webnovel

Potongan Kecil Sebuah Kenangan

Mereka terlihat senang dan kembali ke kamarnya. Penatku hilang saat melihat mereka.

"Wati, kenapa masakan Wendi lebih enak daripada masakan Syifa?" tanyaku heran.

Sebenarnya, masakan Syifa juga enak. Tapi aku tidak menyangka seorang laki - laki kecil itu memasak dengan rasa seperti seorang ahli. Aku bangga, karena aku sendiri bisa memasak masakan yang enak seperti seorang chef, hahaha.

Lihat saja, kapan - kapan aku akan membuatkan masakan yang memukau indra perasa kalian. Esok hari, saat jam pulang kerja aku cepat pulang.

"Aku pulang!" kataku sambil mengetuk pintu.

"Tunggu sebentar!" terdengar dari balik pintu seorang wanita dan membukanya, "Selamat datang! Sayang, sudah lama aku tidak melihat kau pulang cepat." dengan nada manja Lia mennghampiriku. Sudah lama sekali rasanya. Tidak melakukan ini. Pelukan ini.

Lia sudah 5 tahun lebih aku merindukannya. Kurasa ia juga merasakannya. Saat itu aku menghentikannya memelukku. Berbeda, masih ada rasa kecewaku padanya. Aku tidak ingin lama lama.

"Baiklah, aku akan segera ganti pakaian. Tapi sebelum itu, anak - anak! Dimana kalian? Ayah akan membuat masakan yang belum pernah kalian temukan sebelumnya!" aku berteriak sambil berjalan menuju dapur dan mencari persediaan makanan.

Saat itu aku membuat "Kue Sayur" lagi! Oh tidak! Ini membuatku bersemangat! Padahal aku sangat lelah pulang bekerja. Tapi, tidak apa - apa. Ini demi anak - anak.

Beberapa menit setelah memasak. Kira - kira 13 menit aku memasaknya. Aku selesai membuatnya. Terpikir olehku, "Terakhir kali, aku hanya membuat satu porsi. Kali ini, aku membuat 5 porsi. Satu untukku, istriku dan anak anak." dan kupanggil semua ke meja makan.

Namun, aku merasa masakanku itu sedikit berubah rasanya. Lia menatapku terus saat memakannya. Apakah ia juga sadar akan rasanya?

"Bagaimana menurut kalian?" tanyaku pada semua orang yang memakannya.

Lia hanya diam menatapku. Pasti dia juga menyadarinya! Aku yakin sekali.

Setelah selesai makan, aku meminta waktu khusus untuk membicarakan hal itu. Tidak penting bukan? Kalau kata orang lain bilang, "Buat apa membicarakan hal tidak penting seperti itu?"

"Lia, kenapa kau hanya diam saja melihatku dari tadi?" tanyaku serius padanya.

"Tidak, aku hanya merasa masakan kamu menjadi lebih nikmat dibandingkan sebelumnya. Seperti kau mencampurkan keinginanmu membahagiakan keluargamu" jelasnya membuatku heran seakan - akan selama ini aku tidak berniat membahagiakan mereka. Tidak mungkin juga kan, aku mengatakannya.

Bab berikutnya