webnovel

REDCON 7 - Meeting the Princess

Losing him was blue like I'd never known

Missing him was dark grey all alone

Forgetting him was like trying to know somebody you never met

But loving him was red

(Re-e-e-ed, re-e-e-ed)

(Re-e-e-ed, re-e-e-ed)

Loving him was red

Dengan suara yang tak karuan seolah meniru Taylor Swift, aku dan Muse bernyanyi. Tentu saja, ini menimbulkan gelak tawa bagi yang lain.

Muse menghebuskan nafas panjang sebelum berseru.

"Ohhh! Saat klub musik kami tampil waktu festival sekolah, penampilan kami benar-benar kacau sampai-sampai aku merasa penonton ingin melempari kami dengan tomat! Iya kan, Wand?"

Aku menjawab teman masa kecilku dengan sebuah seringaian, sambil mengingat kembali masa SMA kami yang sangat menyenangkan. Ketua klub musik ringan meminta tolong agar kami ikutperform karena mereka kekurangan anggota. Aku sudah bilang padanya untuk tidak menjadikan Muse sebagai vokalis tapi dia tidak mendengarkanku, dan saat di atas panggung aku juga harus merangkap menjadibackup vokalis karena Muse kerap lupa lirik, menyebabkanku untuk melewatkan beberapanote. Yah, setidaknya nggak kacau-kacau amatsih.

Setelah berkelana melewati Hutan Tenebris selama kurang lebih beberapa hari, kami akhirnya tiba di tujuan kami: ibukota dari Kerajaan Finia, New Verdannia.

Kata Jeanne, kota ini baru berdiri 8 tahun yang lalu dan sejak saat itu sudah menjadi salah satu pusat perniagaan di Benua Uressea bagian selatan. Nama New Verdannia berasal dari nama sebuah Duchy yang runtuh saat Perang Sepuluh Tahun. Saat aku menanyainya tentang Duchy ini, dia hanya diam saja dan tersenyum sedih. Mungkin, ada hubungan dengan masa lalunya itu.

Seperti kota abad pertengahan lainnya, New Verdannia dikelilingi oleh tembok-tembok tinggi nan tebal, lengkap dengan meriam dan balista.

"Hah! Bagus sekali, sekarang kita terjebak macet."

Aku paham mengapa Muse menggerutu lagi. Kami terjebak dalam antrian panjang saat mau masuk ke kota.

"Diam,Yankee!"

Seruan Blade membuat Muse mendengus kesal. Aku menggunakan teropongku untuk melihat apa yang terjadi di depan. Tepat di depan gerbang kota ada sekelompok penjaga berseragam ksatria menggeledah isi gerobak dan kereta yang ingin masuk ke sana. Pengelana dan petualang juga mendapat perlakuan yang sama. Bahkan setelah menjalani pemeriksaan, beberapa di antara mereka juga disuruh mengisi formulir.

"Apa pemeriksaan memang lama seperti ini?" Kalau memang iya, sepertinya pasukan penjaga perlu mengganti strategi mereka.

"Aku tidak tahu...ini pertama kalinya penjagaannya seketat ini," Jawaban Jeanne membuatku sedikit terkejut.

Kami menunggu sangat lama, mungkin sampai 3 jam. Air minum dicamel pack-ku hampir habis aku minum. Panas matahari yang begitu terik membuatku haus.

Akhirnya kami sampai di depan pintu gerbang, dan tanpa pikir panjang salah satu penjaga itu menyetop kami. Berbeda dengan penjaga yang lain, ia memiliki telinga dan ekor seperti seekor singa. Perawakannya tinggi dan besar, bahkan melebihi tinggi Blade yang merupakan orang tertinggi di kelompok kami. Surai coklat menutupi wajahnya yang menyerupai manusia. Ia juga memiliki mata kanan berwarna kuning sementara mata kirinya ditutupi oleh penutup mata, menambah kesan seram.

Jeanne langsung membentaknya.

"Leon, ada apa ini?! Kenapa kalian menghentikan orang-orang yang mau masuk kota?"

Aku terkejut gadis manis seperti Jeanne memiliki aura kepemimpinan yang kuat. Setelah ia mengenali wajah Jeanne, penjaga bernama Leon itu langsung menunduk hormat.

"M-mohon maaf, Kapten Pitts! Ini adalah perintah langsung Tuan Putri Tiara dan Komandan Montez sebagai tindak lanjut atas penyelundupan Narkoba ke dalam kota yang semakin menjadi-jadi. Karena itu-"

Sebuah teriakan penjaga mengalihkan perhatian kami.

"Oi! Hentikan dia!"

Seorang pria berusaha melarikan diri dari kejaran seorang penjaga. Saat pria itu berlari melewatiku, aku langsung menjegalnya. Dia tersandung ke tanah sebelum penjaga yang mengejarnya menjatuhkan tubuhnya di atas pria itu.

"Tertangkap kau!"

"A-aku tidak bersalah! Aku tidak membawa barang terlarang apapun!"

Pria itu terus meronta dan melawan, walaupun seorang penjaga menduduki punggungnya. Percuma dia bilang itu setelah penjaga lain, seorang pemuda yang memiliki telinga dan ekor anjing merogoh seluruh isi pakaian pria itu, termasuk celana dalamnya sebelum yang lain mengikat tangan pria itu.

"Ya! Katakan itu di depan hakim nanti!"

Setelah penjaga lain menyeret pria itu pergi, penjaga setengah anjing itu mengendus sebuah botol yang ia dapat dari celana dalam pria tadi dan menunjukannya pada Leon.

"Kesatria De Rais...Opium," Leon membuka botol itu dan mengeluarkan isinya. Sebuah benda berbentuk tablet besar yang dibungkus rapi dengan kertas. "Sepertinya diproduksi secara ilegal. Tidak ada cap atau izin apapun di botol ini."

Pria bertelinga singa itu memasukan kembali tablet opium itu dan menyerahkan botolnya pada pemuda setengah anjing itu.

"Baiklah, kerja bagus, Squire Wilbur! Serahkan barang bukti pada divisi investigasi. Biar mereka yang urus sisanya."

"Laksanakan!"

Pemuda itu menunduk hormat sebelum berlari dan menghilang ke dalam gerbang kota. Leon mendesah dan menoleh Jeanne.

"Anda lihat, Kapten?"

Dia menatap Blade, aku, dan Muse dengan curiga.

"Dan orang - orang mencurigakan itu...apakah mereka punya identitas?"

Aku sempat tegang sesaat. Kami tidak membawa tanda identitas apapun, termasuk dog tag yang

kami lepas saat di pesawat. Itu supaya bila kami tewas, mayat kami harus tidak bisa diidentifikasi.

"Aku dan Inspektur Lightheart menjamin identitas mereka bertiga," Jawab Jeanne dengan tegas. "Mereka akan bersama kami untuk sementara waktu. Mereka juga ingin menemui Tuan Putri. Ini penting."

Leon mengangguk.

"Aku mengerti, tapi kami harus tetap memeriksa barang bawaan mereka. Maaf, ini prosedur standar."

"Baiklah," Blade langsung menyerahkan tas ranselnya pada Leon. "Lakukan saja."

"Terima kasih atas kerjasamanya."

Beberapa penjaga kemudian membuka tas kamu dan memeriksa isinya. Aku mengawasi mereka agar tidak merusak barang bawaanku.

Aku melirik ke arah Muse. Sepertinya salah satu penjaga menemukan sesuatu di kantong rompi Muse. Itu sebuah botol kecil berisi puluhan tablet. Penjaga itu berusaha membukanya, tapi sepertinya ia mengalami kesulitan sebelum akhirnya menyerah. Dengan nafas terengah-engah ia bertanya.

"A-apa isinya?"

"Ripped Fuel , sejenis...ramuan penguat. Tidak berbahaya."

Penjaga itu mengangguk dan mengembalikannya. Muse hanya menghela lega dan berjalan pergi.

"Dan benda berbentuk pipa ini? Apakah itu tongkat sihir?" Tanya penjaga lain sambil mengelus tabung peluncur roket M72 di punggung pemuda Amerika itu.

"Benar," Muse berbohong. Memang lebih baik seperti itu agar urusannya lebih cepat.

Sementara itu, penjaga gerbang lainnya menunjuk holster di paha Blade.

"Apa itu di pahamu?"

"Ohh," Blade mengeluarkan pistol USP-nya dari holster dan memperlihatkan pada penjaga itu. "Flintlock."

Secara teknis, dia tidak bohong sih....

Mereka kemudian menyuruh kami untuk menuliskan nama kami di sebuah buku catatan. Tentu saja, kami bertiga menulis nama palsu. Pelatihku sempat bilang, kalau aku memberi tahu orang lain nama asli aku, aku sudah gagal dalam misi

"Kohei Hirasawa, hah?" Tanya Blade dengan nada setengah mengejek.

"Uhum. Kapten sendiri?"

"Chuck Norris."

Aku hanya bisa menatapnya dengan terkejut. Sang Kapten menatap ke arah Muse yang menundukkan kepalanya sambil memasukan tangannya ke dalam kantong.

"Bagaimana denganmu, Muse?"

Senyuman jahil Muse semakin menjadi-jadi.

"Uvuvwevwevwe Onyetenyewe Ugwemubwem Ossas."

Kami berdua hanya terdiam seribu bahasa sampai penjaga kota memberi kami izin masuk.

Setelah beberapa langkah melewati gerbang, aku dapat melihat isi kota New Verdannia yang tersembunyi di balik tembok.

Aku langsung terpesona akan keindahan kota ini. Banyak bangunan memiliki arsitektur megah era rennaissance. Taman-taman di sini juga menambahkan kesan segar pada kota ini. Jeanne dan Elisa memandu kami ke pusat kota.

Aku dapat melihat isi kota ini lebih jelas dari sebelumnya. Semakin banyak bangunan menarik berdiri kokoh. Walaupun sebuah kota padat penduduk, aku hampir tak mencium bau polusi udara di sini. Sangat berbeda dengan Tokyo. Benar-benar seperti sebuah ibukota kerajaan di dunia fantasi. Kakiku yang menapak pada jalanan batu rasanya ingin berlari mengelilingi kota ini.

Mungkin aku sedikit kekanak-kanakan, tapi itu karena ini pertama kalinya aku ke tempat seperti ini.

Saat sedang berjalan-jalan, kami menyeberang sebuah kanal melalui jembatan. Aku melihat beberapa makhluk Humanoid berbagai ras berjalan kesana-kemari. Di pinggir kanal pun aku melihat seorang manusia kadal memancing bersama seorang Elf dan manusia di sampingnya.

"Apakah di setiap kota seperti ini pemandangannya? Maksudku, apakah setiap kota memberi jalan masuk untuk semua makhluk Humanoid?"

Jeanne menjawab pertanyaanku dengan panjang lebar.

"Tidak semua. Hanya kota-kota di Kerajaan Finia saja yang menerima semua jenis ras. Itu semua karena raja kami, Yang Mulai Richard membenci rasisme dan mengklaim bahwa negara ini dibangun oleh berbagai ras makhluk hidup. Karena itulah, banyak ras yang ditolak di negara lain di terima di sini."

Muse sepertinya juga terpesona saat kami melihat sebuah taman besar yang asri di tengah kota.

"Rajamu itu pasti orang yang baik ya?"

Elisa mengangguk dengan bangga.

"Benar. Karena itulah semua orang hormat padanya. Dia juga membuat peraturan yang menjamin kebebasan berpendapat, melarang perbudakan, dan membatasi kekuasaan bangsawan. Tentu saja, itu menyebabkan perang saudara selama beberapa tahun. Walaupun beliau membenci perang dan kekerasan, beliau adalah jenderal yang hebat dan selalu berusaha untuk memperpendek perang bagaimanapun caranya."

Bagus mereka sudah tahu tentang kebebasan berpendapat, jadi Mamarika tak perlu berkeliling di negara ini menyebarkan DEMOKRASI dan KEBEBASAN.

Jeanne melanjutkan cerita Elisa, aku menyadari perubahan ekspresi wajah mereka menjadi murung. "Tapi sekarang, Yang Mulia Richard terjangkit penyakit aneh yang membuatnya lumpuh dan tertidur dalam waktu lama. Banyak yang bilang beliau dikutuk oleh arwah para bangwasan yang terbunuh saat perang saudara. Karena hal itu, Putri Tiara, anak beliau satu-satunya dinobatkan sebagai pemimpin negeri ini."

Aku mengangguk perlahan.

"Aku mengerti."

Selama perjalanan, kami bertanya banyak hal pada Jeanne dan Elisa. Mereka dengan senang hati menjawabnya. Aku sedikit memilah kata-kata agar tidak menyinggung mereka, mengingat kondisi Finia yang kurang baik saat ini. Aku sempat bertanya seperti apa Tuan Putri itu, namun mereka bersikukuh kami harus melihatnya secara langsung.

Kami akhirnya sampai di sebuah bangunan paling besar dan paling megah di kota ini, yang tak lain dan tak bukan adalah istana raja.

Setelah melihat Jeanne, penjaga di atas gerbang kastil membukakan pintu untuk kami. Sepertinya, ia adalah orang yang cukup berpengaruh walaupun aku tidak tahu kedudukannya.

Aku dan kedua rekanku ternganga saat melihat koridor. Kami seperti melihat surga itu sendiri. Seluruh isi istana ini seperti berkilauan, termasuk karpet, dinding, dan langit-langit. Hampir di semua tempat terdapat dekorasi mewah yang mungkin dapat membuat ratu Inggris iri.

Jeanne kemudian menuntun kami ke sebuah ruangan. Ada 2 orang penjaga menyilangkan tombak mereka seperti pintu masuk. Mereka kemudian membukakan jalan untuk kami, walaupun dari ekspresi mereka aku merasa mereka curiga pada kami bertiga.

Di ruangan tersebut sangat sedikit terdapat benda, hanya sebuah kursi yang terdapat di ujung ruangan dan banyak dekorasi ruangan. Ruangan ini juga sangat sepi. Selain kami berlima, ada seseorang yang duduk di kursi tersebut dan dua penjaga berdiri di antaranya.Yeah, no shit sherlock. Tempat ini adalah ruang takhta.

Bicara tentang orang yang duduk di takhta itu, ia adalah seorang gadis yang kemungkinan sebaya denganku. Ia memiliki rambut putih panjang sepunggung yang terlihat seperti cahaya rembulan di malam hari. Mata violet berbinar itu mengingatkanku pada kakakku. Kurasa setelah berminggu-minggu di sini, aku mulai merindukannya.

Gadis itu memakai gaun putih panjang layaknya seorang tuan putri dan tentu saja, sebuah mahkota. Dibandingkan Jeanne dan Elisa yang merupakan petarung berpengalaman, gadis itu terlihat sangat rapuh.

Tak salah lagi, dia adalah Putri Tiara.

Kami berhenti setelah Jeanne dan Elisa berhenti beberapa langkah dari kursi takhta itu.

"Selamat datang."

Sementara Jeanne dan Elisa berlutut di depannya, kami hanya berdiri terdiam sampai Blade memberi aba-aba.

"Siap, gerak!"

Kami langsung merapatkan kaki dan berdiri tegak, sebagai bentuk penghormatan terhadap 'Panglima Tertinggi' negara asing.

"Aku mengerti...jadi anda sekalian benar-benar akan datang kemari seperti yang dikatakan ramalan itu. Aku, Putri Mahkota Kerajaan Finia menyambut kedatangan kalian! Terima kasih banyak...Wahai para ksatria."

.

.

.

..

.....

......

..........

"The fuck?"