webnovel

ZEMA : Zombie's War

Keempat remaja itu harus menguatkan tekad mereka untuk menemukan misteri tentang menyebarnya virus Zombie yang membinasakan teman-teman serta keluarganya. *** Bangunan-bangunan yang sudah tak layak ditinggali, dengan gosong disana-sini, menjadi pemandangan sehari-hari bagi keempat siswi SMA itu. Mereka hanyalah remaja yang baru memasuki jenjang pendidikan tingkat akhir, yang secara kebetulan di tempatkan di satu kamar di sebuah asrama sekolah. Ah Tidak, ternyata bukan hanya kebetulan belaka yang melandasi kebersamaan mereka. Mereka ada disana karena diasingkan. Dan diasingkan karena terlalu mencolok diantara yang lain. Mereka yang saling bertolak belakang itu, sekarang harus menyesuaikan diri dan membangun kekuatan bersama untuk bertahan hidup. Tak ada lagi makanan pagi milik kantin yang selalu hambar. Kini mereka harus bersusah payah demi mendapat segenggam roti sisa, itupun jika sedang bernasib baik. Start : 8 Maret 2021 End : ....

KacaHitamBaja · Adolescents et jeunes adultes
Pas assez d’évaluations
16 Chs

Antara mereka berdua

Kelimanya kemudian sepakat untuk tidak berlama-lama di lantai pertama, segera mereka mempercepat langkah hingga menaiki anak tangga dan akhirnya sampai di lantai dua. Benar saja, lantai dua amatlah berbanding 180 derajat dengan yang dibawah sana. Lantai ini bersih, tertata rapi, bahkan ada beberapa peralatan dan camilan-camilan di meja.

"El, kau benar-benar tak takut dengan mereka?" Myra menatap ngeri El yang sudah berselonjor, bersandarkan tembok dan hampir saja memejamkan mata.

"Takut? Pada manusia? Aku lelah, jadi biarkan aku tidur dengan nyenyak." Tutur El sembari perlahan kembali menutup matanya. Myra menggeleng-gelengkan kepalanya, tak habis pikir dengan kawannya yang menganggap enteng musuh yang justru paling menakutkan.

"El, sepertinya kau tak pernah menonton film sorvivor ya? Justru manusia lah monster paling mengerikannya!" jelas Myra menggebu-gebu. El kembali membuka kelopak matanya, kesal nya sudah tak tertahankan. Mengapa gadis berambut merah menyala ini malah lebih cerewet ketimbang ibu-ibu pasar? Sudah. Kantuk El lenyap entah kemana.

"Ya! Aku tak pernah menonton film survivor! Tapi aku memainkan game nya! Dan di semua game, yang paling sulit dilawan adalah bos dari monster! Sedangkan manusia, kalau tidak menjadi beban, paling cuma memberi informasi yang tak begitu penting!" balas El tak mau kalah.

Myra yang ditanggapi ucapannya, justru makin semangat untuk berdebat.

"Astaga El! Itu hanya game! Itu berbeda dengan kondisi sebenarnya!"

"Begitu juga film mu!"

"Bisakah kalian tidak berdebat?" Zen menengahi.

"Orang ceroboh itu yang mulai."

"Maafkan aku, Zen."

CTAK! Srrrkkk! Bug!

Tiba-tiba saja seseorang melompat dari luar jendela tanpa kaca, memasuki ruangan yang sama dengan kelima perempuan cemong itu. Disusul munculnya lima orang yang lain. Wajah yang terlihat beringas itu menatap kelimanya, dengan ekspresi yang amat sulit terbaca.

Keempat orang itu saling tatap, sedangkan Aeghys sibuk sendiri mengamati dari atas sampai bawah penampilan sekumpulan orang dihadapannya kini.

Sekujur badan berlumur darah, itu sudah biasa. Mengingat mereka bukan kelompok yang sedang dari piknik keluarga, melainkan bertempur dengan para Zombie.

Dan alat-alat itu, alat-alat yang tak lagi asing di mata Aeghys. Itu adalah alat yang mampu membuat kita melayang lewat kabel-kabel yang kita tembakkan ke permukaan gedung. Alat itu diletakkan di pinggang. Lalu, pistol yang masing-masing dari setiap orang miliki, yang terduduk manis di dalam kantung nya.

Dua pedang yang bertengger di samping kanan kiri badan, semua hal itu membuat Aeghys semakin yakin bahwa kelompok dihadapannya ini bukan kelompok ecek-ecek.

Namun, satu hal yang membuat sebelah alis gadis itu terangkat. Pakaian yang mereka kenakan, dan aksesoris pakaiannya.

Semuanya brand ternama!

Lihat itu, sepatu yang dikenakan keenam orang itu, semuanya keluaran brand Donvers dan Quma! Brand terkenal yang hampir seluruh manusia tahu itu. Lalu jangan lupakan celana si Lelaki Rambut Hijau, Itu jelas berlabel Shannel! Apalagi baju kemeja yang dikenakan si Lelaki Rambut Biru, itu Hucci!

Aeghys menggelengkan kepalanya tak percaya. Mungkinkah, kelompok yang tengah berhadapan dengannya saat ini, selain membunuh para Zombie, mereka juga mencuri?

Berbeda dengan Aeghys yang sibuk mengamati penampilan, Zen sekarang sedang panik. Dirinya dilanda kebingungan. Sedari tadi dirinya dan ketiga kawannya itu bertatapan dan berbicara lewat batin, dan ia mendapat kesimpulan bahwa dirinya lah yang akan bertanggung jawab atas segalanya.

Gadis berambut ungu yang dicepol asal itu kemudian menoleh ke arah sekelompok manusia yang berjarak sekitar empat meter darinya. Kemudian Zen menegak salivanya, menatap satu persatu wajah sangar mereka.

Gadis itu lantas menyengir lebar.

"M-maaf, kami tak bermaksud memasuki kawasan kalian tanpa izin. Kami akan pergi sekarang juga, sekali lagi maafkan kami." Zen tersenyum canggung, lalu dengan amat kaku mengambil tas ransel nya yang telah sempat ia letakkan di lantai.

Ketiga orang lainnya plonga-plongo, mereka kemudian mengikuti gerakan Zen mengambil tas masing-masing.

"Kalian tak perlu meminta maaf, justru kami telah menunggu kedatangan kalian selama ini." Salah satu dari rombongan itu maju dengan senyuman manisnya.

Brak!

Salah satu dari rombongan itu terjatuh dengan amat keras, namun karena kesigapan tangannya, ia langsung berposisi push up. Dan muncullah satu orang lainnya.

Orang yang berwajah paling tak ramah dan datar di antara ketujuh total manusia asing itu.

"Sudah kubilang, hilangkan kebiasaan burukmu yang biasa berdiri di depan pintu masuk, Ghrear." tutur orang itu kepada si Rambut Hijau yang jatuh karena dirinya. Decakan kecil terdengar, itu dari Ghrear, lelaki itu kemudian berdiri dari posisinya, lalu menatap sebal kearah si Hitam. Orang yang telah membuatnya tersungkur tadi.

Plak!

"ARIFY!"

"RYVEAL!"

Seisi ruangan benar-benar tak menyangka apa yang baru saja mereka saksikan, begitu juga lelaki beraura paling kelam yang jadi sasaran telapak tangan Arify yang entah sejak kapan sudah berada di hadapan lelaki itu.

Lelaki itu mendecih, tamparan perempuan di hadapannya itu tidak keras-keras amat. Tidak sampai membuat giginya rontok, namun cukup membuat pipinya cenat-cenut. Ryveal perlahan menoleh kedepan, sedikit menunduk, demi menatap perempuan yang telah dengan lancangnya melakukan hal seperti itu padanya.

"Apa kau ada masalah denganku?" Ryveal menatap lekat kedua mata Arify. Sedangkan yang ditatap terlihat sebisa mungkin mengendalikan emosi nya yang meledak-ledak.

Arify marah, dan penyebab kemarahannya belum diketahui hingga tamparan kedua mengenai telak sisi pipi Ryveal lainnya.

Plak!

"HEI!"

Ryveal mengangkat tangannya, mempertontonkan telapak tangannya kepada salah satu anggota rombongan yang hendak memarahi Arify atas kelancangan gadis itu.

"Apa kau ada masalah—"

"DIAM KAU LAKI-LAKI BIADAB!" teriak Arify marah. Ryveal semakin kebingungan, di samping tamparan yang cukup membuat pipi berdenyut-denyut, ia sama sekali tak kenal dengan perempuan di depannya ini, bahkan melihat wajahnya pun sepertinya baru pertama kali.

"Kau—! Kau adalah lelaki paling brengsek yang aku tahu! Lelaki yang tak punya hati! Tak kenal rasa empati! KAU BEDEBAH BIADAB!!" Arify masih tak terkendali. Dan tak ada satupun yang berani menengahi keduanya, sebab tak tahu apa gerangan yang menjadi pokok masalahnya. Dan lagi, wajah sangar Arify membuat mereka takut apabila menjadi korban salah tamparan apabila hendak melerai.

"Atas dasar apa kau memaki ku seperti itu? Aku bahkan tak ingat pernah bertemu denganmu sebelumnya-"

"Kau tak ingat? Kau tak ingat perempuan yang menangis di kamar mandi meratapi kepergian orang yang ia sayangi? KAU TAK INGAT JIKA KAU TELAH MEMBERI JARAK ANTARA KEPALA DAN LEHER SAHABATKU MALAM ITU?! KAU TAK INGAT?!" Perkataan tenang Ryveal di potong begitu saja oleh Arify.

Bahu gadis itu naik turun, tangannya mengepal hiingga buku-buku nya memutih. Rahangnya mengeras, ia kembali teringat peristiwa yang amat ingin ia hapus dari ingatan. Peristiwa yang teramat kelam, dan peristiwa yang terus menghantuinya.

ZEMA dan rombongan yang mendengar kalimat Arify, tak mampu menampik keterkejutan mereka. Bahkan Ryveal, pupil matanya mengecil saking tak menyangkanya. Ryveal menunduk dalam, ia tak berkeinginan untuk menyangkal perkataan Arify yang memang sepenuhnya adalah kebenaran mutlak.

"Kau.. kenapa kau melakukan itu..? kenapa kau membunuh sahabatku? Kenapa? Kenapa kau melakukannya? JAWAB AKU BAJINGAN! Kau begitu bengis malam itu.. kemana nyali setanmu itu?! KENAPA KAU SEKARANG BERLAGAK MENJADI KORBAN, BRENGSEK!!"

"AKU TAK BERSALAH!!" teriak Ryveal tak kalah kencangnya setelah diam dan mencoba untuk tak tersulut.

"Apa yang kau maksud dengan tak bersalah-? Kau tak membunuhnya? TAPI AKU MENYAKSIKAN SEMUANYA!!!"

"MEREKA MEMBUNUH HALYNA!!"

Arify tak menyahuti perkataan Ryveal. Perempuan itu tak mengerti, ia tak tahu siapa itu Halyna, dan mengapa nama itu disebut di tengah perdebatan mereka mengenai sahabatnya.

"Mereka membunuh Halyna.. dan ketika Halyna berubah menjadi  kawanan mereka, aku tak tahan.. ia terlihat tersiksa.. lalu aku membunuhnya.. dan selepas itu aku menyesal.. menyesal telah membunuhnya." Air mata itu jatuh, membelai pipi Ryveal yang terlihat paling tegar namun nyatanya paling rapuh. Lelaki itu segera mengusap kasar air matanya, bagaimanapun, ia harus menajaga harga dirinya.

"Emosiku meledak-ledak, aku tak bisa berpikir jernih saat itu, aku lepas kendali." Perlahan, kepala itu semakin menunduk dalam. Bahunya semakin naik turun tak terkendali. Isakan semena-mena keluar dari celah kedua bibirnya yang sudah mati-matian ia paksa bungkam.

"Lalu, demi melampiaskan kemarahanku, aku meletakkan segala kesalahan pada 'mereka', dan menebas massal leher 'mereka'. Bahkan saat itu, aku tak bisa merasakan kelingking ku yang ikut tertebas pedangku sendiri! Karena nyatanya, rasa sakit di dalam lebih parah dan lebih menyiksa. Begitu sakit.. begitu sesak.. sampai rasanya aku kehabisan nafas.."

Ryveal memukul dada kirinya berulang kali. Deraian air mata yang jatuh membasahi ubin semakin deras saja. Hal itu membuat manusia-manusia lainnya yang bergeming ikut merasakan betapa sengsaranya Ryveal saat itu.

Sekejap setelahnya, jari-jemari Ryveal terangkat, lelaki itu mengusap kasar kedua pipinya. Kemudian diikuti kepalanya yang juga terangkat sampai menengadah keatas, lantas ia menghela nafas kasar.

Kepala itu lalu turun, mata itu pun menatap tajam netra Arify.

"Tapi, kau tak punya hak memarahiku. Jika bukan karena ku, kau tak akan ada disini. Zombie-zombie itu pasti sudah membuatmu menjadi seperti mereka! Dan aku pun menyelamatkan kawanmu dari penderitaannya!" Nada kalimat Ryveal terdengar sedikit membentak, seakan-akan ia menegaskan bahwa dirinya tak pernah mutlak bersalah.

Arify tersenyum kecut setelahnya, ditatapnya lamat-lamat netra kelam itu.

"Sayangnya, Charise masih manusia saat kau memenggal kepalanya." Tes! Air mata itu lagi dan lagi terjun tanpa izin melewati pipi mulus Arify. Gadis itu masih setia tersenyum, senyum pahit yang menyakitkan.

Sesaat setelah Arify mengatakan fakta itu, Ryveal bagai di cambuk ratusan kali, lelaki itu lemas dan langsung terduduk di lantai. Tiba-tiba saja kakinya seperti tiada daya mengetahui bahwa ia telah membunuh manusia waras, mengetahui bahwa ia telah menjadi bagian dari kawanan monster itu.

Mata itu sempat linglung sejenak sebelum akhirnya meneteskan lagi deraian nya. Rintik hujan membasahi ubin lantai. Lelaki itu menunduk dalam, rasa bersalah yang amat besar menggerogoti hatinya.

"M-mafkan aku.. aku tak bermaksud.. aku tak.. maafkan aku.." Ryveal bersujud. Memohon ampun pada Arify yang juga sudah berderai air mata. Arify yang memiliki hati serapuh daun di musim semi, tak mampu menahan rasa kemanusiaan nya yang sudah amat jatuh. Ia tak tega melihat Ryveal yang memohon di bawah kakinya. Dan semua itu berakhir dengan Arify yang tanpa sepatah katapun, langsung pergi menuju pojok ruangan. Ia meringkuk, memeluk lututnya dan membenamkan kepalanya, untuk kemudian menangis tersedu.

Ryveal pun sama halnya, lelaki itu masih dalam posisi bersujud, menangisi dan menyesali perbuatan kejinya yang tak termaafkan.

Begitulah malam itu terlewati, disaksikan rembulan yang setia mengabadikan segala kenangan, menempanya menjadi ukiran, dan memajangnya dilintas pikiran.

***

Pagi ini, setelah semua orang sudah terbangun dari tidur super tidak nyaman mereka semalam, kini, sepuluh orang itu tengah saling duduk melingkar. Dengan dua orang yang bermata sembab dan sisanya tersenyum kikuk.

"...ah sial! Kenapa kau masukkan gula dan bukannya garam?!"

"Hei! Kau menyalahkanku?! Yang salah itu adalah toplesnya! Disana tak ada keterangan bahwa itu gula dan bukan garam!"

"Kau buta?! Kau sekarang malah menyalahkan toples?! Apa kau tak bisa membedakan antara garam dan gula?!"

"Ya! Aku tak bisa!"

"Apa?! Bahkan anak umur lima tahun saja bisa! Kau.. kau apakah benar koki andalan mereka?!"

"Hei! Jangan menghinaku!"

Keributan dari dapur yang timbul oleh percekcokan antara Myra dan Ghrear berhasil memecah suasana hening diantara sepuluh orang itu. El, gadis itu menghela nafas, lantas berdiri dari posisi selonjorannya. Lalu ia menepuk-nepuk pantat, kemudian bersiap melangkah ke dapur untuk menghentikan perang mulut di belakang sana.

Yang lain hanya menatapnya berjalan, tak ada yang berniat basa-basi sama sekali.

Tiba-tiba langkah kaki El terhenti. "Siapapun, sapu lantai itu." ujarnya sebelum akhirnya melanjutkan langkah nya yang tertunda.

Ke sembilan orang itu kemudian saling pandang, lantas satu lagi manusia berjenis kelamin perempuan berdiri. Sama halnya seperti yang dilakukan El sebelumnya, perempuan berambut cokelat yang disanggul asal itu pun menepuk-nepuk pantat.

"Apa yang akan kau lakukan, Blaz?" Itu pertanyaan si Rambut putih, wanita yang terlihat paling feminim di sana. Rambut nya digerai, lurus menjuntai hingga pinggang.

Blazert, perempuan itu memutar bola matanya.

"Menurutmu apa, Clau? Apa lagi jikalau bukan membersihkan lantai yang tengah kau pijak itu? Kita membuat tamu sampai mengkritiknya, seseorang tidak menjalankan tugasnya dengan baik dan mempermalukan kita." Mata Blazert melirik sinis kearah Rosylane. Gadis berambut pink berombak yang juga tergerai sepinggang.

Rosylane yang menyadari bahwa dirinyalah yang sedang di bicarakan, akhirnya berdiri. Gadis itu, dengan raut cemberut dan pipi menggembung nya, memelintir ujung rambut miliknya sendiri.

"Biar aku saja yang membereskan. Itu tugasku." tukasnya sebal sembari berbalik dan berjalan cepat menghampiri sebuah sapu yang sengaja di gantungkan di tembok.

Setelah meraihnya, gadis dengan penampilan serba pink itu berlari kecil ke pojok ruangan.

"Hei, aku tak mendengar permintaan maaf sama sekali. Kau mendengarnya, Clau?" Claudy, perempuan manis yang tutur katanya selalu menenangkan hati itu menggeleng kecil sembari terkikik.

"Ish! Maaf! Maafkan aku! Aku salah!"

"Lihatlah itu, Kay. Sudah delapan belas tahun namun kelakuannya masih seperti balita, bukankah miris?" Lelaki berambut biru dengan raut wajah datarnya itu mengangkat bahu, tanda tak mau ikut campur dalam permainan kawan-kawannya.

"Ayolah, Kay! Katakan Ya saja! Kau bisa membuatku bahagia!" Kaeya menatap risih kawannya, lantas ia kemudian berdiri.

"Terserah. Aku mau tidur, jangan berisik. Terutama kau, Reandra." Kaeya, lelaki itu lalu pergi begitu saja menuju ranjangnya. Membaringkan badan dan menyumpal kedua lubang telinganya menggunakan earphone.

"Kaeya! Sialan kau!" Di acuhkan kawan sendiri membuat Reandra mencak-mencak, apalagi di tambah dengan para perempuan yang menertawainya dalam diam. Reandra, lelaki jahil berambut cokelat pirang itu, dilanda malu.

—BERSAMBUNG— 11.50 — RABU, 5 MEI 2021 —