webnovel

Walas Gua, ya Suami Gua

—Tamat° Perjodohan antara murid dengan guru memang sudah biasa. Tapi bagaimana kalau muridnya yang memaksa kedua orang tuanya untuk menikahinya dengan laki laki yang menjabat sebagai guru disekolahnya. Kamelia Putri, siswi cantik tapi receh menyukai walasnya sendiri. Sahabatnya yang bernama Aliana Zeline ternyata juga tertarik dengan walas mereka. Hal itu membuat Amel melakukan cara yang cukup bar bar untuk mendapatkan cinta walasnya dengan seutuhnya. Gavin Al-Agam adalah seorang mahasiswa yang memiliki kadar ketampanannya di atas rata rata. Suatu hari dia mengalami suatu masalah dan membuat papanya marah. Gavin pikir, papanya akan memberikan hukuman untuk mencabut semua fasilitas yang selama ini Gavin pakai. Ternyata Gavin salah, Gavin dipaksa papanya untuk mengajar dan menggantikan walas yang akan segera keluar karena usianya yang sudah tidak muda lagi. Seorang mahasiswa nakal seperti Gavin menjadi guru dan wali kelas? Apa jadinya?

ndafrh · Sports, voyage et activités
Pas assez d’évaluations
134 Chs

--Chapter 6--

"GAPIN!!!" Teriakan membahana yang berasal dari pintu masuk membuat Gavin yang sedang berada di dapur terkejut.

"Duh emak gue, suaranya kek toa demo!" Gavin segera menghampiri mamanya yang sedang berkacak pinggang menatapnya.

"Kenapa ma?" Tanya Gavin dengan suara yang lembut.

"Kenapa kenapa! NOH MANTU MAMA NANGIS!!!" Ucap Mora selaku mamanya Gavin.

"Loh? Amel kenapa nangis?" Tanya Gavin dengan wajah tanpa dosanya.

"Ga kebagian permen Yupi!" Ketus Mora.

"Lah? Emang siapa yang ngabisin?" Tanya Gavin.

"Gatau! Disini kan cuman kamu sama Amel, kalo Amel yang makan ga mungkin nangis." Mora sedikit menyindir putranya dengan wajah sinisnya.

"Makshud mama, aku yang makan gitu?" Gavin mrnatap mamanya jengkel.

"IYALAH!!" Mora menjawab dengan suara semangat dibarengi nada ketus miliknya.

"Ya Allah maaa..... Gavin makan aja engga," ucap Gavin sambil menggaruk garuk kepalanya yang gatal karena berkeringat.

"Pokoknya mama ga mau tau, diemin tuh anak mama, jangan dibuat nangis mulu Pinn..." Mora sebagai mamanya hanya bisa menghela nafasnya dengan lelah, Gavin makin kesini makin keliatan jahilnya. Bahannya sudah pasti istrinya sendiri, kalau ga sampe nangis, belum puas.

***

"Makasih Kak Gapin." Amel memakan Yupi dengan tenang, Gavin benar benar membelikannya untuk Amel, tidak tanggung tanggung, langsung lima kotak, dan bervariasi, biar Amel juga tidak bosan dengan rasa yang itu itu saja.

"Sama sama," balas Gavin. Gavin mengecup kepala Amel dengan sayang.

Malamnya Gavin makan bersama dengan kedua orang tuanya serta istrinya. Gavin makan sambil memperhatikan istrinya yang tampak imut dengan daster milik mamanya.

"Mama, Amel mau baju ini boleh?" Pertanyaan dari Amel membuat Mora, Ando dan Gavin menoleh ke arah Amel.

"Bajunya adem, enak bangettttt!" Sepertinya Amel tidak pernah memakai daster.

"Loh? Kamu baru pertama kali pake daster sayang?" Tanya Mora.

"Ohhhhh jadi nama dress adem ini daster, belom Ma." Amel tampak kembali makan dengan wajah super nyaman.

"Kenapa? Kok belum pernah?" Mora menatap menantunya penasaran.

"Karena aku baru liat juga, ibu ga pernah pake," jawab Amel.

Gavin terkekeh, Amel ga tau aja kalau ibunya itu setiap mau tidur ganti daster.

"Pernah sayang, tapi pas mau tidur aja," ucap Gavin.

"Kok kamu tau pin?" Setelah lama berdiam, papanya Gavin—Ando—angkat bicara.

"Waktu pas nginep di rumah ibu, aku bangun kepagian, dan ngeliat ibu pake daster, katanya dia kalau pake daster pas mau tidur aja." Buru buru Gavin memberi penjelasan, takut takut otak mama papanya serta istrinya berjalan kesana kemari.

Setelahnya, mereka lanjut makan yang sempat tertunda karena fenomena Amel yang baru pertama kali memakai daster.

***

Amel memeluk Gavin dengan erat, Gavin pun juga memeluk Amel erat. Rasanya Gavin memiliki banyak sekali kehidupan setelah bertemu Amel.

"Kak Gapin janji ga tinggalin Amel?" Tiba tiba Amel berucap seakan besok dia kehilangan Gavin.

"Kok ngomongnya gitu sayang?" Tanya Gavin. Amel mendongak dan menatap mata Gavin dengan teduh.

"Ga ada yang tau kedepannya," ucap Amel. Seperti ucapan perpisahan secara tidak langsung, dan Gavin membenci kata kata itu. Gavin bangun dan mendudukan Amel kepangkuannya.

"Ga ada yang meninggalkan satu sama lain, baik aku maupun kamu," ucap Gavin. Perkataan itu semata mata untuk menenagkan apa yang Gavin resahkan.

Amel hanya tersenyum dan memeluk Gavin dengan sayang.

"Kita bakal sama sama terus..." balas Amel.

Mereka akhirnya tidur dengan posisi berpelukan, apa yang Amel ucapkan benar, ga ada yang tau kedepannya. Kepergian itu sudah pasti, dan semuanya berawal dari pertemuan.

Jangan terlalu berharap dengan pertemuan, bisa jadi perpisahannya lebih cepat, karena ketika sudah berharap, artinya kamu siap ditinggal.

Amel tersenyum kecil merasakan hangatnya pelukan Gavin, hangat dan erat.

***

Amel melangkah dengan riang ke arah kelasnya, Gavin sudah lebih dulu sampai, karena yang tau pernikahan mereka hanya Ana dan Akbar.

"Akhirnya," ucap Amel. Amel sudah duduk manis di kursinya dengan novel di tangannya.

"Amel!" Merasa dipanggil, Amel menoleh ke arah suara itu dan ternyata Ana.

"Lo baru sampe?" Tanya Ana. Amel hanya mengangguk sambil tersenyum.

"Ekhem, Mel. Elo kan udah janji sama gua, kalau gua ikhlasin Gavin, permintaan apapun gua, lo bakal turutin kan?" Amel merasakan hawa yang tidak enak. Amel hanya mengangguk ragu, dan Ana tersenyum kecil.

"Gua boleh ga, ajak Gavin temenin gua ke mall beli ponsel." Amel terdiam kaku, Ana sudah menunjukan mimik menagih janji, mau gak mau Amel mengangguk.

"Tapi..... Boleh ga kalau gua ikut?" Tanya Amel. Senyum yang ada di wajah Ana seketika luntur.

"Enggak."

"Tapi, Pak Gavin kan suami-"

"Mau dia suami elo kek, siapa kek, kalo gua sama Gavin udah jalan, ga boleh ada orang KETIGA. Paham?" Amel mengatakan dengan nada angkuh yang kentara, siapapun akan sebal mendengarnya.

Amel menatap punggung Ana yang semakin jauh, mungkin Ana sedang capek, jadi butuh hiburan pikir Ana. Ana berusaha memikirkan hal yang positif, dan dia berharap hasilnya pun positif.

***

Hari ini ada mata pelajaran Gavin, dan Amel selalu gugup, perutnya mules tak tertahan. Amel memang dari dulu kalau gugup akan merasakan mulas, dan sampai sekarang dia masih merasakannya.

Gavin masuk ke kelas, pelajaran Gavin adalah pelajaran terakhir sebelum istirahat, dan Amel lebih memilih memikirkan makan yang akan dia beli nanti.

"Amel!" Panggilan dari Gavin membuat Amel yang melamun tersentak. Dengan gugup, Amel menarik tangannya ke atas.

"Saya pak, ada apa?" Jawaban Amel membuat seisi kelas menatap Amel aneh.

"Mel! Ini cuman absen, bukan quiz!" Sautan dari teman kelas lainnya membuat Amel tersenyum malu, dengan muka merahnya Amel meminta maaf.

"Maaf pak, saya melamun." Amel menggaruk garuk pipinya dengan tingkah malunya, walaupun teman temannya sudah tidak memperhatikannya, namun tetap saja Amel malu.

Gavin yang sedang duduk hanya tersenyum melihat tingkah istrinya, tentu itu tidak lepas dari mata Ana. Ana yang akan selalu memperhatikan Gavin.

***

Bel istirahat berbunyi, dengan tergesa gesa Amel keluar dari kelas untuk menghindari Gavin. Jantungnya berdegup kencang, dia sadar selama pelajaran Gavin selalu memperhatikannya.

Langkahnya bukan menuju kantin, namun ke arah lapangan indoor yang ada di sekolahnya. Sebelum sampai dilapangan, Amel memekik terkejut ketika bahunya di tarik asal.

"Ak-hmpp"

"Sssttt.... Ini gua." Amel mengenali suara itu, dengan segera dia memutar tubuhnya.

"Akbar," bisik Amel.

"Ssstttt... Diem jangan berisik, liat noh." Amel mengikuti arah yang ditunjuk Akbar.

"Itu kan Ana sama-"

"Ssstttt.... udah dibilang jangan keras keras, mulut lo toa banget sih." Akbar berbicara dengan bisik bisik namun dengan nada kesal yang kentara. Amel hanya mengangguk polos.

"Oke, ga berisik lagi," bisik Amel lagi.

Mereka memperhatikan Ana yang sedang bersama kepala sekolah. Gerak geriknya benar benar mencurigakan. Akbar dan Amel semakin mencari tempaf yang aman.

"Sinian," bisik Akbar.

Amel dan Akbar terkejut ketika mendengar bentakan kepala sekolah itu. Amel dan Akbar sama sama menutup mulut mereka ketika melihat Ana dengan spontan menusuk kepala sekolah mereka.

Ana berlalu dari sana setelah menelfon seseorang, Amel dan Akbar yakin, ada yang tidak beres.

***