webnovel

BAB 20 PENANTIAN

"Hai.. "

"Apa yang kau lakukan di kamarku?" tanyaku marah.

"Kenapa? Toh sebentar lagi kau akan menjadi istriku. Jadi tentu tidak masalah jika kita harus lebih mengenal satu sama lain." katanya sambil berjalan mendekatiku.

Aku terus berjalan mundur, hingga punggungku membentur dinding.

"Berhenti!" seruku kepadanya.

Dia tidak peduli dan tetap mendekatiku. Ada seringai kemenangan di sudut bibirnya. Dia sebenarnya pria yang cukup menarik, hanya saja aku terlanjur tidak menyukainya. Sifatnya yang sombong dan kasar benar-benar membuatku muak.

"Aku bilang, berhenti!" seruku lagi.

Aku mulai ketakutan. Papa jelas-jelas sedang tidak di rumah. Bagaimana dia bisa berada di kamarku?

Dia berdiri sangat dekat denganku. Wajahnya diturunkan ke wajahku. Aku segera menghindarinya.

Matanya berkilat-kilat. Dia marah.

"Apa kau pikir karena kau cantik, kau bisa berbuat seperti itu kepadaku?" geramnya marah.

Sebelah tangannya mencengkeram wajahku, sedang tangan yang lain menahan tanganku.

Dia menekanku dengan sangat keras. Lenganku benar-benar terasa ngilu. Aku bersikeras memalingkan wajahku dari wajahnya. Membayangkan berciuman dengannya sudah membuatku mual. Cengkeramannya semakin kuat, dan itu sangat menyakitkan. Air mataku mulai menggenang. Ada perasaan takut, marah dan khawatir bercampur aduk.

Wajahnya yang tampan tampak bengis dan dingin. Sepertinya dia sangat marah kepadaku. Dia menempelkan bibirnya untuk memagut bibirku, aku berusaha keras memalingkan wajahku. Dia marah. Ditariknya tubuhku menuju ranjangku. Aku melawannya.

"Terakhir kali kau melukaiku!" geramnya marah.

Ya, aku masih ingat bagaimana aku berhasil kabur dari rumahnya.

Dan kali ini apakah ada kesempatan seperti itu? Hari sudah larut sekali. Bagaimana aku akan kabur? Seluruh akses keluar tertutup untukku.

"Dan kali ini tidak akan lagi!" serunya marah.

Kukepalkan tanganku untuk memukulnya.

Dia segera menariknya. Sangat sakit. Rasanya lenganku terkilir.

Kuludahi mukanya.

Aah.. terkena matanya. Dia langsung mundur. Wajahnya memerah penuh kemarahan. Dia mengangkat lengannya. Aku terlalu lambat menyadari, hingga sebuah tamparan keras jatuh di pipiku.

Aku menjerit tertahan. Aku menangis. Dia mendekatkan wajahnya dan berkata dengan marah di telingaku.

"Papamu berhutang banyak padaku. Jadilah gadis manis. Jangan banyak bertingkah." ujarnya seraya menepuk-nepuk pipiku yang baru saja ditamparnya.

Daniel bangkit dan meninggalkanku. Aku gemetar ketakutan. Tidak pernah terbayangkan suatu saat aku harus menghadapi upaya pemerkosaan. Aku tidak bisa menghubungi 911 ataupun komite perlindungan anak dan perempuan.

Sial!

Apa yang harus aku lakukan apabila hal itu terjadi lagi padaku?

Aku memang bukanlah perawan, tetapi bukan berarti aku bisa bercinta dengan sembarang orang. Bercinta tentunya dilakukan berdasarkan perasaan suka sama suka. Tidak ada unsur paksaan.

Daniel sudah gila. Dia akan memaksaku, cepat atau lambat. Aku harus mencari cara untuk mencegahnya.

Aku melihat Papa memasuki halaman rumah dari jendela kamarku. Dia tampak berjalan tergesa kedalam rumah. Tak lama kemudian ada ketukan keras di pintu kamarku. Aku melompat terkejut.

Pintu segera terbuka begitu aku memutar anak kunci.

"Margaret!" tegur Papa. "Aku tidak mau kau berulah lagi didepan Tuan de Bollan."

Baru kali ini aku berkesempatan berbicara dengan Papa. Banyak hal yang harus aku sampaikan. Masalah Dhayu, Daniel dan yang terpenting adalah masalah pernikahanku dengan Aryo.

"Papa, aku perlu bicara dengan Papa." kataku.

"Tuan de Bollan adalah calon suamimu. Jadi ingatlah untuk memperlakukannya dengan baik!" tekan Papa

Mataku menjadi panas. Rasanya air mataku alan tumpah. Aku menahannya.

"Papa, papa tahu bahwa aku sudah menikah." aku berusaha berbicara dengan tenang.

"Aku tidak pernah mengakui itu." geramnya "Dan apa yang ada di perutmu harus kau singkirkan."

Aku menggigit bibirku. Ada kesedihan yang seketika menjalari hatiku. Ada kemarahan yang hampir tidak mampu kutahan.

"Aku tidak mau!" tegasku. "Aku tidak akan lakukan itu!"

"Kau!" nadanya penuh kemarahan. "Kau berani menentangku hanya karena seorang inlanders?"

"Aku tidak peduli siapa dia. Yang aku tahu, aku mencintainya dan dia mencintaiku. Itu sudah cukup bagiku."

"Cinta?" cibir Papa. "Tahu apa kamu soal cinta? Kau hanya terlena sesaat. Kau akan segera sadar." imbuhnya

Aku tidak peduli dengan kata-katanya.

"Aku tidak akan menikahi Daniel." timpalku pasti.

"Aku tidak meminta persetujuanmu." kata Papa sambil mengangkat telunjuknya kepadaku dan segera berbalik keluar dari kamarku.

Apa yang harus kulakukan? Ingin sekali aku menangis. Tapi aku yakinkan diriku, bahwa ini bukan saatnya aku menangis. Aku harus mencari cara untuk bisa melarikan diri.

Aku juga harus bisa menolong Dhayu. Memikirkan gadis kecil itu ada di rumah pelacuran membuat kepalaku berdenyut.

Kejam sekali orang-orang ini.

Pagi yang tidak seperti biasanya. Perutku terasa diaduk. Aku mengeluarkan semua sarapan pagiku. Pelayan segera melaporkan ke Papa. Papa bergegas menemuiku di teras belakang.

"Minum obatmu!" perintahnya.

"Tidak." jawabku. "Jangan pernah berpikir untuk membuang anakku."

"Kau tidak mungkin melahirkannya!"

"Kenapa tidak?!" tantangku. "Ini tubuhku. Ini hakku untuk menentukan apa yang akan kulakukan."

"Kau!!"

Mata Papa memerah. Tak pernah kulihat Papa seperti ini sebelumnya. Sekalipun kita terkadang berbeda pendapat, dia tetap pada akhirnya berusaha membujukku dengan baik. Kali ini dia tidak seperti itu.

"Jika kau tidak mau melakukannya sendiri, maka aku akan memaksamu." katanya marah.

Apa yang akan dia lakukan? Gawat!

Aku harus segera menemukan cara untuk kabur. Ini sudah darurat.

Aryo, tidakkah kau ingin membantuku? ratapku dalam hati.

Aku tidak tahu apa yang telah terjadi, tapi aki yakin Aryo tidak menyerah.

Setelah cukup kuat, aku berkeliling mengitari rumah. Aku harus menemukan celah untuk kabur.

Aku berjalan hingga deretan tempat tinggal para pelayan. Kedua orang yang bertugas menjagaku tampak enggan mengikuti hingga tempat budak. Mereka memanggilku untuk kembali.

Aku yakinkan mereka bahwa tempat budak sangat dijaga di rumah ini. Jadi sangat sulit bagiku untuk kabur lewat tempat para budak itu, jelasku pada mereka.

Baru kali ini aku mendatangi tempat ini. Tempat ini bahkan lebih buruk daripada istal kuda yang dimiliki oleh Paman Pieter. Ada anak kecil dengan pakaian yang kumal berdiri dibalik pintu memandangiku. Ada anak-anak yang kemudian mendatangiku. Mereka dengan takut-takut menyapaku.

Apakah ada keluarga Dhayu disini? batinku.

Pelayan yang berada di rumah nasibnya lebih baik. Mereka mendapatkan tempat, makanan dan pakaian yang baik. Sedang tempat ini, kumuh dan mengerikan. Terlalu dekat dengan hewan-hewan peliharaan.

Aku terus berjalan hingga mencapai ujung rumah ini. Aku melihat tempat sapi, dimana di belakangnya terdapat celah yang mungkin cukup untuk kulalui.

Rijsttafel untuk pernikahan Tuan de Bollan denganku akan diselenggarakan tidak lebih dari seminggu lagi. Semuanya sibuk. Aku masih terus mencari cara untuk kabur.

Aku berlagak seperti anak manis penurut. Hanya aku sebisa mungkin menghindari Tuan de Bollan, dia sangat menjijikkan.

Aku terus beralasan mulai dari menstruasi sampai sakit.

Menciumnya benar-benar membuatku mual setengah mati.

Setiap malam aku berharap Aryo akan datang menjemputku seperti sebelumnya.

Kurang dua hari pernikahan akan diselenggarakan. Semua persiapan telah selesai. Gaun pengantin berwarna satin tampak indah tergantung di kamarku. Setiap kali melihatnya hatiku terasa perih.

Hari ini aku kembali mengunjungi rumah para budak. Anak itu masih tetap melihatku dengan pandangan takjub.

"Hai!" tegurku.

Kali ini aku menyapanya. Bajunya kotor dengan noda2 lumpur yang mengering.

Dia menyeringai. Dia mengulurkan tangannya kepadaku. Ada sesuatu di tangannya. Sebuah cincin. Seketika hatiku terasa perih. Itu adalah cincin yang biasa dipakai Aryo. Aku sangat merindukannya. Benar ini adalah cincin Aryo.

"Dari mana kau mendapatkannya?"

Aku menangis memandangi cincin bermata biru yang kini berada di tanganku.

"Dimana dia?" tanyaku kepada anak kecil itu.

Anak kecil itu menunjuk ke arah kandang sapi. Akhirnya penantianku berujung. Tanpa berpikir panjang, aku bergegas menuju kandang sapi. Aku tidak peduli dengan bau yang menyengat.

Ada seseorang disana, membungkuk mengangkat rumput. Dengan kain mengikat kepalanya. Pakaiannya lusuh dan tampak longgar.

"Aryo?"

Rijsttafel = pesta perjamuan

Setelah kembali ke peradaban, akhirnya author berhasil update... ?

Maaf sudah membuat readers menanti lamaaaaa sekali. Terimakasih buat readers yang sudah setia menanti. Next... i promise to update everyday.

Tengkyuuh readers lup yuuu ?

Nice_Dcreators' thoughts
Bab berikutnya