webnovel

Awan

27 September 1274 AG - 01:00 Pm

Benteng Courbe de Taille

—————

"Apa-apaan mereka!?" Encolé semakin geram. "Mereka mau tamasya!?"

Kalau saja kematian misterius itu tidak terjadi, Encolé pasti mentertawakan lawan yang seperti baru belajar perang. Tapi kali ini, gelagat aneh itu semakin membebani pikirannya dengan tumpukan rasa curiga.

Semua perwira tahu bahwa melawan benteng yang dijaga satu resimen itu butuh prajurit tiga kali lipat lebih banyak. Mereka juga paham formasi dan alat gempur menentukan arah kemenangan. Tapi metode serangan Ysdeville itu terlalu aneh baginya. Dia bertanya, 'Apa yang sebenarnya mereka rencanakan?'

Encolé berpikir keras. Dia melihat lagi sederetan menara untuk memastikan mangonel siap sedia. Dia juga memastikan infantry dan cavalry-nya siaga jika sewaktu-waktu mereka harus keluar untuk menggempur lawan yang mundur.

Sayangnya, wajah mereka tidak kalah tegang dari para archer dan arbalist yang meringkuk di atas benteng. Encolé mengumpat setelah menyadari efek teror itu ternyata tidak sesederhana yang dia kira.

Encolé takut, jantungnya berdegub. Dia cemas mengira-ngira apa yang akan terjadi selanjutnya.

Tidak ada suara lagi di benteng itu. Ratusan prajurit melihat kedepan dengan wajah tegang dan badan gemetaran. Angin lembah yang awalnya meronta, tiba-tiba tenang sehingga kesunyian menyelimuti ketakutan mereka.

Serangan misterius itu sudah berhenti. Tapi benteng semakin hening oleh firasat penghuninya masing-masing. Para prajurit itu menatap kalut pada barisan lawannya yang masih diam seakan hendak memberi mereka kejutan. Encolé tidak tahan. Dia merasa terhina karena lawan yang hanya segelintir itu mempermainkan pasukannya. Earl itu pun memanggil salah satu prajuritnya dan meminta perlengkapan mereka. Seperti yang vice tadi katakan, nyawa earl masih aman selama dia tidak menunjukan identitasnya.

Berbekal penyamaran itu dia berlari menuju salah satu menara di sisi terjauh pintu gerbang. Tapi ketika dia hampir tiba di puncak menara, dia melihat berapa anak buahnya berkerumun di pintu keluar.

"Ada apa?"

Seorang prajurit mengarahkan jarinya ke atas dengan wajah pucat. Tanpa mempedulikan keselamatannya, komandan itu pun mengintip.

"Astaga!"

Apa yang earl itu cemaskan akhirnya kejadian. Dia melihat dua prajuritnya tergeletak di atap menara dengan kepala terburai. Mangonel yang mereka jaga pun mengalami beberapa kerusakan hingga tak mungkin bisa lagi digunakan. Dan ketika dia menegok jendela menara yang mengarah ke sisi benteng, hilang lah semua harapannya.

Serangan misterius itu datang lagi. Kali ini mereka membantai semua yang ada tanpa mengenal jabatan mereka. Encolé kehabisan kata-kata ketika melihat sendiri dengan mata dan kepalanya, satu-persatu pemanah benteng tewas dengan kepala pecah. Encolé putus asa. Dia menaiki tangga menuju atap untuk melihat darimana serangan itu berasal. Tapi yang dia lihat di puncak menara itu justru teror baru yang lebih mengerikan.

600 meter di depannya adalah barisan tentara lawan. Dia melihat mereka berdiri tenang seakan menghinanya dari kejauhan. Dan di belakang barisan itu, dia melihat sesuatu terlempar di udara yang meninggalkan jejak asap panjang. Semua proyektil itu mendarat di bentengnya dan berpantulan di kerumunan prajurit.

Benda aneh itu pun mengeluarkan asap yang mengawali akhir dari perang ini.

"Mataku!"

"Uhuk! Uhuekk! Asap apa ini!? perih sekali!"

"Tenggorokanku seperti terbakar!"

Asap tebal menggumpal. Benda itu terus mengeluarkan asap meskipun sudah cukup lama tergeletak. Asap itu mengundang genangan air mata sehingga para pemanah menjatuhkan senjata mereka. Para pemanah itu tidak mempedulikan lagi kewajiban mereka untuk tetap menjaga posisi.

"Jaga formasi! Jangan jadi desertir!"

Beberapa perwira mencoba mengendalikan kepanikan anak buahnya. Namun para perwira itu juga ikut terjebak panik setelah mengalami sendiri efek buruk asap tadi. Mereka ikut berlarian untuk mencari udara bersih. Dari puncak menara itu Encolé melihat bentengnya seakan dijatuhi awan. Benda itu terus berdatangan sehingga dia tidak punya alasan lagi untuk tetap berdiri lama-lama di atas menara bentengnya.

Dia harus segera pergi. Dia berfirasat bahwa benteng ini tidak akan bisa dipertahankan lagi.

Encolé mendengar teriakan prajurit di sekitar tembok menara yang dia turuni. Secepat mungkin dia menuruninya sebelum terjebak asap yang sama. Tapi sayangnya dia terlambat. Pintu keluar menara itu sudah diselimuti asap tebal. Earl itu menghentikan langkahnya karena asap itu bukanlah asap biasa.

Sejenak, Encolé meragu. Dia menimbang-nimbang apakah harus menembusnya atau menunggu asap itu terhembus angin. Namun dia langsung mengambil keputusan begitu menara itu bergetar, mengiringi suara seperti sambaran petir.

"Argghh! Asap apa ini!?"

Matanya seperti tersiram merica, atau mungkin lebih parah lagi. Hidungnya terasa panas, dadanya seperti terbakar saat asap itu terhisap. Kulitnya bahkan terasa melepuh sehingga perih ketika tergesek kain pelapis chainmail. Kekacauan itu semakin mengerikan ketika telinganya mendengar kicauan yang berujung suara nyaring.

FIIIEEEWWWW .…

BLARRRRRR!!!

Bab berikutnya