28 September 1274 AG - 03:40 Pm
Kota Tigris - Mansion Barlux du Lumiere
—————
"Apa? Celeng?" Mascara menimpali keheranan.
"Kaleng! Kalian tahu apa kehebatannya?"
Conna menepuk tangannya lagi memanggil pelayan lain. Kali ini mereka mengantar benda yang sama namun permukaan logam di atasnya tertutup. Mascara langsung merampasnya dan memeriksanya cepat-cepat.
"Yang ini lebih berat, Simian. Jangan bilang ada isinya."
Simian tertawa geli. Ekspresi penasaran Mascara nampak lucu di matanya. Wajah itu sangat langka karena jarang sekali ada sesuatu yang bisa memberi kesan pada si dingin itu. Dia melihat Mascara mengocok kaleng itu yang nampaknya berisi benda lunak.
"Aku tidak tahu bagaimana cara pandai besi memasukan sesuatu ke benda ini. Isinya apa?"
Lagi-lagi Conna bertepuk tangan untuk beberapa benda yang sama pula. Hanya saja, benda itu tutup atasnya terbuka dan mengeluarkan aroma nikmat. Simian terperanjat. Dia langsung membayangkan pemborosan anggaran perang hanya untuk wadah makanan. Terlebih ketika dia melihat hidangan apa yang ada di dalamnya.
"Dagingggg!!!"
Tanpa menunda, Simian langsung mencicipinya.
Daging itu lumer di lidahnya. Segala rasa dari rempah-rempah yang mahal seakan melambungkan angan Simian hingga air matanya menetes. Dia merasakan daging lezat itu telah mengusir aura kemiskinannya.
Ekspresi kenikmatan itu ternyata diperhatikan baik-baik oleh Mascara.
"Benda semewah ini hanya untuk wadah makanan? Coba ah," tukas Mascara mulai mencicip isinya. "Ini lezat sekali, Conna. Dagingnya juga kaya rempah. Makanan ini pasti mahal."
"Iya, Conna! Pedasnya, asinnya, manisnya, semua menyatu sempurna!" Simian ikut-ikutan berkomentar takjub. "Masih ada lagi?"
"Aku punya banyak tuh, aku kan kaya."
Tumpukan kaleng pun berdatangan. Simian yang awalnya cuma cicip-cicip, tanpa ragu menghabiskan isi kaleng di tangannya cepat-cepat.
"Aku tidak berani membayangkan berapa harganya, Mascara, Ini makanan untuk raja!"
"Iya, Simian, lada harganya mahal, garam juga mahal, apalagi gula Makanan ini luar biasa Kapan kamu membelinya, Conna?"
"Enam bulan lalu."
Suasana langsung hening. Simian menghentikan kegiatannya menyantap dan sejenak menerka bahwa Conna pasti salah bicara. Di melirik Mascara yang mungkin bepikiran sama.
'Ah, bodo amat,' pikir Simian melanjutkan makan.
Puas menghabiskan daging lezat itu hingga menjilati kalengnya, mata Simian berkaca-kaca. Dia menengok Mascara yang ternyata sudah bersusah payah membuka kaleng lain.
"Meski tidak seenak masakan Mascara, makanan ini nikmat sekali, Conna. Kamu benar-benar sang ratu Hidup Ratu Conna!"
"Iya, Ratu Conna. Terima kasih!"
"Justru aku yang berterima kasih sama kalian."
"Huh?"
Conna memberi senyum tengil yang membuat Simian langsung merasa tidak nyaman. Dia melirik Mascara yang juga berekspresi sama. Apalagi ketika melihat bibir mungil Conna sudah bergelombang menahan tawa.
"Kata orang Maylon, makanan kaleng itu bisa bertahan hingga delapan bulan. Makanya Paman Grall menyimpannya karena penasaran. Itu ayah kalian sendiri yang beli. Dia belum bilang, ya?"
"Ja—jangan bilang kamu belum pernah makan!"
"Iya, Mascara. Aku baru berani makan itu kalau kamu dan Simian besok enggak masuk rumah sakit. Huahahaha!"
***
Keesokan harinya di guild petualang
"Wajahmu ungu, Mascara."
"Berhenti menakut-nakutiku!"
Mascara uring-uringan. Semalaman dia susah tidur karena mencemaskan perutnya yang telah dimasuki daging kadaluwarsa. Gara-gara jebakan Conna kemarin dia jadi kehilangan nafsu makannya.
"Bisa berhenti memikirkan makanan itu, Mascara?" tegur Simian. Dia nampak santai-santai saja yang justru membuat Mascara semakin kesal.
"Makan daging busuk sehari saja perutmu bisa mules. Ini enam bulan, Simian. Enam bulan! Aku menyesal sudah lupa senakal apa si kecil itu."
"Buktinya kita tidak apa-apa, kan? Sudahlah, jangan lupa kita ke sini mau apa. Gara-gara kamu si kecil itu ngambek enggak mau ikut."
"Aku cuma menjitak kecil kepalanya, Conna saja yang cengeng." Mascara membantah tidak mau kalah. "Terserahlah, urus pekerjaan kita sekarang."
Masih tersisa 20 hari sebelum keberangkatan menuju Kota Maylon. Berhubung Vodi juga mau pulang dari akademi, Mascara memanfaatkan hari-hari terakhir itu untuk berpetualang satu party.
Toh, misi ketiga juga masih belum bisa terlaksana.
Simian memahami tugasnya apa. Tanpa banyak bicara dia melirik salah satu rank-C yang kebetulan lewat.
"Ehem ..."
Rank-C itu langsung panik ketika Simian mengeluarkan gelagat akan memperbudak. Dia berlari ke papan quest begitu tahu mendapat tugas apa dari si rank-B berambut merah itu.
"Ada quest rank-C membasmi bandit, Boss! Upahnya 3 gold! Aku sobek kertasnya sekarang?"
"Aku enggak mau quest itu. Cari yang benar."
Setelah membuat rank-C itu bolak-balik berlari menuju papan quest 20 meter jauhnya, Simian melepaskan budak itu setelah menerima kertas quest yang dia mau. Dia melirik Mascara setelah sepintas membaca tulisannya.
"Ada dungeon yang belum tuntas. Quest ini untuk party rank-B++++. Wah, satu '+' lagi sudah quest party rank-A nih."
"Quest rank B++++? Itu sulit loh. Apa kita perlu tambahan orang?" tanya Mascara menoleh ke belakang, yang disambut gelengan kepala serempak petualang lain. "Oh, sepertinya tidak."
Mascara tertawa geli melihat penolakan mereka. Karena bukan hanya di militer, Simian juga terkenal ekstrim sebagai petualang. Si rambut api itu selalu memberi target gila pada quest apapun yang akan dikerjakannya.
Jika party lain mencicil pengerjaan quest itu beberapa kali dalam satu bulan, si rambut merah itu selalu mengerjakan quest dalam hitungan jam. Mereka bilang, hanya si gadis berwajah dingin saja yang mampu mengimbangi standar si pria berambut api. Quest itu pun sebenarnya tidak boleh party-nya kerjakan. Karena Simian adalah anggota kesayangan guildmaster, sah-sah saja bagi pria itu melanggar peraturan seenaknya. Mascara juga tidak heran jika Simian mendapatkan quest-quest tambahan.
"Surat apa itu?" tanya Mascara, terusik dengan dua surat yang Simian baca.
"Quest pribadi dari guildmaster. Hmm .. ini quest untuk rank-S," jawab Simian tidak terkejut sama sekali. Tapi wajahnya berubah ketus saat membaca surat yang kedua. "Yang ini misi dari seorang ayah pelit yang minta anaknya kerja gratisan."
"Kalau begitu aku daftarkan quest ini ke Rineta ya."
"Iya, mending kamu yang urus itu ke resepsionis. Aku malas kamu pelototi terus-terusan kalau dekat-dekat dia."
Mascara terhenyak. Dia baru sadar sikap cemburunya pada Rineta ternyata dibaca pria idiot itu. Kertas quest itu pun dia ambil dan segera beranjak menuju meja resepsionis. Tapi baru beberapa senti saja pantatnya terangkat, Mascara mendengar suara seseorang yang membuatnya mau muntah.
"Dua Stauven palsu berkumpul di sini, rupanya, hahahaha!"