webnovel

ZEMA : Zombie's War

Keempat remaja itu harus menguatkan tekad mereka untuk menemukan misteri tentang menyebarnya virus Zombie yang membinasakan teman-teman serta keluarganya. *** Bangunan-bangunan yang sudah tak layak ditinggali, dengan gosong disana-sini, menjadi pemandangan sehari-hari bagi keempat siswi SMA itu. Mereka hanyalah remaja yang baru memasuki jenjang pendidikan tingkat akhir, yang secara kebetulan di tempatkan di satu kamar di sebuah asrama sekolah. Ah Tidak, ternyata bukan hanya kebetulan belaka yang melandasi kebersamaan mereka. Mereka ada disana karena diasingkan. Dan diasingkan karena terlalu mencolok diantara yang lain. Mereka yang saling bertolak belakang itu, sekarang harus menyesuaikan diri dan membangun kekuatan bersama untuk bertahan hidup. Tak ada lagi makanan pagi milik kantin yang selalu hambar. Kini mereka harus bersusah payah demi mendapat segenggam roti sisa, itupun jika sedang bernasib baik. Start : 8 Maret 2021 End : ....

KacaHitamBaja · Adolescents et jeunes adultes
Pas assez d’évaluations
16 Chs

Akan tiba saatnya

Hari-hari selanjutnya berlalu seperti biasa, rutinitas yang sama dilakukan berulang, tak jarang di selingi pertengkaran kecil di antara mereka. Jika dihitung, kini genap enam hari sudah mereka menetap di Laboratorium Fisika.

"Sudah siap?" Itu Zen. Ia memutar pandangannya ke segala arah, tepatnya kepada empat kawannya yang juga berpenampilan mirip-mirip dengan dirinya.

Mereka memakai ransel masing-masing, kedua tangan yang memegang senjata, dan beberapa pelengkap lainnya agar menjadi lebih siap.

Anggukan serentak Zen terima. Gadis itu pun tersenyum kecil, lantas menghela nafas dan menekan knop pintu itu perlahan. Menariknya, lalu menjadi orang pertama yang keluar dari ruangan itu malam ini.

Keempat kawan lainnya mengekor dari belakang, hingga setelah pintu Laboratorium kembali ditutup, kelimanya segera membuat formasi. Mereka saling memunggungi satu sama lain, Myra berdiri di tengah-tengah, sebab menurut survei, Myra lah yang paling lemah.

Mereka mulai berjalan, El mengawasi bagian belakang, Arify bagian kanan, Aeghys di kiri, dan Zen tentu saja di depan.

Bau busuk tak dapat dihindari, itu memang sudah menjadi pengharum ruangan sejak mereka menapakkan kaki di lorong ini berhari-hari yang lalu. Bangkai manusia di lapangan menjadi berkurang tujuh puluh persen, menyisakan tulang-belulang yang berserakan tak beraturan, akibat di tendang-tendang para gagak.

Kini tujuan kelimanya adalah keluar dari sekolahan ini bagaimanapun caranya, lalu pergi ke kantor polisi bertingkat dua untuk menemui mereka yang hobi 'terbang'.

"Hei, tetap fokus, El!" geram Myra ketika El dengan sengaja mencubit lengannya. Yang di kritik justru menyengir lebar merasa tak bersalah.

"Kita sampai, bubarkan formasi." Keempat remaja itu langsung melaksanakan perintah Zen tanpa protes. Sebab, Zen memang melakukan apa yang telah mereka sepakati. Ya, rencana.

Kelimanya kini berbaris secara horizontal, menghadap sebuah pintu megah nan besar tepat di depan mata. Itu pintu Aula Sekolahan. Kelimanya kemudian melangkahkan kaki bersamaan menaiki anak tangga, membuka pintu yang tidak lagi terkunci—sebab El sudah membobolnya sehari yang lalu—lantas duduk berlesehan di dalamnya.

"Jam?"

"22.35"

Aeghys mengangguk-angguk, lalu kembali menatap pintu yang ada di depannya. Bukan, bukan, itu bukan pintu masuk Aula yang tadi, melainkan pintu yang akan menghubungkan mereka dengan lapangan upacara.

"Satu setengah jam, itu waktu kalian untuk mempersiapkan diri." Aeghys memberitahu. Semua orang disana mengangguk canggung, kini mereka tak tahu apa yang harus mereka lakukan. Seharusnya mereka mengobrol dengan santai agar lebih rileks dan rencana akan berjalan lancar, mereka tentu menganggap hal tersebut adalah kacang, namun mereka tak pernah tahu, mencari topik secara dadakan sulitnya bukan main.

Hal itu berlangsung bermenit-menit kemudian, itu membuat Aeghys geram. Ia sebal menyadari bahwa teman-temannya amatlah tidak profesional. Seharusnya jauh-jauh kawannya itu sudah mempersiapkan topik untuk dibahas, namun sekarang apa? Mereka semua bagai orang tolol.

"Kalian—"

"Kenapa kau dan Arify sangat lama membuat ramuan itu? Ditambah jumlah ramuan yang benar-benar pas, apa itu tidak terlalu aneh? Mengingat kalian yang amat jenius dan rumah kaca yang berlimpah hartanya." Zen memotong, mungkin ia tahu jikalau Aeghys hampir memuntahkan kata-kata pedasnya.

"Kenapa kau tanyakan itu padaku?" Zen mengangkat alisnya kebingungan. Ditatapnya Aeghys yang justru tengah memandang sengit Myra.

"Maksudmu?"

"Pertanyaan itu miliknya sepenuhnya." Zen mengikuti arah pandang Aeghys, ia masih tak mengerti. Yang di lihat Aeghys sekarang adalah Myra, remaja yang belakangan lebih sering melamun dan jarang tersenyum. Serta jangan lupakan mata panda nya yang 'katanya' akibat dari bergadang semalaman menjaga penelitian.

Aeghys kini balik menatap Zen yang malah bengong. Ia berdecak malas, memutar bola mata, "Aish, orang-orang bodoh ini..!"

"Tanyakan hal itu pada Myra! Tidak bisakah kau mengerti itu?" Zen tersentak kaget, tak menyangka frekuensi suara Aeghys yang biasanya setenang air, kini meningkat tajam. Ditatapnya Aeghys yang justru menatap balik dirinya dengan garang.

"Apa?!" Sentak Aeghys lagi.

"Eh? Ah, k-kau sedang datang bulan kah?" Zen takut-takut bertanya, ia bahkan tak sadar ketika yang lainnya perlahan mendekat kearah mereka berdua, merasa tertarik dengan topik yang tengah keduanya bicarakan.

Aeghys menghela nafas, lalu mengangguk setelah sempat menutup wajahnya dengan kedua tangannya. Ia malu.

"Maafkan aku, aku tak bisa mengontrol nya." gumamnya masih dengan posisi yang sama. Tak lama kemudian, setelah hening beberapa detik, tawa pecah terdengar menggema di ruangan, menyentuh langit-langit yang telah menjadi pemukiman harmonis para laba-laba gudang dan laba-lab tengkorak.

Aeghys perlahan mengangkat wajahnya, terheran-heran mengapa kawannya tiba-tiba bertingkah aneh.

"Ada apa?" Tanyanya.

"Tidak, kami hanya tak menyangka, kau bisa bertingkah seperti itu. Itu benar-benar tidak pernah terpikirkan oleh kami sebelumnya, haha." Arify tertawa puas. Diikuti yang lain yang semakin tergelak. Tanpa disadari orang lain, bahkan dirinya sendiri, Aeghys menyunggingkan senyum nya.

Kalau diingat, sudah berapa lama tepatnya kelima orang itu terlihat begitu bahagia? Pasti lama sekali.

"Ah, sudah. Myra, kau harus jawab pertanyaan tadi." Myra tersekat, tawanya lenyap begitu saja. Ia menatap keempat temannya bergantian, lantas menundukkan kepala dalam-dalam.

"Maafkan aku, aku benar-benar minta maaf. Itu semua disebabkan olehku, penelitian itu.. harusnya telah rampung di hari pertama Aeghys dan Arify melakukan nya. Tapi, akibat kecerobohan ku yang benar-benar ku sesali, aku tak sengaja menyenggol botol ramuannya dan itu pecah."

Myra berhenti sejenak, mengangkat kepala, lantas menatap ulang empat pasang mata yang menyimak penjelasannya baik-baik. Myra menghela nafasnya panjang.

"Itu membuat Aeghys dan Arify sempat frustasi, bagaimana tidak? Aku mengacaukannya. Dan bahan pokoknya sudah habis, tak tersisa satu lembar pun. Aeghys dan Arify kemudian mengadakan penelitian lebih jauh, mencoba mengganti bahan pokok itu. Dan aku? Aku yang telah mengacaukan semuanya itu, hanya bisa menjaga penelitian mereka dimalam hari." Myra menunduk dalam.

Zen berjalan menghampiri, menepuk-nepuk punggung kawannya dan berkata bahwa, "Semuanya sudah berlalu, sekarang hal itu sudah tidak penting lagi."

"Tapi, katakan padaku, kenapa kau tidak memberi tahu Aku dan El sama sekali? Kalian bertiga malah menyimpan hal itu sendiri, seakan kami ini hanyalah robot yanh tidak punya perasaan." Zen mengerutkan keningnya, menatap tajam Myra, Aeghys, dan Arify bergantian.

El? Dia hanya mengamati situasi dari kejauhan. Ia sepertinya sedang malas berdebat, mungkin menyimak lebih baik.

Arify dan Myra mengalihkan tatapan, entah itu tembok, atap, atau apapun selain Zen. Hingga tatapan mereka berdua terpusat pada Aeghys, gadis itu terlihat tenang seperti biasanya. Kelihatannya, kondisi nya membaik.

"Karena aku tak mempercayai kalian berdua." Itu jawabn Aeghys, dan itu pula yang mampu membuat seluruh manusia di ruangan super besar ini menegang.

"Kenapa?" El angkat bicara. Ia berdiri dari duduknya, berniat mengambil posisi lebih dekat dengan kelompoknya agar dapat mendengar lebih jelas. Lantas duduk kembali di tempat yang ia rasa sudah cukup dekat.

"Simpel saja, siapa yang akan dengan bodohnya mempercayai remaja keluaran tempat rehabilitasi? Bagaimana jika kalian tahu bahwa penelitian tidak berjalan lancar, lantas kalian menggorok leher kami sebab ketidakpuasan karena tak bisa keluar dari sekolah ini? Bagaimana?" Rehabilitasi. Kata itu sungguh mencengangkan bagi keempat orang lainnya.

Aeghys menyeringai menatap El yang terlihat gelisah sendiri.

"Maafkan aku, Myra, Arify. Maaf, sebab aku tak memberi tahu alasan mengapa kalian harus merahasiakan hal itu dari mereka berdua. Mau tahu lebih detail? Aku bisa menceritakannya. Semuanya." Smirk Aeghys semakin melebar saja, menambah tegang situasi di sana.

El memelotokan mata, di lain sisi, Arify dan Myra nampaknya benar-benar penasaran hingga menganggukkan kepalanya berulang kali, berbeda dengan Zen yang justru kebingungan.

"Ah tapi, sebelum ku ceritakan, alangkah baiknya meminta izin terlebih dahulu, bukan?" El makin geram, giginya bergemelutuk di dalam sana, tangannya makin mengepal.

"Tunggu Aeghys, apa maksudmu dengan rehabilitasi? Aku rasa.. aku tak pernah memasukinya sa.. ma.. se.. kali..?" Zen kebingungan, bahkan nada kalimatnya terdengar ragu-ragu. Aeghys hampir tertawa.

"Yakin kah dirimu? Kata-kata mu saja penuh keraguan begitu. Sekarang biar ku tanya, ingatkah apa yang kau lakukan dulu semasa SMP? Mengapa kau bisa begitu pandai mengayunkan pisau-pisau itu tatkala melawan para Zombie—"

"Rambut Kuning!" El dengan cepat memotong perkataan Aeghys yang memang sudah tuntas. Ia telat. Zen tiba-tiba saja memegang erat kepalanya, sepertinya ia pusing.

"Jangan kau paksakan, itu akan menyakiti dirimu sendiri. Ingatan yang hilang itu.. perlahan akan datang kembali, walau sedikit demi sedikit." Aeghys terkekeh, membuat Zen makin kebingungan. El yang geram, dan kedua orang lainnya yang penasaran setengah mati.

"Rambut Kuning, bisakah kau berhenti? Tidakkah kau berpikir kau sudah keterlaluan?"

"Ah, tak ku sangka, seseorang yang membantai habis seluruh—"

"Hentikan! Aku minta kau hentikan omong kosong mu itu sekarang juga! Kau benar-benar melewati batas! Kau.. kau harus diberi pelajaran!" El berdiri, melangkah begitu cepat menuju Aeghys, dan langsung mencengkram kerah baju remaja berambut kuning itu ketika tiba di depannya.

Aeghys di paksa berdiri, dan gadis itu tak menolak sama sekali, malah terlihat lebih senang.

"Kau.. hentikan.. atau kau yang menjadi korban ku selanjutnya." bisik El tepat di telinga Aeghys, wanita itu malah tertawa, tertawa bagai orang gila dengan kerah bajunya yang masih di cengkram erat oleh El.

Namun itu tak berlangsung lama, sekejap kemudian, wajah Aeghys telah kembali serius, menatap tajam El.

"Lepaskan." Ucapnya dengan nada paling dalam yang pernah El dengar, penuh tekanan, dan penuh intimidasi. El melepaskannya, walau dengan cara yang tetap kasar.

Aeghys tersenyum, lebih tepatnya senyum mengejek, tangan kanannya terulur untuk kemudian menepuk bahu lawan bicaranya sebanyak tiga kali.

"Tenang saja, aku hanya mengujimu. Aku hanya ingin bermain-main, aku tak sebodoh itu. Cerita ini tak akan seru jika semua latar belakang lakon utamanya diungkap secepat ini, tunggu saja, dan bersiaplah. Akan tiba waktunya." Aeghys mendudukkan diri kembali.

El masih berdiri di tempatnya, masih menatap sengit Aeghys yang tersenyum bagai tak punya dosa.

"Kau akan berdiri di situ? Jam berapa?" Myra gelagapan, ke cengo-annya terpecah seketika. Ia langsung buru-buru menyingkap lengan bajunya, mengintip jarum jam yang terus berdetak.

"23.20"

"Kau dengar itu? Masih dua puluh menit tersisa, kau tak bisa bertempur dengan emosi mu yang masih campur aduk itu. Sebaiknya kau menenangkan diri." saran Aeghys. Kini ia kembali ke Aeghys versi normal, bukan Aeghys 'gila' seperti yang tadi.

El keheranan, Multiple personality disorder-kah manusia di hadapannya ini? Baru saja ia bertingkah layaknya orang jahat di film-film, sekarang ia kembali acuh tak acuh. Mungkin bukan hanya El yang satu-satunya berpikir demikian, melainkan Arify, Myra, dan Zen pula.

Terutama Arify.

Gadis berambut hijau itu terlihat menjadi orang yang paling terkejut di antara keempatnya, tak pernah terpikir olehnya, seseorang yang menjadi partnernya bertukar pendapat selama beberapa hari ini, bisa bersikap sedemikian rupa anehnya.

El menghembuskan nafasnya berat, ia harus bisa mengontrol emosi. Maka, ia kembali ke tempat duduknya. Menenangkan diri dengan cara menutup mata dan bersandar pada tiang aula.

Hening kembali melanda. Itu semua sebab Aeghys yang sukses besar dalam rangka mengacaukan suasana, dna sekarang, amatlah sukar mengembalikannya.

"Ah, tetapi, kalian harus berterimakasih padaku." celetuk Myra tiba-tiba, mengalihkan seluruh atensi.

"Maksudmu?"

"Begini, Zen, kau tahu, mengapa aku bisa memecahkan ramuan sepenting itu?"

"Dia bukan peramal, katakan saja. Tak perlu bertele-tele." El menyahut. Itu membuat senyum Myra mengembang, situasi kembali kondusif, tampaknya masing-masing pribadi telah tahu bahwa Ego bukanlah yang terpenting sekarang ini.

"Itu karena botolnya sekecil ini." Myra mengangkat jari tengahnya, memamerkan kepada satu-persatu anggota yang mendecih sebal. Mengira Myra sedang membuat lelucon garing.

"Hei, hei, hei! Aku tak bercanda! Botol itu benar-benar sekecil ini!" Myra mencoba menyakinkan, El hanya menghela nafas. Sedangkan Zen dan Arify tak habis pikir.

"Ah benarkah? Lantas mengapa kami harus berterimakasih tentang itu?" El menyahut ogah-ogahan, kasihan bila kawannya itu tak ada yang merespon, itu pasti menyakitkan.

"Oh ayolah El! Botol sekecil itu dengan cairan yang amat sedikit, bukankah jauh dari kata cukup untuk melancarkan rencana ini?" El mengangguk-angguk, begitu pula Zen. Kecuali Arify dan Aeghys yang sudah tahu akan hal yang sebenarnya. Mereka hanya diam dan saling tatap.

Mereka seperti sedang berkomunikasi lewat telepati, sama-sama menatap pasrah. Mungkin mereka simpati pada perjuangan Myra yang terbilang cukup berani namun bodoh.

"Benarkan? Nah, maka dari itu, saat bencana ini telah usai, kalian harus mentraktir aku untuk makan di restoran termahal—"

"Dengan menu termurah." Potong El. Semuanya tergelak mendapati wajah Myra yang langsung kusut bagai baju tak di setrika setahun lamanya.

"Kau memang bodoh, asal kau tahu, ramuan itu memang sedikit. Namun, itu dapat dengan mudah diperbanyak. Bahkan bisa lima kali lebih banyak dari ramuan yang kita miliki sekarang." Aeghys menggelengkan kepalanya, berdiri dari duduknya, kemudian berjalan menuju pintu utama aula diiringi tawa para anggota lain yang mengejek kebodohan Myra habis-habisan.

"Jam?"

Myra gelagapan, ke cengo-annya terpecah seketika. Ia langsung buru-buru menyingkap lengan bajunya, mengintip jarum jam yang terus berdetak.

"23.40" Aeghys mengangguk-anggukkan kepala.

"Bersiap, kita akan bertempur."

—BERSAMBUNG— 22.20 — 07-04-2021—