangan muka karena kehamilanku."

Aryo bergerak mendekatiku. Tapi dia masih diam. Aku benar-benar berharap bisa melihat ekspresi wajahnya.

Sialan! Kenapa jaman ini belum ada lampu?

"Aku bersikeras tidak mau. Bahkan Dokter Hoog diam-diam membantuku, memberikan vitamin untukku. Agar bayi kita sehat." jelasku sambil tersenyum. "Akhirnya Papa mempercepat pernikahan dengan Daniel, sebelum kehamilanku diketahui banyak orang."

Aku berhenti untuk menghela nafas. Entah kenapa berbicara seperti ini sangat melelahkan.

"Aku... Kita waktu itu.."

Ah!! Kenapa sulit sekali bercerita tentang malam itu.

"Kau masih ingat malam aku menikah dengan Daniel, kita... Kita..." Aku tidak menemukan kata yang tepat untuk menjelaskan. "Kita bercinta."

Ini masih separuh cerita. Tapi aku sudah kelelahan setengah mati. Entah kenapa aku merasa tegang sekali. Aku takut Aryo semakin salah paham dengan ceritaku.

"Ya?"

Akhirnya aku mendengar suaranya lagi. Rasanya aku ingin berteriak kegirangan. Dia merespon ceritaku.

"Daniel mendatangiku. Dan aku menolaknya. Dia tahu kita baru saja bercinta. Dia sangat marah."

Aku tidak perlu bercerita bahwa Daniel menampar wajahku setelah menyentuh milikku yang masih basah oleh Aryo. Daniel menamparkan mani itu kewajahku.

"Aku... Aku tetap tidak bersedia melayaninya. Hingga... Hingga..."

Tiba-tiba aku terisak tanpa dapat kutahan. Aku masih trauma dengan kejadian yang menimpa Dhayu.

"Apa yang dia lakukan kepadamu?" tanyanya. Suaranya melembut. Seperti biasa saat berbicara denganku.

Direngkuhnya tubuhku. Tangisku semakin menjadi. Aku sudah lama menahan rasa sakit ini. Sekarang aku bisa meluapkannya. Di dada Aryo aku menangis sejadi-jadinya.

Dengan terbata-bata aku kembali berbicara, "Karena aku terus menolaknya, Daniel membawa Dhayu untuk mengancamku."

Aku harus berhenti untuk mengambil nafas.

"Awalnya aku tidak tahu dengan maksud Daniel mengajak serta Dhayu ke kamar kami."

Aku kembali menangis.

Aryo mempererat pelukannya. Ditepuk-tepuknya punggungku untuk menenangkanku.

"Dia membawa dua prajuritnya untuk memperkosa Dhayu dihadapanku."

"Sshhhh....kalau terlalu berat, kamu tidak perlu menceritakannya." kata Aryo dengan lembut.

"Tidak! Kau harus tahu semua ceritanya. Aku tidak ingin ada kesalahpahaman diantara kita." ujarku bersikeras.

"Baiklah. Tapi tenangkan dulu dirimu."

Aryo membaringkan tubuhku. Awalnya aku menolak dan ingin terus menjelaskan hingga semuanya menjadi jelas dan tidak menimbulkan salah paham. Tapi Aryo bukanlah orang yang mudah untuk ditolak.

Akhirnya aku kembali berbaring. Tapi kali ini, lengan Aryo yang kugunakan untuk bantal.

Kami tidur dalam posisi berpelukan.

Seandainya waktu bisa berhenti. Aku ingin saat ini waktu berhenti.

Sudah lama aku menanti saat-saat ini. Kembali ke pelukannya.

"Aku tidak tahu bagaimana kamu bisa sampai disini. Aku harap kau tidak melakukan seperti saat aku melarikanmu dulu."

Aku ingin menjawab bahwa memang tidak tertalu sama, kali ini lebih ekstrem daripada pelarian kita sebelumnya.

Aku hanya diam saja.

Udara pagi terasa begitu segar. Lengan yang melingkari tubuhku semalam sudah hilang. Ada segulung kain sebagai bantalku.

Dimana dia?

Aku segera bangun dan melihat sekeliling.

Ya, Aryo selalu bangun di pagi buta. Setelah membasahi tubuhnya, dia akan melakukan ibadah paginya.

Tapi ini matahari sudah cukup tinggi. Tentu dia sudah selesai dengan ibadah paginya.

Kemana dia? Apakah dia meninggalkanku?

Aku pikir semalam aku sudah berusaha menjelaskannya. Tapi dia belum mendengar seluruh ceritanya.

Kenapa dia sudah pergi?

Bab berikutnya