14 September 1274 AG - 04:10 Pm
Kota Tigris — Guild Petualang
—————
Hidungnya bergerak di saat dia mengendus. Telinganya fokus di antara hening. Mascara sedikit menggerakkan kepala, memberi kode semua petualang untuk menunjukkan posisi seseorang. Dia langsung membidik busurnya ke atas dan melepas anak panahnya ketika semua telunjuk terarah ke bawah meja.
"Kamu pikir aku tidak bisa mencium baumu yang busuk itu?"
Dengan gerak parabola, anak panah itu meluncur tepat menembus roti barley di mulut seseorang yang sedang merangkak.
Semua petualang terbahak ketika Simian berlagak tenang menata kursinya. Mereka berani mentertawakannya karena pria itu tidak mungkin macam-macam selama ada Mascara. Si rambut merah itu hanya bisa gemetaran dan menelan ludah. Dia memegang anak panah di rotinya, dan melanjutkan makan roti itu seperti sedang makan paha ayam.
"Silahkan duduk, Mascara."
Sesopan mungkin Simian mempersembahkan kursi kepada Mascara yang berkacak pinggang. Dengan masih gemetaran, dia juga menata dua kursi yang berdempetan dengannya untuk dua orang yang lain.
"Rineta ... Livina ...."
Dua gadis itu menggelengkan kepala ketika Simian memanggil mereka. Keduanya berwajah pucat karena Mascara menatap mereka dingin.
Apalagi ketika si tomboy itu menghampiri Simian dan menggebrak mejanya.
"Kamu bisa jelaskan ini, Adikku yang manis?" ujar Mascara ramah saat menaruh kertas tagihan di atas meja. "Beri aku jawaban bagus atau ..." Dia tatap tajam mata Simian dan mengecilkan suaranya. "Ada tagihan baru untukmu dari rumah sakit."
Simian gelagapan. Tanpa kata dia mengeluarkan satu silver Florina dan menaruhnya di atas kertas tagihan.
Florina adalah mata uang Kerajaan Arcadia. Uang itu dimulai dari koin copper senilai 100 flor, bronze 1.000 flor, silver 10.000 flor, gold 100.000 flor dan platinum senilai 500.000 flor.
Dari ukuran sederhana itu, bisa dihitung berapa nilai dari uang suap Simian, bukan?
Tapi Mascara justru merasa terhina hingga dia menggebrak lagi mejanya.
"Ow, kamu punya nyali ternyata."
Simian masih tidak menjawab. Dia meletakkan satu copper lagi di atas koin silver itu.
"Baiklah, kita lupakan itu," sahut Mascara tenang setelah membuat koin itu seolah-olah menghilang. Dia bersikap anggun dan bicara lembut begitu dia duduk. "Mau jadi apa kamu tanpa aku, Simian?"
Mascara membelai rambut merahnya. Dia bersikap keibuan meski pria itu masih menunduk ketakutan.
Simian adik bayinya yang lucu, Mascara tidak percaya pria itu tumbuh menjadi pria tidak berguna. Simian saat ini hanyalah buaya yang suka mempermainkan hati perempuan. Dia memandang jijik saat pria itu merangkul dua gadis idiot dan mencium bibir mereka bergantian.
Mascara tahu Simian melakukannya demi menghilangkan gerogi. Padahal dia sudah melupakan kemarahannya karena uang 500 gold dari Kota Maylon. Berhubung Simian belum mengetahuinya, Mascara berniat mengerjainya.
"Lebih baik kamu cium kertas tagihan ini daripada melumat mulut bau mereka." Mascara mencibir.
"Bukannya kamu juga tahu marquis pelit itu yang memerasku?" kata Simian, berlagak tenang.
Mascara tidak menggubrisnya. Dia terusik dengan tingkah gadis centil yang belum dia kenal.
"Siapa gadis genit ini? Kekasih barumu lagi?"
Simian nampak terganggu. Mascara tahu pemuda itu paling benci urusan pribadinya dicampuri.
"Dia namanya Livina, petualang rank-G. Dia baru mendaftar kemarin," jawab Simian ogah-ogahan.
"Kapan kenalan?"
"Tadi pagi."
"Aku tidak salah dengar?"
"Tadi pagi."
"Cih, baru kenalan sudah cium-ciuman."
Mulut Simian nampak gatal ingin membalas cibirannya. Tapi pria itu menjaga sikap karena Mascara melirik surat tagihan di atas meja.
"Hutangmu, Tuan Tampan. Kamu pikir aku mau bayar bunganya?" tegur Mascara sambil mengetuk-ketukan jarinya di atas kertas tagihan.
"Soal tagihan nanti aku bayar pakai uangku sendiri," jawab Simian ketus. "Aku bukan adik kecilmu lagi, Mascara. Bisakah kamu memberi aku kebebasan?"
"Kebebasan, katamu?" Mascara menjawabnya dengan nada tidak senang. Bocah itu masih belum paham bahwa dia bukan siapa-siapa tanpa kakak perempuannya.
Siapa Mascara bagi Simian?
Segalanya.
Mascara memang perempuan. Tapi dia adalah anak sulung yang bertanggung jawab menjaga dua adik laki-lakinya. Berhubung Vodi sangat dekat dengan ayahnya, Simian lah yang kemana-mana selalu bersamanya.
Simian tidak punya ibu. Sang ayah terlalu sibuk dengan urusannya. Si rambut merah itu kurang perhatian dan tidak memiliki banyak teman. Dia juga sering dianiaya karena memiliki warna rambut yang berbeda. Jika tidak ada Mascara, Simian tak akan mampu hidup lebih lama.
Simian sering sakit-sakitan di waktu kecil. Mascara menghabiskan sebagian besar hidupnya untuk merawat si rambut merah itu. Dia adalah pengganti sosok ibu bagi Simian sejak dulu, sekarang dan sampai kapanpun. Mascara sangat menyayanginya. Dia sulit jauh dari Simian seperti seorang ibu kepada anaknya.
Memangnya bisa apa si monyet tanpa dirinya? Sampai detik ini pun Simian selalu mencarinya waktu dia merengek minta diperhatikan. Mascara tidak pernah mengeluh saat merawatnya, juga selalu bersabar saat Simian minta disuapi makan. Tapi pria itu tidak pernah menghargai perhatiannya. Simian justru menjauhinya seakan dirinya itu penyakit kusta.
Siapa yang tidak sakit hati?
Mascara pun jengkel dan menarik kerah leher pria itu untuk mengancamnya.
"Kamu mau bebas? Mau aku pesankan peti mati?"
CLINKKKKK!!!
Mascara melepaskan cengkeramannya ketika melihat satu copper lagi berputar di atas meja.
"Dasar matre!"
Mascara tidak acuhkan umpatan Simian. Dia pelototi Rineta yang seenaknya memeluk pria itu.
"Hei, jauhkan tanganmu." Mascara menegur resepsionis itu. Dia semakin terganggu karena Rineta pasti tidur satu ranjang lagi dengan adiknya. "Semalam ngapain saja?"
Rineta gelagapan. Resepsionis itu masih gerogi meski Mascara sudah menganggapnya seperti adik perempuannya sendiri.
"Anu ... hmmm ... Tuan Simian semalam ... hmmm ... Kakak Ipar."
"Sejak kapan aku jadi kakak iparmu?" Mascara menegur dingin. Dia menunjuk seorang petualang yang celingukan di meja resepsionis. "Kembali ke mejamu. Kerja yang benar!"
Mascara semakin jijik ketika Simian melepas kepergian Rineta dengan melumat bibirnya.
"Aku tidak akan kaget kalau kamu nanti menghamili anak orang. Kendalikan dirimu, Simian!"