webnovel

Ch. 26 Identitas Baru

#Rumah Pohon Aswa#

Sinar matahari masuk dari arah barat ke rumah pohon Aswa melalui jendela dan sela-sela dinding layar. Seberkas sinar menerpa rambut berwarna oranye Ningtyas. Menambah kesan anggun Ningtyas yang sedang mengenakan gaun putih.

Saat ini Ningtyas sedang asyik memainkan gadget pemberian Ketua Ansep. Ia terlihat mulai bergairah menjalani hidup.

*Gubrak!!!*

Tiba-tiba Yanda datang dan tidak sadarkan diri. Tubuhnya bersimbah darah!

Melihat itu Ningtyas langsung mengambil [Kain Keramat] dan membalurnya ke tubuh Yanda. Seperti itulah yang diarahkan Aswa.

Setelah menyeret tubuh Yanda ke tengah rumah, Ningtyas lantas memegang dan memandang [Kain Keramat]. Ningtyas baru mengerti, item inilah yang digunakan Aswa untuk menyelamatkan hidupnya.

Yanda mendapat perawatan dari Ningtyas. Selesai merawat Yanda, Ningtyas melanjutkan aktivitasnya yang sempat tertunda. Yaitu bermain gadget. Ningtas segera segera memeriksa akun game balapan Global Crash online miliknya. Pada game ini akun Ningtyas termasuk Top 100 Global Player.

"Tada..!!!" Belum sempat masuk ke dalam mode royal rumble, Ningtyas kembali dikejutkan dengan kehadiran Neo yang membawa sekarung makanan. "Lepaskan dulu gadgetmu itu. Kita makan-makan..." ujar Neo.

Segera duo Ningtyas dan Neo mengeluarkan isi karung dan menikmati makanan-makanan lezat.

....

"Uegh.... ueghh... bangm..." Godel muntah-muntah sambil bergumam mengumpat Neo.

Tanpa ada makanan di dalam perut, Godel memuntahkan cairan berwarna kuning. Staminanya langsung drop setelah berlari sambil membawa gardan mini bus.

Tanpa peduli lagi Godel berbaring di tanah. Merapal untaian kalimat untuk memulihkan ranah pikirannya yang saat ini ia gunakan untuk menstabilkan kondisi fisik. Godel betul-betul sangat kelelahan.

Ningtyas turun menemui Godel yang masih asyik berbaring sambil merapal. Ia meletakan sebotol air putih dan satu wadah nasi di sisi Godel. Sejurus kemudian Ningtyas kembali ke rumah pohon.

........

#Rumah Ayah Aswa#

Pukus dan Aswa berjalan mengikuti Jeon yang sedang menuju rumahnya. Aswa mengenakan jubah tertutup sehingga sulit dikenali. 

Tiba-tiba Aswa menghentikan langkahnya. Saat ini mereka berada tepat di depan rumah ayah Aswa.

Rumah ayah Aswa berada di Kelurahan Pelita, Kecamatan Samareand Ilir. Begitupun Jeon. Praktis saat Aswa mengikuti Jeon harus melalui rumah ayahnya sendiri.

"Huahahaha..." tawa terdengar cukup nyaring dari orang-orang yang duduk di teras rumah ayah Aswa.

Di teras rumah, Fidel, kakak Aswa sedang meminum minuman keras bersama teman-temannya. Aswa mengerti kesedihan kakaknya itu setelah ditinggal ayah tercinta.

"Apa yang direncanakan kakak?" pikir Aswa. "Kakak adalah orang yang penuh perhitungan dalam bertindak. Pasti ada sesuatu yang hendak ia lakukan hingga berperilaku seperti itu." Aswa jelas paham seluk beluk kakaknya itu yang sudah berpengalaman di dunia mata-mata gerakan iblis.

"Aswa ternyata beridiologi iblis, lhoo... Tiap hari Guild Cahaya datang mengamati rumah ayahnya."

"Tidak ku sangka seperti itu. Padahal mereka baik dalam bertetangga."

"Boleh jadi satu keluarga mereka beridiologi iblis."

"Alamaakk... Itu belum tentu. Tapi boleh jadi... Hahaha..."

Sayup-sayup Aswa mendengar tetangganya bergosip ria. Jika apa yang mereka bicarakan itu salah, maka dikatakan fitnah namanya. Namun jika benar, itu disebut ghibah.

"Mereka membicarakan tentangmu yang bukan-bukan..." bisik Pukus.

"Yah, salahku memang," ucap Aswa singkat.

"Apa...?! Mereka jelas-jelas melakukan hal nista! Kau malah menyalahkan diri sendiri?" Pukus mengerti jalan pikiran Aswa. Tapi jalan itu tidak ia senangi.

"Mereka tidak akan membicarakanku kalau aku tidak berbuat macam-macam. Tiada asap kalau tiada api. Biarkan saja." Aswa tidak terganggu dengan fakta yang digosipkan orang-orang.

Aswa memandang ke sekeliling. Ada tiga orang yang ia curigai. Dengan seksama ia melihat tanda-tanda  Tatoo anggota Guild Cahaya. Ia lalu bersembunyi dalam kegelapan.

Pukus melompat ke atas atap. Secepatnya ia kembali menemui Aswa seraya berkata, "Hanya tiga orang. Mereka berelemen petir. Walau usianya tidak jauh melebihimu, alangkah baiknya kita mengamati saja..."

Setelah mendapat informasi dari Pukus, Aswa bergegas menghampiri satu anggota Guild Cahaya.

*Sling...!*

"Agh..." Satu korban langsung tergeletak tanpa sempat berteriak. 

Ayunan parang Aswa yang berbalur racun jiwa membuat anggota Guild Cahaya mengalami halusinasi lalu tidak sadarkan diri. Dua anggota lain dilumpuhkan Aswa dengan mudah.

Aswa memang tidak memiliki pengalaman bertarung secara langsung yang mumpuni. Juga tidak pernah belajar seni bela diri dari perguruan silat manapun. Hanya saja pengetahuan berpedang yang ia dapat dalam mimpi 20 tahun menjadi kunci kemampuannya. Ia cuma perlu mempraktekkan apa yang ia dapat dalam mimpi.

Di dalam mimpi itu Aswa memahami seni berpedang tingkat tinggi yang bukan terletak pada tekat pantang menyerah. Tetapi pada pengakuan kepada diri sendiri. Bersikap lurus, jujur dan berserah diri pada Zat Maha Tinggi.

Usai  melakukan serangan. Aswa kembali menemui Pukus. 

Aswa melihat ada yang aneh dari Pukus. Tubuh hijaunya sempat berganti warna menjadi merah menyala. Walau hanya sekejap saja.

"Sudah aman. Ayo kita kembali ke rumah pohon," ujar Aswa.

"Bagaimana Jeon kembali ke rumah pohon nanti?" tanya Pukus.

Aswa menjawab, "Jeon tidak perlu datang. Kita nanti gunakan aplikasi video confrence pemberian Sekte Kelopak Anggrek Putih."

"Oke... Lanjut!" Pukus berseru.

*Nyooott..!* Aswa meremas congor Pukus.

"Jangan berteriak, P-A!"

........

#Kamar Jeon#

"Hah... Capek bet." Jeon mengelus punggung tangannya yang sakit. Pukulan ke tubuh Aswa cukup memberikannya sedikit kerusakan.

Sambil berbaring Jeon membuka situs Quest4You untuk mencari misi yang sesuai dengan arahan Aswa. Selain uang, banyak hadiah lain yang ditawarkan dalam quest. Ini salah satu alternatif untuk menghidupi Squad. Bahkan sebuah Guild!

*Tok..! Tok..! Tok..!* "Jeon... Lagi tidur siang?" ujar Ibu Jeon di balik pintu kamar.

"Iya bu..." jawab Jeon.

"Nah... Itu! Kalau kau jawab berarti kau belum tidur. Cepat tidur!" bentak Ibu Jeon.

"Groookkk... Ini aku lagi tidur, bu... Jangan diganggu!"

"Ya, Sudah..." Ibu Jeon segera pergi.

[Misi Harian: Mengumpulkan Tanduk Ayam. Hadiah: 2 Rupiah per tanduk] "Misi apaan ini? Mereka pikir pekerjaan Squad berternak ayam!" bentak Jeon dalam hati.

"Banyak misi bagus. Tapi kenapa Aswa meminta yang berkaitan dengan binatang spiritual?" Jeon bergumam. Ia lalu membuka kata kunci binatang spiritual. "Yang ini bagus juga."

 Jeon membaca deskripsi salah satu misi sambil berkata, "[Menangkap Monster Cicak] kliiik... monster kecil ini membuat penghuni rumahnya pergi. Sampai sekarang tidak ada yang mengambil misi ini. Oh, baru diupload pagi tadi. Hadiahnya seribu rupiah! Gak salah nih? Pasti banyak yang naksir. Ah, daftar aja dulu."

Penat berbaring, Jeon mengubah posisi tidurnya. "Nah, quest yang satu ini kelihatan mudah. [Misi Mengawal Ekspedisi Bekantan Bulu Emas] hadiahnya 10.000 Rupiah per Squad. Gilaa... banyak betul! Dibutuhkan hanya lima squad. Daftar gak ya? Aduh... ketekan. Biarlah..."

Setelah melempar gadget ke sisinya, Jeon memiringkan tubuh lalu mulai memejamkan mata. Beberapa detik berikutnya ia tertidur lelap.

.....

#Rumah Pohon Aswa#

Ada pemandangan yang tidak biasa terjadi di rumah pohon Aswa. Selain Godel, Neo, Aswa, Ningtyas dan Pukus, di ruangan 4x4 meter itu hadir pula Ketua Ansep dan sisa jiwa Scarlet Nata Prahara Pipit Ungu.

Nata Prahara adalah kakek dari ayah Ningtyas. Di Benua Baru oleh cicit-cicitnya Nata Prahara dipanggil Datuk.

Scarlet Nata Prahara terlihat sangat gembira melihat keturunan langsungnya dalam keadaan sehat. Tanpa kurang sedikitpun. Begitupun Ningtyas. Walau berbeda pandangan hidup, Ningtyas sangat menyayangi datuknya itu.

Di ruangan yang sama, setelah mengenakan [Kain Keramat], kondisi fisik Godel kembali prima. Bahkan ia sedang makan saat ini. Hanya saja matanya terus melotot ke arah Neo. "Si Goblok ini ku doakan agar cepat mati!"

"Tidak baik mengutuk di meja makan," ujar Ketua Ansep.

"Betul! Biar semua keburukan dilimpahkan kepadanya!" Godel tidak bergeming sedikitpun setelah ditegur Ketua Ansep. Malah semakin menjadi.

Dicaci maki Godel, Neo cengar-cengir sendirian. Neo tidak terganggu dengan ocehan Godel. Barang sedikitpun.

Ketua Ansep hanya mengernyitkan dahi. Ia paham perangai para pemuda yang tengah mencari jati diri. Tentu saja ia maklum.

Ketua Ansep lalu menyatakan maksud kedatangan mereka ke rumah pohon. "Sebelumnya saya minta maaf karena tidak mengkonfirmasi terlebih dahulu untuk datang kemari jadi..." Aswa langsung menyentuh punggung tangan Ketua Ansep. "Oh, Ketua tidak perlu terlalu formal. Walaupun ini tempat rahasia, tapi kedatangan Ketua dan datuknya Ning akan tetap kami terima disini," ujar Aswa yang mencoba mencairkan kekakuan. Hal ini bisa menjadi jurang dalam melakukan komunikasi.

"Tapi..." Ketua Ansep sedikit canggung. Aswa kembali melanjutkan dengan nada bercanda, "Ketua memang tidak sopan mengikuti orang. Bahkan datang tanpa diundang. Itu kepo namanya... Hehehe..." 

"Hehehe... Ku akui kau pandai menghadapi orang tua sepertiku. Terima kasih sudah mau menerima kami. Tujuan utama kami tentu saja untuk menemui Ningtyas. Kepala Keluarga Pipit Ungu sangat rindu padanya," ujar Ketua Ansep.

"Ku mohon jangan sebut jabatan itu, Ketua Ansep," Nata Prahara mencoba mengoreksi.

Ketua Ansep lalu tertunduk, "Maafkan saya, senior. Saya tidak bermaksud..."

Nata Prahara melambaikan tangan. "Cukup. Aku tidak pantas menyandang jabatan itu. Aku telah gagal melindungi keluargaku." Suasana menjadi hening seketika. Ia lalu melanjutkan, "Namun, yang masih membuatku bersyukur. Bahkan gembira. Yaitu, keturunanku akan menjadi bagian dari era baru. Era di mana semua orang dapat hidup berdampingan. Hehehe... lanjutkan pembicaraan kalian. Aku masih rindu dengan cicitku. Hehehe..."

......

#Kamar Jeon#

Puas tidur hingga membuang air liur, Jeon akhirnya terbangun.

*Slurrpp...* dengan sekali sedutan, air liur yang mengalir di pipi Jeon kembali ke dalam mulutnya.

"Hooaaamm... Nikmatnyaa..." Jeon merenggangkan tubuhnya untuk menghilangkan penat setelah tidur pulas. Hampir tiga jam waktu yang digunakan Jeon untuk tidur siang. "Ah, gadget..." ia lalu mengambil gadget miliknya yang sedari tadi berada di samping.

Di zaman ini kebiasaan memeriksa gadget setelah bangun tidur sudah mendarah daging. Budaya yang sulit dihilangkan.

"Bangun tidur ku terus mandi... sering lupa menggosok gigi... habis..." sambil bernyanyi Jeon mengambil handuk dan pergi ke kamar mandi. Sepintas ia melihat buku pemberian Aswa tergeletak di meja belajar. Akan tetapi cover buatan Aswa tidak menarik minatnya untuk membaca.

Setelah mandi Jeon kembali ke kamar. Buku pemberian Aswa masih tergeletak di atas meja. Tetapi lagi-lagi Jeon tidak tertarik memungutnya walau ia jelas melihat buku tersebut. Segera ia mengenakan pakaian hingga akhirnya ia benar-benar meninggalkan ruangan.

Sikap Jeon ini menandakan ketidak-tertarikannya terhadap buku karangan Aswa. Jeon bahkan terkesan meremehkan Aswa. Maklum, Aswa tidak memiliki bakat seni bela diri di mata Jeon. Baik secara fisik maupun rohani. Pada titik ini Jeon masih belum sadar kehebatan Aswa dalam memahami seni bela diri dan olah tenaga dalam melebihi orang lain.

.......

#Rumah Pohon Aswa#

"Selain ingin bertemu Ningtyas, kami juga bermaksud untuk memberikan identitas baru kepada Ningtyas," ujar Ketua Ansep.

"Oh..." Aswa berseru. Lalu mengangguk tanda paham.

Ketua Ansep menyerahkan dokumen kepada Aswa. "Nama Ningtyas sekarang menjadi Neng Mawar."

"Nama 'Neng' sama seperti yang Neo daftarkan ke dalam squad. Apakah ini sebuah kebetulan? Di antara kami, hanya Ning yang masih ditangguhkan karena belum menyetor barcode identitas." Aswa sedikit kebingungan. "Si Neo ini menulis nama Ning saja bisa salah. Malah menulis 'Neng'. Hadeh... parah-parah." Sambil tersenyum ke arah Neo Aswa menggelengkan kepala.

"Oleh karena itu kami mencari nama Neng. Kami lalu menemukan identitas nganggur, Neng Mawar. Anak penganut ideologi iblis kroco yang tidak dipedulikan pemerintah. Neng Mawar sekarang bekerja di cabang sekte. Mulai dari sekarang Ningtyas harus mengenakan topeng ini." Ketua Ansep memberikan topeng penutup mata. "Topeng ini adalah sebuah item yang membuat kemampuan berfikir pemakainya meningkat 10 persen," lanjut Ketua Ansep.

"Buset..! item mahal itu..." Yanda terperanjat melihat topeng yang dikenakan Ningtyas.

"Tentu tidak semahal nyawa cicitku. Terima kasih kalian sudah mau berteman dan menjaganya. Maaf merepotkan kalian," balas Nata Prahara.

Godel lalu berkomentar seraya melirik Aswa, "Jika mahal, ya setidaknya ada kompensasi buat kami. Ku harap kau tau kami mempertaruhkan nyawa untuk menyelamatkannya."

"Kalian minta apa? Katakanlah, Nak," ujar Nata Prahara.

Aswa langsung berdiri dan menunjuk wajah Godel. "Jangan bersikap tidak sopan seperti itu! Kemarin jelas-jelas kau tidak ada niat menyelamatkan Ning."

"Si Bodoh! Perlukah kau mengatakan itu?" Godel tidak menyangka Aswa berkata yang sebenarnya. "Jika tidak ada aku, kalian tidak akan sampai ke sana dengan selamat!"

"Oh! Kalau begitu biarlah kita minta kompensasi dengan keluarga Pipit Ungu. Hehehe..." ujar Aswa, cengengesan.

Ketua Ansep tertunduk lesu sambil memukul wajahnya sendiri. "Kalian ini bicara apa? Sungguh memalukan!"

........

#Kamar Jeon#

Hari sudah gelap. Jeon kembali masuk ke dalam kamarnya. Ia sempat melirik buku karangan Aswa. Oleh karena tidak tertarik dengan buku itu, Jeon memilih berbaring di atas ranjang. Sejurus kemudian ia membuka gadget miliknya.

"Aswa menyuruhku membuka situs filsafatleak... Aduh... Malasnya..." Jeon membatin. Walau malas, Jeon tetap membuka situs itu.

"Kata Aswa, artikel dalam situs itu dapat membantu memahami alam. Postingannya sangat banyak. Wajar memang usia situs ini sudah lebih dari seratus tahun. Kalau begini aku malah jadi tambah malas," pikir Jeon.

"Jika ada yang kau bingungkan, tanyakan padaku." Kata-kata Aswa terngiang di benak Jeon. Ia lalu bangun dari tempat tidur. "Oh, aku mengerti. Aswa bermaksud membantuku mengembangkan seni bela diriku. Membaca seluruh isi dalam situs ini sungguh tidak mungkin aku lakukan. Dia... Wajar memang Aswa digosipkan cerdas. Bahkan diangkat jadi guru pelajaran umum. Tapi kenapa kemampuan seni bela dirinya tidak menonjol? Apa mungkin dia pura-pura lemah?"

Jeon segera mengambil buku karangan Aswa. Hard cover yang polos pada buku itu memang tidak menarik perhatian Jeon sehingga ia menganggap Aswa hanya bertindak bodoh.

Setelah hard cover buku dibuka Jeon, terpampang tiga buah huruf kapital yang diketik secara diagonal: B, S dan M. Di bawah tiga huruf itu tertulis: Zat Suci yang Maha Mengasihi dan Maha Menyayangi.

"Aaaghh...." Jeon mengerang kesakitan. Seolah tubuhnya hendak meledak. Cahaya biru cyan menyelimuti tubuhnya.

Seketika Jeon membuka matanya. "Aku menembus ranah cyan hanya dengan membaca covernya saja? Aswa... kok bisa?"

.....

Bab berikutnya