webnovel

BAB 15 TERSESAT

Aku mengumpulkan kekuatanku. Sejenak aku ragu akan diriku. Ketika dia tampak lengah, aku tidak menyia-nyiakannya. Aku segera mendorongnya sekuat tenaga.

Dia terkejut. Dia jatuh terjengkang. Kepalanya terantuk meja di dekat ranjang.

Aku tidak buang waktu, aku segera berlari menuju pintu. Karena dia didalam, aku yakin pintu itu tidak terkunci. Aku buka pintu itu dan berlari sekuat tenaga. Aku dapat merasakan tatapan bingung orang-orang yang berpapasan denganku. Aku terus berlari hingga aku yakin aku sudah tidak terkejar.

Aku tidak tahu arah. Aku tidak tahu harus kemana. Aku berusaha menghindari jalanan. Kuda akan lebih cepat daripada lariku. Aku harus mencari celah yang tidak dapat dilalui kuda.

Bagaimana aku menemukan suamiku. Bagaimana dia menemukanku. Bajuku koyak. Aku berusaha menutupi dadaku dengan tanganku.

Aku mencapai rumah-rumah inlanders. Rumah mereka kecil-kecil dan beratap rendah.

Kakiku yang tanpa alas sudah terasa sakit sekali. Pergelangan tanganku masih tampak memerah akibat cengkeraman Daniel. Aku berjalan tertatih-tatih ke sebuah rumah paling ujung. Rumah itu tampak sepi. Ada sebuah balai-balai yang terbuat dari bambu didepan rumah. Aku segera duduk diatasnya. Sangat lelah. Perih di kakiku semakin menjadi. Kuangkat sebelah kakiku untuk memeriksanya, tapi tiba-tiba dunia terasa gelap.

Bunyi burung yang bercuitan membangunkanku. Udara pagi menyeruak membawa embun yang terasa sejuk. Matahari belum tinggi. Ada selimut yang menempel di tubuhku. Pakaianku bukan pakaian yang kukenakan sebelumnya. Ini mirip seperti pakaian Dhayu. Terlalu pendek. Pakaian ini agak kekecilan untukku.

Aku mencoba untuk bangun. Kepalaku masih terasa sangat berat. Dan aku kembali merebahkan tubuhku.

Dimana ini? Sepertinya aku masih tersesat di jaman ini. Aku belum kembali.

Tiba-tiba seorang wanita tua memasuki kamar itu. Dia membawa gelas yang terbuat dari bambu ditangannya.

"Siapa kamu?" tanyaku

Dia hanya memandangku dengan tatapan iba, tanpa menjawab pertanyaanku.

Apakah dia tidak mengerti bahasaku? Aku mencoba bertanya lagi kepadanya dengan menggunakan Bahasa Aryo, dia masih diam.

Lalu dia berbicara dengan bahasa yang tidak aku mengerti.

Dimana ini?

Dia menyodorkan minuman kepadaku. Aku bingung. Tapi dari wajahnya, seharusnya minuman ini bukan sesuatu yang beracun.

Aku meminumnya. Rasanya hangat. Aromanya semacam jahe.

Aku tidak tahu bagaimana ucapan terimakasih dalam bahasanya.

Pada hari kedua, aku mulai bisa berjalan. Walapun masih agak sakit, tapi luka-luka ini sudah mulai mengering.

Wanita itu merawatku dengan teliti. Kami tidak banyak berbicara karena tidak paham bahasa masing-masing. Tapi bahasa tubuh kami sudah cukup untuk saling memahami.

Dia sudah cukup tua, mungkin usianya sekitar enam puluh lima an. Tapi dia sangat cekatan dan kuat. Dia pernah memapahku yang bahkan memiliki tubuh lebih besar daripada tubuhnya. Dia menyebut dirinya Siyah. Paling tidak semacam itu yang terdengar di telingaku.

Aku tidak berani untuk kembali ke Batavia. Aku masih khawatir Tuan de Bollan masih mencariku.

Jika mengingat kejadian terakhir, aku merasa sangat jijik bertemu dia. Membayangkan dirinya menyentuhku sudah membuatku mual.

Aku harus kemana?

Aku juga tidak tahu dimana Mangkunegaran. Apakah itu dekat dengan Surakarta? Surakarta. Apakah Aryo ada disana?

Apakah Aryo mencariku?

Hari yang keempat aku kabur dari rumah de Bollan. Luka-lukaku sudah benar-benar sembuh. Aku membantu nenek Siyah di dapurnya. Bukan tugas yang mudah bagiku. Dapur yang sangat berasap. Mencipta jelaga di dinding bambu. Bahkan jika aku salah meniupnya seluruh mukaku akan lebih mengerikan dibanding hantu di film horor.

Sore itu bersama Nenek Siyah. Aku memegang tangannya untuk menyampaikan terimakasihku. Berkali-kali aku sampaikan bahwa aku akan ke Surakarta, ketika dia bertanya sesuatu. Aku sampaikan bahwa disana ada suamiku dan Papaku. Aku sudah tidak peduli dia paham atau tidak, tapi kita terus saling bicara.

Kita benar-benar rekan berbincang yang aneh. Aku tidak paham yang dia tanyakan dan bisa jadi aku juga mengatakan apa yang dia tidak paham. Andai saja ada google translate.

Aku mendengar ada seseorang berhenti didepan rumah. Nenek Siyah menarikku kedepan rumah. Seorang lelaki paruh baya diatas gerobak yang penuh dengan barang.

Nenek Siyah berbicara dengan lelaki itu, sambil sesekali menoleh kepadaku.

Lelaki itu mengangguk. Lalu Nenek Siyah mendorongku untuk naik ke gerobak. Duduk diantara barang-barang. Aku masih belum mengerti. Nenek memasangkan kain penutup kepala padaku. Dia masuk dan kembali dengan buntalan. Aku lihat ada bajuku yang lama didalamnya. Dia juga memberiku makanan yang dibungkusnya dengan daun jati.

Dia menepuk-tepuk tanganku.

Aku masih belum mengerti.

"Aku akan kemana?" tanyaku.

"Surakarta." jawab lelaki itu. "Bibi memintaku membawamu kesana."

Aku terkejut. Ada rasa yang membuncah di hatiku. Rasa bahagia yang luar biasa.

Aku peluk Nenek Siyah erat-erat. Dia menepuk-nepuk punggungku sambil mengangguk-angguk.

"Nenek, terimakasih." ucapku. Air mataku menitik karena terharu.

Aku bersyukur bertemu dengan orang sebaik itu di tempat asing ini.

Dan kami pun berangkat. Lelaki itu menyerahkan selimut tebal kepadaku.

"Ini, nanti pakailah jika terasa dingin. Aku tidak pernah masuk penginapan. Aku terbiasa tidur diatas gerobakku." lanjutnya

"Oh, iya. Terimakasih tuan." ucapku.

Syukurlah lelaki ini cukup bisa berbahasa Belanda.

"Kamu siapa?" tanyanya tanpa menoleh kepadaku yang posisinya meringkuk di belakangnya, dalam gerobaknya. "Kenapa Noni ada di rumah Bibi?"

"Aku lari dari orang jahat. Papaku mempercayakanku pada orang yang tidak baik. Aku lari untuk menemui Papaku, untuk mengadukan hal ini." kataku jujur. "Lalu aku sampai di rumah nenek."

"Ayah Noni ada di Surakarta?"

"Ada di Mangkunegaran. Tapi aku mempunyai kerabat di Surakarta, yang bisa mengantarku kesana." jelasku.

Dia mengangguk.

"Aku keponakan Bibi Siyah." katanya "Sudah dua hari yang lalu bibi memintaku untuk membawa Noni bersamaku, jika aku berangkat. Aku sering mengirim barang dari Batavia ke Yogyakarta."

"Oh.. iya."

Jadi jika ini era modern, dia semacam kurir atau jasa pengiriman. Ternyata profesi itu sudah lama ada.

"Aku tidak tahu bahasa yang kalian gunakan." kataku.

"Kami berbahasa Sunda. Apa Noni benar-benar tidak tahu?" tanyanya

"Aku belum lama di Ind.... disini."

Ah... hampir saja aku lupa, bahwa belum ada Indonesia di masa ini.

Gerobak itu ditarik kuda yang cukup kuat. Dalam dua hari kita sudah memasuki gerbang kota.

Dia mengarahkan gerobak itu ke kompleks perumahan kumpeni.

Aku segera memberitahunya bahwa kerabatku tidak tinggal di lingkungan ini. Aku memberitahukan arahnya.

Dia menatapku heran. Tapi kemudian tanpa bertanya dia melaju kearah yang kutunjuk.

Gapura rumah Aryo sudah tampak. Aku merasa sangat senang sekali.

"Apa Noni yakin, disini kerabat Noni tinggal?" tanyanya tidak percaya.

"Iya, betul. Disini." jawabku penuh semangat.

"Bukankah ini kediaman keluarga Hadiningrat?"

"Iya. Aku istri Aryo."

"Raden Mas Aryo?" dia tampak semakin tidak percaya. "Dia... dia.. " dia tampak terlalu syok untuk melanjutkan kata-katanya. "Noni tidak bercanda?"

"Apakah mukaku kelihatan seperti sedang bercanda?" tanyaku kesal

"Ah, ya, baiklah. Saya hanya mengantarkan sampai sini. Saya akan melanjutkan mengantar barang-barang ini." katanya.

"Tunggu!" seruku sebelum dia berbalik. "Tuan, saya sangat berterimakasih. Apakah saya bisa tahu nama tuan, dan dimana tuan tinggal? Agar aku bisa membalas kebaikan Tuan."

"Tidak perlu, Noni." katanya. "Noni sedang dalam kesulitan. Noni tidak perlu membalas kami apapun. Nanti Tuhan yang akan membalasnya. Mungkin melalui orang lain."

"Tuan!" seruku memanggilnya, saat dia terus berjalan meninggalkan aku. "Paling tidak beritahu aku nama Tuan!"

Dia hanya melambaikan tangannya dan naik ke gerobaknya dan melajunya menjauh.

Aku berbalik menatap gapura berwarna putih itu.

Apakah Aryo ada didalam? Jantungku segera berdebar membayangkan aku bakal bertemu dengannya. Aku yakin pipiku merona merah saat ini. Aku merindukannya.

Aku terus berjalan melewati halaman depannya yang cukup luas. Ada dua orang yang sedang menyapu. Mereka memandangiku dengan pandangan yang aneh.

Aku tidak peduli. Aku terus berjalan. Aku menaiki tangga rumah untuk masuk ke pendopo.

Beberapa orang sedang duduk bersila disana. Semua segera beralih pandang kearahku.

Aku berhenti.

Aku melihat pria pelayan yang dulu pernah kutemui.

"Mo!" seruku sambil melambaikan tanganku

Dia tampak terkejut melihatku. Begitu juga seisi pendopo.

Apakah aku melakukan kesalahan? Aku hanya menyapa seseorang yang pernah kukenal.

Tiba-tiba seseorang keluar dari dalam rumah.

"Ndara.. " Mo segera memberi hormat kepadanya

"Kau?!"

Maaf untuk keterlambatannya... karena sedang recurement...

Happy reading...

Nice_Dcreators' thoughts
Bab berikutnya