webnovel

Great War Records 18 -Perempuan dengan lumpur gelap di tubuhnya II

Hari berikutnya. Di bawah paparan matahari terik di musim panas, Ibukota Kerajaan Felixia, Millia, terlihat ramai lalu-lalang penduduknya di jalanan utama. Sebab pengaruh salah satu perjanjian dari Konferensi Keempat Negeri, dalam keramaian terlihat beberapa Demi-human dari kekaisaran dan orang-orang berkulit gelap dari kerajaan lain yang ikut membaur dalam keramaian kota.

Millia masuk dalam daerah pasar bebas yang disetujui oleh Keempat Negeri, karena itulah kegiatan ekspor impor Sumber Daya Alam dan Sumber Daya Manusia menjadi kegiatan pokok perekonomian kota. Tidak ada pembendaan perlakuan antara pedagang atau orang dari luar Kerajaan Felixia, asal mereka memiliki visa—izin masuk negeri sesuai dengan keperluan, mereka tidak akan dipermasalahkan selama menaati peraturan yang ada.

Daerah pasar penuh sesak, beberapa gerobak pedagang memenuhi jalan utama dengan kepadatan yang terpusat. Ada sedikit perbedaan yang dapat dilihat dengan jelas antara penduduk asli Kerajaan Felixia dan yang bukan. Penduduk asli cenderung tidak membawa sesuatu yang khusus saat bepergian, tetapi penduduk luar kerajaan mengenakan sebuah gelang sebagai tanda berkunjung dan telah membayar visa.

Di antara keramaian, terlihat Dart dan Mavis berjalan-jalan di pasar dengan mengenakan jubah biru gelap untuk menyembunyikan wajah. Mereka mampir ke kedai, tokoh, dan beberapa warung untuk sejenak melihat-lihat. Meski darah bangsawan mengalir dalam diri Dart, pria itu sama sekali tidak enggan untuk berdesakan dalam keramaian dan tempat penuh debu itu dengan istrinya.

"Dart, mampir ke situ yuk!" ucap Mavis seraya menunjuk toko roti di pinggir jalan. Ia melangkah tiga kali mendahului Dart, llau berputar menghadap suaminya dan tersenyum lepas.

Meski ekspresi wanita itu terlihat datar, Dart sangat tahu kalau Mavis menikmati kencannya. Sejak pertama kali menikah, mereka berdua baru merasakan sesuatu seperti keluar bersama dengan suasana baru seperti sekarang. Mavis menggandeng Dart, lalu menariknya menuju toko roti. Senyum tidak bisa lepas dari wajah kedua orang itu, dipenuhi kebahagiaan yang meluap-luap.

Mengawasi dari kejauhan dan bersembunyi dalam keramaian, Fiola dan Julia memasang wajah sedikit cemas. Mereka pura-pura sedang memilih apel pada warung yang tidak jauh dari Dart dan Mavis, tetapi mata kedua Demi-human tersebut terus tertuju pada toko yang dimasuki pasangan pahlawan tersebut.

"Semoga saja semuanya berjalan lancar .... Sebelum Tuan Dart kembali ke daerahnya minggu depan, hubungan mereka paling tidak haru lebih baik. Kalau tidak, bisa-bisa mereka hidup dengan suasana canggung," benak Fiola.

"Serasi sekali Tuan Dart dan Nyonya Mavis," benak Julia.

Kencan yang Dart dan Mavis lakukan sekarang adalah saran dari Fiola, dan didukung keuangannya oleh Raja Gaiel yang mendengar saran Huli Jing tersebut. Karena istana kerajaan sedang kedatangan tamu-tamu penting dari negeri tetangga, dengan alasan supaya tidak mengganggu rapat, Mavis dan Dart diminta Raja Gaiel untuk pergi keluar dulu seperti sekarang.

Di dalam toko roti, Mavis langsung memesan beberapa Roti Bagel bertabur kismis untuk dibungkus, sedangkan Dart memesan Roti Croissant berisi daging panggang. Manis dan gurih, selera kedua orang itu sangatlah berbeda. Selesai memesan, mereka masing-masing membawa kantung kertas berisi roti dalam jumlah cukup banyak.

Keluar dari toko, Mavis dan Dart sesaat terdiam memikirkan tempat yang enak untuk menikmati roti. "Bagaimana kalau ke taman kota? Di sana sepertinya enak?" saran Dart. Mavis sedikit tersentak kaget mendengar itu, kenangan buruk membuatnya sedikit berkeringat dingin.

"Ba-Bagaimana kalau di dekat Danau Millia saja? Di sana pemandangannya indah, pasti cocok menikmati roti hangat ini di sana," ucap Mavis dengan nada sedikit kaku.

"Hmm, tapi lumayan jauh loh. Rotinya sudah dingin saat kita sampai ...."

Mavis semakin gelisah, ia terlihat benar-benar tidak ingin pergi ke taman. Sadar akan gelagat istrinya, pria berambut kucir panjang itu tersenyum kecil. "Baiklah, ayo kita pergi ke danau!" ucap Dart seraya berlutut dan menawarkan punggungnya.

Mavis tahu apa maksud pria itu, segera ia mengambil kantong milik Dart seraya berkata, "Biar aku yang bawa."

Gendong pada Dart dengan erat, Mavis baru sadar kalau punggung pria yang dicintainya itu sedikit berbeda dari yang dirinya tahu. Lebar, hangat, dan memberi ketenangan. Ia memeluk dengan erat dan sejenak memejamkan matanya dengan penuh rasa senang di atas punggung Dart.

"Pegangan yang erat, jangan sampai jatuh ... rotinya."

"Kok malah khawatir sama roti sih?! Aku nya gimana?"

"Hmm, kalau kamu sudah pasti akan aku jaga."

"Menggombal?" ucap Mavis dengan nada sedikit merajuk. "Pasti disuruh si Raja Gaiel, bukan?" lanjutnya seraya tersenyum tipis.

"Ya ..., gak juga sih ...."

"Udah, ayo cepat! Keburu dingin rotinya."

"Ya, ya ...."

Dart memusatkan Mana pada kakinya, lalu langsung meloncat tinggi ke atap bangunan bertingkat di pinggir jalan. Tudung jubah yang menutupi kepala mereka terbuka, membuat wajah kedua orang itu terpapar angin sejuk di pagi hari. Di atas genteng, seraya menggendong Mavis, Dart berlari kencang menuju danau Millia. Diterpa hembusan angin kencang, rambut wanita berambut pirang itu berkibar indah, mengkilat terpapar matahari yang bersinar terang.

Tidak butuh waktu lama, Dart dan Mavis sampai di dekat danau Millia yang jaraknya tidak terlalu jauh dengan istana keluarga kerajaan. Setelah menurunkan Mavis, Dart berbalik dan mengulurkan tangan meminta rotinya. Tidak menyerahkannya langsung, Mavis tersenyum lebar dan mulai memindahkan beberapa roti milik Dart ke dalam kantongnya sendiri.

"Oi, oi .... Kenapa malah dirampok?"

"Lapar ..., pria mengalah saja," ucap Mavis. Ia meledek dengan menjulurkan lidah. Menerima kantung roti darinya, Dart melihat ke dalam dan hanya ada beberapa roti saja yang tersisa.

"Kalau kau makan sebanyak itu, bisa-bisa gemuk loh." Dart menatap datar.

"Ah! Itu kata tabu untuk wanita, tahu! Yah, aku tidak akan gendut meski makan sebanyak apapun sih, jadi tak masalah mau memasukkan sebanyak apapun ke dalam perut."

Mavis mengambil roti, lalu mulai memakannya. Berjalan ke arah pohon besar di pinggir danau, wanita berambut pirang tersebut merapikan gaunnya sebelum duduk di atas rerumputan.

"Eeeeh, masa sih gak akan gemuk? Yakin?" ledek Dart. Ia menghampiri Mavis, lalu duduk di sampingnya. Seraya menikmati roti, pria itu melihat ke arah danau yang sangat luas dan terlihat seperti laut tersebut.

Angin bertiup dari danau, membawa rasa sejuk dan ketenangan. Gelombang pada permukaan air yang tercipta karena tiupan angin mengusir dedaunan kering yang mengapung ke tengah danau, seakan memberikan tanda pada dua orang yang duduk santai di pinggiran itu untuk saling bicara.

Menoleh melihat wajah Mavis, sekilas Dart memasang senyum tipis penuh rasa lega. Istrinya yang dirinya kenal memang tidak persis seperti imajinasinya, tetapi kepribadian yang kembali itu juga tidak terasa buruk bagi pria tersebut.

Rambut putih abu-abu pria itu yang dikucir bergelombang tertiup angin. Efek dari pertarungan sebelumnya paling terlihat pada pria itu yang semakin terlihat tua dan warna rambutnya memudar. Meski begitu, Dart sama sekali tidak mempermasalahkannya sama sekali. Apa yang telah diperjuangkan setara dengan apa yang dirinya dapat sekarang.

"Ada apa? Kenapa senyum-senyum sendiri?" tanya Mavis seraya mengunyah makanannya. Setelah menelan makanan di dalam mulut, Mavis menawarkan roti yang sudah ada bekas gigitannya, "Mau? Satu gigit saja ya, jangan banyak-banyak." Dart tersenyum tipis mendapat tawaran tersebut, lalu dengan senang menerimanya dan memakannya. Dalam satu gigitan, roti di tangan Mavis dihabiskan Dart.

Wanita berambut pirang itu langsung menatap dengan datar saat roti di tangannya lenyap, sedikit terlihat rasa kesal dalam raut wajahnya. Tidak memarahi suaminya, ia mengambil roti lagi dari dalam kantung dan memakannya. Mereka menatap ke arah danau, menikmati hembusan angin yang bertiup sepoi-sepoi dengan damai.

Bertukar kata satu sama lain, saling berbicara hal-hal tidak penting sampai hal yang penting. Dalam hidup mereka, momen itu merupakan pertama kalinya Mavis dan Dart bertukar kalimat sebanyak itu. Tidak ada murka atau maki seperti saat pertama kali bertemu, hanya ada ungkapan kasih sayang dan saling menceritakan diri mereka sendiri satu sama lain, saling mengenal lebih dalam dari sebelumnya.

Waktu tanpa terasa telah berlalu dan sore pun datang, cahaya kemerahan mulai mewarnai langit dan permukaan danau sebagai hasil refleksi cahaya. Angin sore terasa berbeda, dingin dan membawa rasa sunyi. Saat Dart bangun dan hendak mengajak Mavis kembali ke istana, tiba-tiba wanita berambut pirang itu berkata, "Dart ..., apa hubungan kita tidak apa-apa seperti ini? Kita tidak apa ... terus seperti ini?" Mendengar itu, Dart lekas menoleh dan melihat ke arah wanita yang duduk melipat kakinya ke depan.

Wajahnya disembunyikan di antara kedua kaki, penuh hawa negatif dan murung. Menghadapnya dan berlutut di depan istrinya, Dart mengelus kepalanya seraya berkata, "Tenang saja ..., tidak apa seperti ini. Aku akan menerima engkau apa adanya, Mavis." Dalam benak wanita berambut pirang itu, perkataan tersebut terasa bukan untuknya.

Sangat memahami hal tersebut, air mata mulai mengalir membasahi pipinya. Bukan hanya karena rasa sedih yang ada, kebahagiaan besar dalam benaknya juga jelas terasa. Mavis langsung memeluk Dart dengan erat, menangis dengan kencang dalam suasana senyap. Cahaya senja menerangi wajah kacaunya, penuh tangis dan rasa sedih.

"Dart ..., Dart .... Aku ... aku .... Aku ingin bersamamu selamanya .... Boleh aku selalu bersamamu? Aku ingin selalu di sisimu .... Sampai kehidupan ini berakhir .... Aku ...."

Permintaan itu terlontar dengan tangisan lepas, sepenuhnya sebuah harapan dari wanita itu. Balik memeluk istrinya, Dart berkata, "Tentu saja .... Sampai kehidupan ini berakhir, aku akan selalu berasa di sisimu ..., Mavis ...."

.

.

.

.

Waktu kembali berlalu. Matahari telah tenggelam, langit gelap mendapat gilirannya untuk muncul bersama gugusan bintang yang gemerlap di atas kegelapan. Hawa perlahan mendingin, membawa suasana yang lebih sunyi dari sebelumnya.

Duduk saling membelakangi di atas rerumputan dan menyandarkan punggung, Dart dan Mavis membisu. Mata Mavis sedikit memerah setelah menangis dan wajahnya masih sedikit kacau. Saat Dart hendak berbalik dan melihat, Mavis melarang, "Diam dulu ..., wajahku sedang kacang .... Aku tidak ingin engkau melihatnya dulu ...." Memegang lengan jas pria yang duduk membelakanginya, Mavis berusaha mengusap air mata yang masih mengalir.

"Sudah baikkan?" tanya Dart.

"Tunggu sebentar lagi ...."

"Hmm, baiklah."

Pria itu menyelonjorkan kedua kakinya, lalu mendongak melihat gugusan horizon bintang musim panas. "Mavis ..., bintangnya indah, ya?" ucapnya dengan sedikit melirik ke belakang.

Mavis ikut mendongak, melihat gugusan bintang yang memenuhi langit gelap. Wanita itu menemukan sebuah kemiripannya dengan gugusan bintang di atas sana, sama-sama bersinar dalam kegelapan dan akan hilang tertelan oleh terangnya cahaya matahari saat pagi datang.

"Mereka mirip denganku .... Begitu kecil dan kelak hilang dengan mudah tertelan cahaya yang lebih terang." Tanpa disadari, Mavis mengucapkan kata tersebut dan membuat Dart menoleh penasaran. Pria itu terkejut saat wajah istrinya yang berlinang air mata, di matanya wanita itu terlihat begitu cantik dan menawan. Perasaan ingin melindunginya langsung mengisi benak Dart pada saat itu juga.

Pria itu langsung memeluk Mavis dari belakang dengan sangat erat, dan dalam benak dirinya memutuskan kembali alasan hidupnya hanya untuk wanita berambut pirang dalam pelukannya itu. Rasa ragu yang ada dalam benaknya selama satu tahun terakhir hilang dengan sangat cepat pada saat itu juga. Meski Mavis tidak bisa lagi memberikannya keturunan, Dart akan tetap mencintainya dan bersumpah pada dirinya sendiri tidak akan menduakan wanita itu.

"Tenang saja .... Engkau tidak mirip dengan mereka .... Kau bisa kuraih dengan tangan ini, karena itulah ... tak akan kubiarkan kau menghilang dari dunia ini, Mavis .... Kalau hidupmu berakhir esok nanti, aku akan segera menyusulmu dan kita akan bertemu kembali di dunia setelah kematian .... Kita akan selalu bersama."

Memegang tangan pria yang memeluknya itu, Mavis tersenyum lega. Sedikit menoleh dan menatap Dart, wanita berambut pirang tersebut berkata, "Aku lebih senang kalau kita hidup bersama .... Aku ingin hidup denganmu di dunia ini, jadi jangan berkata seperti itu .... Meski kelak diriku pergi dulu karena kutukan ini, aku ingin engkau tetap hidup sampai waktumu habis, sayangku ...." Air mata kembali mengalir membasahi pipinya. Kali ini ia tidak sendiri, Dart ikut menangis senyap di bawah langit malam cerah penuh bintang.

Pada malam saat mereka bertukar janji itu, mereka belum sadar kalau kegelapan sudah mulai bergerak dan akan kembali menghadang mereka dalam waktu dekat. Tak ada yang tahu apa yang akan terjadi kelak di masa depan, tetapi takdir yang menunggu pasti bukanlah sesuatu yang mudah dilewati.

Bab berikutnya