webnovel

Mual

Nada suara junior yang menekan ibunya membuat ilham tersenyum bangga telah mendapat partner yang siap membelanya. Dia seperti raja yang di lindungi putra mahkota dari sang ratu. Meri hanya akan bergelar ratu jika ada junior karena itu sebagai ibu, ia tidak bisa berkutik.

"menganiaya?" meri tidak percaya dengan pendengarannya.

"Mmm, lihatlah dadi kesakitan" junior menunjuk ke arah ilham.

Dengan dramatis, ilham memasang mimik kesakitan dan kembali mengelus kakinya yang sebenarnya sudah tidak sakit. Meri tidak benar-benar menendangnya dengan keras. Bagi pria terlatih seperti itu, tendangan wanitanya barusan seperti belaian bulu kucing di kakinya.

Meri berjongkok merendahkan posisinya agar menatap putranya itu. Dengan posisi sama tinggi dalam sisi psikologis membuat seseorang menurunkan ego dan tidak menunjukkan bahwa ia lebih berkuasa. Ini agar junior tidak beranggapan bahwa meri kasar karena ia lebih tua atau lebih berkuasa.

"ibu dan dadi suka bercanda seperti ini. Dadi juga menyukainya dan merasa tidak keberatan. Bukan begitu?" meri menatap ilham dengan tampang memelas.

Jika saja ilham masih berniat membalas, ia dengan mudah mematahkan perkataan meri dengan satu kata penyangkalan. Tapi, demi putranya dan demi keamanan tempat tidurnya ilham mengiyakan.

"walaupun begitu, kasian dadi. Jangan melakukannya lagi"

"junior, dadi juga sering memukuli ibu" meri membuat pembelaan agar posisinya sama dengan ilham.

Tanpa mengperdulikan perkataan ibunya, junior duduk memegang kaki ilham dan mengelusnya. "dadi pasti kesakitan" ujar anak kecil itu penuh perhatian.

Ilham terkejut dengan sikap yang di lakukan junior dengan memberinya begitu banyak perhatian pada bekas tendangan yang sama sekali tidak sakit. Ilham menarik junior dan menggendongnya.

"sudah tidak lagi berkat tangan ajaib putraku" jawab ilham dengan tatapan licik ke arah meri. Dia ingin menunjukkan bahwa ini pendukungku dan kau sebaiknya cari pendukung lain.

"aku sepertinya benar-benar kehilangan putraku" desah meri lemah agar junior kasihan padanya tapi ilham dengan cepat menanggapi,

"ia juga putraku"

"aku sepertinya harus secepatnya punya anak lagi untuk menjadi pendukungku" ujar meri.

Ilham kembali dengan cepat menjawab "aku setuju"

Sementara junior tidak mengatakan apa-apa dan hanya memandang kedua orangtuanya yang sedang berseteru.

"dia harus perempuan agar lebih dekat padaku"

"aku setuju" jawab junior cepat, lebih cepat dari ilham yang baru akan mengungkapkan dukungannya.

"harus lebih mirip denganku dan tidak boleh mirip ayahnya" kata meri membuat penekanan bahwa anakku kali ini adalah milikku.

"hahaha,, aku juga setuju itu" jawab ilham sambil tertawa merasa geli dengan kecembuaran meri pada dirinya karena junior lebih membela dadi nya dari pada ibunya. "ayo kita sarapan" ilham melangkah bersama junior yang masih berada di gendongannya meninggalkan meri yang merasa di kalahkan.

Mereka kini berada di sebuah restoran barat di ruangan VIP dan puluhan jenis makanan di meja. Meri terkejut ilham menghabiskan cukup banyak uang untuk sebuah sarapan pagi.

Melihat berbagai jenis makanan di hadapannya, tentu saja junior sangat senang. Ibunya terkadang hanya memberikan tiga atau empat pilihan jenis makanan dan sekarang ia benar-benar merasa di manjakan.

Pada dasarnya, di lihat dari tampilannya saja sudah cukup untuk tahu bahwa makanan ini di buat oleh tangan terampil dan soal rasa tidak perlu di ragukan. Tatapan meri terpaku padahal cap cai sea food di hadapannya.

Warna warni dari berbagai jenis sayuran seakan menjadikan tammpilan makanan itu menggugah selera. Warna kuning dari jagung, jingga dari wortel, putih kehijauan dari sawi dan beberapa sayuran berwarna hijau yang meri sendiri sulit mengatakan itu apa. Ia hanya tahu makanan itu enak.

Ilham melihat wajah istrinya sangat puas dengan makanan di hadapannya merasa bangga. Ia sudah di puaskan oleh tubuh istrinya jadi ia ingin membalas dengan memuaskan perut istrinya itu.

"makan yang banyak" ilham menambahkan makanan di piring meri.

"aku tidak mau gemuk" jawab meri

"jangan terlalu banyak berpikir. Makan saja. Bahkan jika kau jadi segemuk anjing laut, aku akan tetap menerimamu" ujar ilham.

"ayah, ibu sudah bersusah payah berolahraga tak henti-henti hanya untuk menjaga agar tetap kurus jadi jangan membuatnya gemuk. Aku juga tidak suka dengan orang gemuk" protes junior.

"anak ibu akhirnya kembali" meri membelai kepada junior yang duduk di seberangnya.

Ilham cukup pintar untuk tidak menanggapi pembicaraan yang sudah jelas memihak kepada siapa. Ia kembali fokus pada makanan di hadapannya.

Suasana menjadi hening hanya terdengar suara piring dan sendok beradu tanpa suara pemiliknya. Mereka semua menikmati sarapan itu. Ilham membayar dengan kartunya saat sarapan itu selesai.

Mereka kembali ke rumah dengan cemilan yang ia pesan di restoran tadi untuk di bawa pulang.

Ketiganya duduk santai di depan televisi menikmati kebersamaan dengan mengomentari berbagai acara yang di tayangkan di televisi.

"ibu, kapan kita berangkat ke Indonesia?" tanya junior.

"besok" jawab meri "uncle rido sudah mengatur kepulangan kita jadi kita tinggal mengikuti intruksinya saja"

"apa aku juga ikut?" tanya ilham memastikan

Baik meri maupun junior saling pandang dan serentak menjawab dengan gelengan kepala. Mereka sekarang bekerja sama mengerjai ilham.

"tidak masalah, aku akan naik penerbangan domestik dan akan ke Indonesia menyusul kalian"

Hahaha... Tawa meri dan junior pecah melihat muramnya wajah ilham.

"dadi, tentu saja kita akan pergi bersama"

Ilham tersenyum mendengar itu. "kita ke bali untuk menemui ibuku, bagaimana? Itung-itung sekalian berhubung kita berada di Indonesia. Ku dengar maria juga tinggal di sana" ujar ilham semangat tapi tidak dengan dua orang yang menjadi lawan bicaranya.

"ehem... Bagaimana kalau kita liburan ke wakatobi? Atau raja ampat? Ku dengar di sana sangat indah" usul meri yang secara tidak langsung menolak ide ilham.

"tempat itu memang indah tapi tidak cocok untuk kalian" tolak ilham.

"kenapa?" tanya meri dan junior bersamaan.

"kedua tempat itu terkenal dengan keindahan bawah lautnya. Masalahnya kalian tidak bisa berenang"

Meri dan junior diam tak ingin menanggapi lagi karena memang benar mereka tidak bisa berenang. Ia hanya berpikir tempat itu setidaknya lebih baik dari pada tempat di mana ibu mertua yang juga nenek sihir itu berada.

"apa kalian sudah pernah bertemu ibuku?" ilham menangkap gelagat penolakan karena hal itu.

"aku belum tapi junior sudah pernah. Dia pulang dengan murung setelah semua perkataan buruk ibumu tentangku di hadapan junior" jawab meri tidak ingin menutupi fakta itu.

Melihat junior yang juga terlihat menolak untuk bertemu dengan neneknya kedua kalinya, ia tahu pertemuan pertamanya tidak berjalan dengan baik.

"dia hanya belum pernah melihatmu secara langsung karena itu menilaimu secara acak. Lagi pula ada aku yang akan mendampingi kalian. Jangan khawatir, jika ibuku bersikap kasar maka aku sendiri yang akan membawa kalian pergi secepatnya dari sana. Tapi biarkan aku memperkenalkan kalian secara resmi. Aku mohon" ilham menggenggam tangan meri.

Jika meri setuju maka sudah di pastikan juniorpun akan ikut. Ibu dan anak itu sulit untuk di pisahkan.

"di sana ada andre" ujar meri

"kau bisa tetap mengenakan cadarmu. Percayalah padaku, dia tidak akan bisa merusak kebahagiaan kita lagi. Aku janji"

Setelah menimbang ucapan suaminya, meri mengangguk lemah mengikuti perkataan ilham.

"terimakasih" ilham memeluk meri namun tiba-tiba tubuhnya terdorong mundur.

Meri berdiri berlari ke dapur dengan tangan menutupi mulutnya. Tak lama terdengar suara orang muntah.

Ilham berdiri dan menyusul meri yang sudah merendahkan kepalanya di wastafel dan terus mengeluarkan isi perutnya.

"uueeeekkkk" suara meri muntah

makanan mahal yang tadi di makannua kini terbuang sia-sia. Tangan ilham tak berhentu mengusap lembut punggung dan memijat leher bagian belakang meri.

"dadi, ibu kenapa?" tanya junior dengan kekhawatiran di wajahnya berbeda dengan ilham yang tetap tenang karena merasa itu hanya karena meri salah makan sewaktu sarapan.

"ibu tidak apa-apa. Ambilkan kotak obat di laci kamar ibu" perintah ilham.

Junior segera berlari ke kamar ibunya dan kembali dengan kotak obat di tangannya. Ilham mengambil aroma terapi dan mulai membalurkannya di pelipis, leher dan sedikit di hidung meri agar penciuman meri sedikit lebih baik.

"aku sepertinya salah makan tadi" meri berhenti memuntahkan isi perutnya, ia berdiri menghadap ilham dan memegang kepala junior untuk memberi tahu bahwa ia tidak dalam masalah besar.

"ibu jangan sakit" rengek junior.

Meri hampir tidak pernah sakit selama ia hidup berdia dengan junior. Ia hanya sakit kepala biasa atau kelelahan karena aktivitas seharian. Saat demam, ia juga tidak akan menunjukkannya pada junior dan lebih memilih berdiam di kamar sementara junior di urus oleh reni dan ali.

"ibu tidak..... Ueekkk" meri kembali memuntahkan makanan yang masih tersisa di perutnya.

"dadi, tolong ibu" junior mulai meneteskan air matanya.

Air mata itulah yang selama ini membuat meri bersedia menahan sakitnya sendirian dan tetap tersenyum di hadapan putranya. Ia bersikap seperti dinding beton walau sebenarnya ia tak lebih seperti dinding kardus yang melayang di terpa angin.

"sayang, jangan panik. Ibu hanya makan terlalu banyak tadi jadi perutnya mual" ilham menenangkan junior yang mulai menangis tanpa suara.

Anak kecil itu benar-benar tampan bahkan saat menangis. Air matanya hanya mengalir tapi ia seakan tenang tanpa suara dan tanpa ada perubahan berlebih pada ekspresi wajahnya.

Setelah serangan mual itu sedikit reda, ilham menarik meri dan memeluknya. Menepuk lembut punggungnya dan merapikan rambutnya yang panjang dan tak beraturan lagi.

Junior sendiri memegang telapak tangan ibunya seakan memberikan kekuatan pada wanita berharga yang membesarkannya dengan penuh cinta.

"apa masih sakit?" tanya ilham dan junior bersamaan.

Meri menggelengkan kepalanya tapi kemudian mulai muntah lagi. Sekarang hanya rasa mual yang mengocok perutnya. Makanan di perutnya sudah habis keluar hingga menyisakan cairan pahit seperti empedu.

Melihat sudah tidak ada yang bisa keluar lagi, ilham membawa meri ke sofa dan mulai memeriksanya. Wajah cantik penuh semangat itu kini lunglai tak berdaya dengan peluh membasahi wajah dan rambut di sekitar dahinya. Hampir tak ada tenaga lagi bahkan untuk sekedar bicara.

Bab berikutnya