"Wah, filmnya keren banget tadi."
Ia tersenyum, diam-diam menahan tawa. "Kamu semangat banget sih," sindirnya.
Bagaimana tidak semangat? Sudah lama aku tak menonton film superhero sebagus itu. Biasanya, kalau aku diajak menonton film beginian sedari dulu hasilnya tetap saja hanya terasa seperti parade kamera dan efek-efek bagus. "Yah, untung kamu ajakin nonton sih- eh bentar."
"Kenapa?"
Nggak tahu, tiba-tiba saja ponselku bergetar hebat bak vibrator. Walah, notifikasi akun sosmed lupa dimatikan rupanya. Memang sih, aku terhitung rajin juga bolak-balik sosial media tapi hari ini tumben pesannya muncul bertubi-tubi.
Jadi, kubuka saja langsung ponselku dan tahu-tahu isi sosial media sedang ramai selagi kami tengah menonton tadi. "Duh, rame ribut-ribut apa lagi nih..."
"Mana? Ribut gimana, sih?" kubiarkan ia mengintip saat jempolku menyapu satu demi satu foto dan status-status sosmed tempatku dipanggil. Video kerusuhan, demo ini, demo itu, nan demo nai... "e-eh, apaan sih itu?" nan, demo, nai.
Lagi-lagi foto mingguan itu muncul. Rambut pendek, seragam kerja, dada besar, biru muda, ampun. "I-ini cuman gambar-gambaran anime aja sih," ampun, aku tak mampu menyembunyikan senyum meringisku yang khawatir luar biasa.
"Ooh," bagaimana tidak khawatir, coba? Segalanya kecuali warna biru yang terdapat dalam gambar itu seolah jiplakan dirinya di dunia maya. Dan 'ooh' itu delapan puluh persen terasa menghakimi meski mungkin saja hanya perasaanku saja. 'ooh, seleranya begini toh,' begitu kata senyum culasnya. Senyum culas tanda hal tidak baik.
"Ya, rambutnya kan juga sebahu. Beda sama kamu, gitu. Tapi ya, kamu..."
"Ah, masak gara-gara itu aja?" senyumnya tak hilang. Lama kelamaan kami ditinggal penonton lain yang seperti takut lewat jam malamnya. Di sini aku, mematung mengucap 'ah, eh, ah ,eh' seperti orang gagu. "Ahahaha, ya elah. Jangan serius juga, kali," langsung ia tergelak melihatku yang bertingkah lucu di matanya.
"Ya gimana enggak serius, coba," aku mengelap keringat dingin, "kukira kamu bakal tiba-tiba jijik jadinya kalau aku lihat gambar-gambar Anime beginian."
"Sini, hapenya coba," ia meminta, wajahnya kini jadi judes. "Y, ya jangan diapa-apain juga ya?" aku balik meminta saat menyodorkan ponselku ke tangannya.
Tak ada seorangpun di lorong itu yang melihatku terpaku kehabisan kata-kata. Bisa jadi pintu keluar darurat tutup pun aku tak sadar karena terlalu terpana. "Eh, jangan heran gitu juga kali sih," ia tertawa kecil saat ponsel itu kini terbaring di atas kemeja, maksudku, sepasang buah dada yang terbalut kemeja...
...dan seperti sengaja atau memang sengaja betulan, bagian atas kemejanya dibiarkan menyembul menjepit kerah blazer hitamnya yang terkancing hanya satu, "kaya aku nggak tahu komik yang lagi rame tantangannya ini. Hihi."
"Err, iya sih..."
"Ya udah, sini ambil," undangnya.
Baru saja aku mendekat untuk mengambil ponsel itu, tanganku yang sudah tersodor tiba-tiba diremasnya. "Duh! Kenapa, sih?"
"Bentar, deket dulu sini. Kepalamu, ayo."
Lantas, aku menurut saja,
Dan tiba-tiba bibirku terasa ada yang menempel basah meski hanya dalam sekejap mata, "tuh kan, gampang," lidahnya terjulur mengejek sebelum ia melirik ke sebuah lorong sepi yang satunya lagi di pertigaan koridor ini, "eh, toilet nggak ada yang jaga tuh, yuk."
Ponsel itu masih di atas dadanya saat senyum culas andalan itu terkembang lagi di wajahnya. Jika ponsel itu kuambil sekarang, apa yang akan terjadi di toilet nanti? Hanya kami berdua yang tahu.