Pagi itu, merupakan pagi yang teramat asing bagi masing-masing nyawa di sana. Sapa-menyapa tak sama sekali terucap dari mulut mereka, diamlah yang menguasai.
Kejadian semalam seakan merajai situasi.
Panas matahari yang seharusnya menghangatkan tubuh kedua belas orang itu, sekaligus tembok-tembok yang sedari malam telah kedinginan, seakan lenyap. Matahari itu berubah layaknya sebuah lukisan. Walau seluruh jendela telah dibuka begitu lebar dan ruangan itu kini terisi terangnya cahaya, akan tetapi kenyamanan itu sama sekali tak terasa.
Bahkan Reandra, lelaki itu sampai mengusap-usap kedua lengannya yang tak di balut kain. Ekspresi nya menunjukkan bahwa sekarang ini dirinya tengah menggigil.
Ya, sesuram itu dan sebeku itu.
Tak lama kemudian, Ryveal menghela nafas nya panjang. Lelaki itu lantas beranjak dari tempat tidurnya, merapikan seprai dan selimutnya. Untuk setelah itu pergi ke arah kamar mandi.
Dan ya, seluruh gerakannya tadi, sepenuhnya diamati oleh seluruh manusia disana. Oh bukan seluruhnya, sebab kedua bola mata Kaeya tidak dalam keadaan terbuka.
Blam! Pintu kamar mandi tertutup.
Kompak, kini seluruh atensi beralih pada Kaeya yang masih setia berbaring di tempat tidurnya sembari menyesap rokok. Kaeya yang merasa diperhatikan, akhirnya membuka tirai penglihatannya. Ditatapnya heran satu-persatu anggota yang tiba-tiba membuang muka.
Baru setelah beberapa detik kemudian, lelaki dengan rambut birunya yang segelap laut dalam itupun paham.
Tak mau berlama-lama, ia segera berdiri dan berjalan menuruni anak tangga.
Hingga akhirnya Kaeya sepenuhnya lenyap dari pandangan mereka, hembusan nafas lega terdengar serempak. Kegiatan sehari-hari pun berlangsung dengan lancar. Akan tetapi, ada saat-saat dimana mereka harus dengan cepat mengunci mulut dan mencari kesibukan, itu adalah saat-saat dimana Kaeya ataupun Ryveal berjalan disekitar mereka.
Ya, kesepuluh manusia itu sepakat untuk menghindar sebisa mungkin dari si Biru dan si Hitam.
Takut saja, jika mereka tak sengaja membuat kesalahan kecil yang akan mengakibatkan diri mereka menjadi samsak.
***
Matahari akhirnya berganti shift dengan sang Rembulan.
Makan malam sudah dihidangkan, dan kini kedua belas orang itu tengah duduk melingkar selayaknya yang mereka lakukan pagi dan siang tadi. Dan selayaknya pagi dan siang tadi, kedua belas orang itu juga tak ada yang mau membuka suara.
Bahkan secuil niat untuk berbicara nampaknya sama sekali tak terbesit di kepala mereka.
Piring dan sendok segera di sambar, makanan dengan cepat masuk kedalam perut, dan wadah nya pun kembali kosong. Myra dan Reandra tanpa menunggu perintah lagi, secepat kilat menumpuk piring-piring kotor itu dan membawanya ke tempat nya.
"Ah sial, aku benar-benar tak tahan dengan situasi ini." Gumam Myra sebal sendiri. Reandra mengangguk, menandakan dirinya pun setuju dengan ucapan Myra.
"Aku yang REBORN saja masih tetap tak bisa terbiasa dengan pertengkaran mereka." Myra menoleh cepat, menatap kebingungan ke arah Reandra yang kini fokus mengaduk sabun cuci sambil berdiri tepat di sampingnya.
"Mereka seperti punya kekuatan super. Mungkin saja, jika mereka berdua bertengkar di pinggir pantai, laut nya menjadi lapangan ice skating."
Myra masih tak merespon. Gadis itu setia menatap Reandra yang nampaknya mulai salah tingkah karena tatapannya itu.
Reandra pun kemudian memberanikan diri, menolehkan kepalanya. Balas menatap intens Myra dengan satu alis yang sedikit dinaikkan.
"Kau kenapa? Aku tahu aku tampan. Jadi jangan berlebihan, nanti kau bisa jatuh pingsan tahu!" Myra tanpa berpikir lagi langsung menggeleng kuat.
"Kau terlalu berharap. Aku hanya tak mengerti apa yang baru saja kau ucapkan."
Myra mengalihkan perhatian, ia kembali menatap kearah tumpukan piring di hadapannya. Tangannya terjulur, hendak melakukan ritual.
Sedangkan Reandra hanya mengangkat bahu, dan juga kembali melakukan kegiatannya tadi yang sempat tertunda.
"Apa itu REBORN?"
Hampir saja wadah sabun itu terjengkang saking kagetnya Reandra terhadap pertanyaan Myra. Lelaki itu menatap tak percaya kearah perempuan disampingnya.
Myra yang tahu bahwa dirinya sedang diperhatikan, ikut menoleh menatap Reandra.
"Kenapa? Aku tahu aku cantik. Jadi jangan berlebihan, nanti kau bisa jatuh pingsan tahu!"
"Hei-!"
Myra tak mampu menahan tawanya, gadis itu bahkan sampai memegang perutnya. Lihatlah ekspresi Reandra yang sering sekali diisi dengan ekspresi mengejek, dan narsis nya itu, kini berganti dengan raut sebal nya.
Detik demi detik berlalu dan Myra tak kunjung berhenti tertawa. Bahkan gadis itu sampai berjongkok. Reandra dibuat makin sebal, lelaki itu kini melipat kedua tangannya di depan dada. Menonton seorang perempuan yang tengah menertawai dirinya.
"Sudah?" Satu kata itu Reandra ucapkan saat dirasa tawa Myra perlahan-lahan mulai mereda.
Dan gadis itu mengangguk yakin, ia berdiri. Ditatapnya Reandra, lantas hampir saja tawanya kembali tersembur jika ia tak dengan cekatan membekap mulutnya sendiri.
Gadis itu kemudian mengusap pipinya yang basah oleh air mata.
"Ah, maafkan aku, hehe. Aku tak bisa menahannya." Reandra hanya memutar bola matanya sebagai tanggapan.
"Pertanyaan mu tadi?"
"Ah ya! Aku tak main-main, itu serius. Apa itu REBORN?"
Reandra menghela nafasnya panjang, "Aku tak yakin apakah aku boleh memberi tahu mu." gumamnya ragu.
"Apa?"
"Ah tidak. REBORN adalah nama kelompok kami. Sekarang sudah jarang di sebut, karena yang memberi nama itu sudah tak lagi bersama kami. Itu seperti kata-kata tabu. Apalagi jika kau menyebutkannya tepat didepan wajah Ryveal." Reandra menjelaskan.
Myra mengangguk paham, dirinya pun langsung tahu siapa yang Reandra bilang 'Tak lagi bersama kami'.
Keduanya kemudian kembali fokus pada pekerjaan masing-masing. Membiarkan mulut mereka diam, namun tidak dengan pikiran yang sedang sibuk menebak dan mengira-ngira.
***
Jarum pendek pada lingkaran penuh angka itu perlahan namun pasti mendekati angka 12. Cahaya lampu yang sedari sore tadi terpajang, kini dipadamkan dan diganti dengan pendar-pendar cahaya rembulan.
Kriiett..
Derit brankar yang begitu lirih membangunkan El. Gadis itu kaget, dan dengan cekatan mendudukkan diri. Matanya yang merah akibat kantuk, seakan menyala.
Namun hal tersebut tak berlangsung lama. El segera menghembuskan nafas nya panjang tatkala dilihatnya bayangan Myra pada kain pembatas yang tengah duduk di sisi brankarnya sembari memegang sebuah cangkir.
Malas, El pun berniat kembali membaringkan badan dan memejamkan matanya. Sayangnya, rasa penasaran mengalahkan.
Di singkapnya kain putih itu. Lantas El menyipitkan mata, tak biasanya seseorang di hadapannya mengunci mulut dengan mata yang menatap kosong kedepan. Itu amatlah langka.
"Hei."
Dan demi menuntaskan rasa penasarannya, El pun menegur.
Satu detik..
Dua detik..
Tiga detik..
Nihil. Tak ada sepatah katapun yang keluar dari mulut super cerewet itu. Kedua bibir ranum itu setia mengatup.
Hingga akhirnya El memutuskan untuk tidak perduli. Gadis itu kembali menutup tirai pembatas, membaringkan badan, untuk kemudian kembali berselancar di alam mimpinya. Walau untuk kembali memasuki bunga tidur itu ia butuh beberapa menit, sebab pikirannya masih berputar pada si Rambut Merah.
***
"El, bangun!" bahu itu digoyangkan nya. Nahas, yang dibangunkan tak kunjung merespon. Myra menghela nafasnya sembari memutar bola mata.
Malas membuang-buang waktu sebab beberapa orang sudah menunggunya, Myra pun memutuskan mencabut sumpalan yang menutupi kedua lubang telinga El.
Berhasil! Kelopak mata itu secepat kilat terbuka. Geraman marah terdengar, sempat membuat Myra ketakutan walau hanya beberapa detik.
El segera duduk, ditatapnya sangar Myra seakan-akan dirinya ingin menelan bulat-bulat manusia berambut merah dihadapannya itu. Yang di intimidasi hanya bisa meringis, sebelum kemudian menunjuk ke arah kanannya dengan bola mata.
Walau dengan kekesalan yang masih memuncak, El tetap mengikuti kemana arah mata Myra memberi kode. Dan sepersekian detik selanjutnya, satu alis tebal itu terangkat.
El kebingungan ketika mendapati seluruh anggota tengah berkumpul. Duduk melingkar layaknya hendak melaksanakan ritual makan. Namun anehnya, disana sama sekali tak tersedia hidangan apapun. Juga wajah-wajah yang selalu sumringah jika memang itu adalah waktu makan, sama sekali tak nampak. Justru kebalikannya, raut tegang lah yang mendominasi.
El kembali menatap ke arah Myra, bermaksud bertanya apa gerangan yang tengah terjadi. Dan sebagai jawaban, Myra hanya mengendikkan bahunya, lantas mengajak El untuk bergabung lewat isyarat kepala.
El dibuat makin kebingungan, namun gadis itu tetap turun dari Brankar nya dan berakhir duduk di samping Myra dalam lingkaran itu.
Hening.
Semuanya mengunci mulut rapat-rapat. Hanya lirikan-lirikan sekilas yang dapat El tangkap. Nampaknya, bukan hanya dirinya yang kebingungan, melainkan semua anggota.
"Ekhem."
Dan suara dehaman Arify mengacaukan kebingungan para manusia itu. Membuat seluruh atensi berpusat pada wanita berambut hijau.
Tiba-tiba saja, tak lama setelah deheman tersebut, selang beberapa detik kemudian Ryveal memutuskan untuk berdiri.
Lelaki itu dengan gugup menatap satu demi satu pasang mata yang ada disana. Perban yang membalut beberapa bagian tubuhnya, sungguh menjadi pelengkap yang dramatis.
"Maaf."
Seolah-olah sedang menampaki suatu hal yang amat fantastis, masing-masing bola mata itu tak bisa menahan diri mereka untuk terbuka lebar-lebar. Bahkan mungkin saking terkejutnya, beberapa dari mulut itu sedikit menganga namun tanpa ada suara sedikitpun yang terdengar.
Angin berhembus kencang, meniup dedaunan dan menimbulkan suara krasak-krusuk yang khas.
"Teman-teman.. aku minta maaf tentang kejadian kemarin malam.." Helaan nafas penuh penyesalan mengudara, membuat suasana semakin mengharukan.
"Aku sadar jikalau perbuatan ku malam itu amatlah tidak terpuji. Aku terlalu egois, aku terlalu memikirkan perasaanku sendiri sampai-sampai mengatakan hal yang mungkin menyakiti hati kalian. Aku minta maaf, teman-teman.."
Kepala Ryveal semakin menunduk dalam, raut penyesalannya yang terpampang jelas perlahan-lahan menyembunyikan diri. Dan secara tak sadar, nyatanya perasaan mendalam itu merambat. Menghinggapi satu persatu insan yang kini ikut menundukkan kepala mereka.
"Hei Rambut Hitam, sejujurnya aku tak akan bisa memaafkan mu. Ah bukan, lebih tepatnya kata maaf tak akan cukup bagiku—"
"El!" Myra menyikut pinggang gadis yang masih bermuka bantal itu. El menoleh, mengangkat satu alisnya.
"Bukannya itu wajar?"
Myra sempat terkejut tatkala frekuensi suara El sedikit meninggi. Dan El sendiri, secepat kilat mengalihkan perhatiannya kearah Ryveal yang kini masih berdiri dengan beribu tanda tanya di kepalanya.
"Dia sudah menganggu jam tidurku, tahu! Acara minta maaf di pagi buta? Apa-apaan itu! Lihat! Masih pukul enam pagi! Dua jam ku- ah aku tak mau tahu, intinya minta maaf saja tak akan cukup!"
"Aduh."
Itu suara Myra yang reflek ketika sikut El menusuk perutnya. Kedua orang itu akhirnya saling bermain mata, untuk kemudian saling berkedip.
"Benar! Benar apa yang dikatakan El! Minta maaf saja tak akan cukup, Ryveal! Kau harus membayar lebih karena sudah membuat kami hampir terkena serangan jantung malam itu!" ujar Myra dengan ekspresi bersungguh-sungguh. Gadis itu bahkan beberapa kali menduding kan telunjuknya kearah Ryveal.
Hening. Tak satupun orang membuka suara. Melainkan seluruhnya menaruh atensi kepada dua orang yang nampaknya semakin gelisah.
"Sial, El. Lelucon mu tak berhasil. Kau membuat ku malu!" desis Myra setelah sempat merapatkan badannya ke arah El.
Dan tepat ketika Myra hampir memutuskan untuk izin pergi ke toilet, tiba-tiba saja kekehan kecil terdengar dari mulut Ryveal. Disusul beberapa orang lainnya.
Ya, lelucon mereka berhasil.
***
"Ryveal, kau yakin?" Entah sudah keberapa kalinya Myra menanyakan hal tersebut. Membuat El yang berjalan tak jauh darinya bersiap memasang penyumpal lubang telinganya.
"Ya, aku yakin. Kalian akan tinggal satu sampai dua minggu lagi disini. Kalian juga akan ku beri latihan-latihan kecil mengenai cara menembak, menggunakan gun ramset, dan berbagai cara untuk bertahan hidup. Kalian pun akan ku bekali perlengkapan lainnya seperti kendaraan, pakaian, dan senjata."
Mata Myra berbinar-binar. Mungkin ia sedang membayangkan dirinya yang tengah berperang senjata demi melawan para Zombie itu.
"Tapi kenapa? Bukankah kami sama sekali tak menguntungkan kalian? Kami hanya beban."
Ryveal menghentikan langkahnya, ditatapnya Myra dengan intens. Kemudian laki-laki itu tersenyum, begitu manis.
"Itu sebagai apresiasi atas keberanian kalian. Ketahuilah, aku amat kagum pada ZEMA. Bahkan mungkin bisa dibilang, aku mengidolakan kalian."
Langkah lelaki itu kembali berlanjut. Namun tidak dengan Myra yang nampaknya tengah melayang di antara awan-awan.
"Jalan, bodoh!" tegur El malas.
Myra terkekeh kecil, sebelum akhirnya berlari kecil demi mengikis jarak nya dengan Ryveal.
"Yakin hanya itu? Agaknya terlalu aneh jika hanya itu alasannya. Kau yakin tak ada hal lain yang kau sembunyikan?"
Ryveal tersenyum kecil. "Ada, tapi tidak untuk dikatakan saat ini."
Paham jika akses nya terbatas, Myra akhirnya bungkam. Gadis itu memutuskan untuk mengoceh dalam pikiran, dan berencana mengajak El untuk bertukar teori saat hendak tidur nanti.
"Hei, sepertinya itu manusia?!" Celetukan Myra membuyarkan lamunan Ryveal dan membuat El melepas penyumpalnya. Ketiga manusia itu kemudian menyipitkan mata.
Benar saja, disana, di halte bus yang sudah berlumur darah, seorang kakek tua tengah merehatkan diri dengan sebuah bakul di sampingnya.
Lekas-lekas ketiga orang itu menghampiri, sedikit berlari. Tepat ketika ketiganya hampir sampai, kakek itu menyadari keberadaan mereka. Lalu dengan cekatan segera berdiri sembari menodongkan pisau nya.
"Aduh, tenang kakek, kami manusia." Myra memberitahu. Kakek itu pun mengangguk-angguk paham sembari kembali menyimpan pisaunya kedalam bakul.
Ketiga orang itu kemudian duduk disamping sang Kakek.
"Kakek sedang apa disini? Kemana rombongan kakek?"
Kakek tua dengan baju lusuhnya itu tersenyum. "Mau apel?"
—BERSAMBUNG— RABU, 02-06-2021— 16.20—