Sean, Keynan dan Nanda bukan teman satu kelas dan juga bukan teman satu jurusan. Sean masuk ke dalam Teknik Mesin, Key menjadi penghuni Teknik Otomotif, sedang Nanda dia adalah makhluk dari Teknik Teknologi dan Rekayasa. Jadi, begitu keluar dari kantin, mereka pergi ke ruangan mereka sendiri-sendiri.
Si pemilik rambut coklat lurus ini, dia memilih untuk berkelok ke kanan dan menyusuri celah antara bangunan kantin dan bengkel struktur bangunan. Sengaja, Sean memilih jalan tikus agar tak ketahuan dia bolos kelas. Lurus pintu utama masuk kantin tadi adalah Ruang Guru BK, biasanya, mereka stand by mencyducc siapa saja yang mampir ke kantin tidak pada jamnya.
Ruang kelas Sean bukan ke arah dia berjalan kini, tapi dia memang ingin mampir ke laboratorium CNC sejenak. Sebelum ke kantin dia menjalankan program di mesin 5 axis itu, dia ingin melihat progress komponen yang ia buat sudah sejauh apa. Hanya saja, sedang asyik-asyiknya menyeruput jus alpukat, Sean mendengar suara benturan keras DUAK!
Seketika dia terdiam. Alisnya bertaut dan mata biru gelap itu menajam. Dia menoleh ke belakang, mengamati apakah ada orang di sana. Tak ada. Dia adalah satu-satunya yang berada di sini, di jalanan kecil seperti lorong yang tembus ke area pengolahan sampah dan gardu utama listrik sekolah. Sudah menjadi rahasia umum kalau area ini jarang dikunjungi orang karena selain bau juga tak ada apa-apanya.
Tapi tadi?
Menghirup napas dalam-dalam, Sean menepiskan segala pemikiran konyol. Dengan seksama, ia mendengarkan darimana sumber suara ini berasal.
DAK DUK DAK DUAK BRAK, lagi, Sean mendengarnya. Dia menegang. Memang STM apalagi yang berkecimpung dalam teknik memiliki banyak tempat yang berikan suara bising, hantaman atau barang-barang keras bertumbuk. Namun entah bagaimana, otak Sean memikirkan hal beda.
Suara ini terlalu kasar untuk kegiatan di dalam bengkel.
Karena sayup-sayup … Sean mendengar suara tangisan.
Jantung pemuda itu berdebar kencang. Satu dua, dia mencoba mengambil langkah pelan. Dengan penuh kehati-hatian, ia menggerakkan kakinya, indra pendengar menajam beberapa kali lipat.
"~~~un."
Rasanya listrik 1000 volt menyetrum sekujur tubuh Sean begitu dia mendengar suara itu. Rintihan! Seseorang benar-benar merintih, atau menangis, sama saja! Pokoknya ada orang kesakitan!
Tapi kenapa dari tempat yang tidak ada orang?
Menahan napas, Sean mempercepat langkahnya. Dia berlari dalam keheningan, menyusur lorong sempit. Saat dia berada di ujung, cepat-cepat Sean merapatkan diri di dinding kantin. Pelan dia melirik ke balik sana, ke arah utara. Di belakang tempat pembakaran sampah ada gudang tak terurus, biasanya dipakai menjejalkan barang-barang yang siap kirim ke pasar loak. Nah di sana, Sean bisa melihat seseorang sedang melindungi kepalanya dan tiga manusia lain menendangi makhluk malang itu.
"He-hentikan …" pinta memelas terlempar dari bibir lelaki berambut keriting dan berkulit tan di sana. Dia memeluk kertas sobek-sobek dan buku setengah hancur sambil menunduk, berusaha mengurangi dampak mengerikan tendangan amatiran yang tengah menghabisinya. "Ampun, saya mohon … tolong hentikan," sosok itu meminta lagi, dari suaranya dia seperti menangis.
"Woi, dia nangis woi! Nangis!" tawa menggelegar mengikuti seruan itu. Kemudian DAK DUK DUAK! terdengar. "Lu cewek apa cowok atau cewok sih? Geli gua geliii. Duh mampus saja lu daaah. PUS MAMPUUUS! HAHAHAHA!" si plontos itu berkata lagi sambil terus melayangkan pukul, menghantam kepala si rambut keriting di sana, mengimbangi dua temannya yang sibuk menendang perut dan menginjak-injak kaki.
"JANGAN NANGIS SAT! TAR LU NULARIN VIRUS GEI!! HAHAHA!" kali ini yang berseru adalah sosok gondrong yang rambutnya dikuncir mungil menyerupai ekor tikus. Dia sambil menghina terus menggerakkan kakinya di kaki-pantat-kaki-pantat orang itu.
Sean yang melihat hal ini hanya bisa menghirup napas panjang-panjang, tangannya terkepal kuat, bergetar. Bolak-balik dia harus memantrai dirinya sendiri untuk tidak menerjang ke sana tanpa persiapan. Dari suara, dia tahu cunguk keparat itu bukan anak kelas XII dan bukan jurusan mesin. Dia harus ekstra hati-hati memperlakukan seseorang yang keluar dari batasnya.
Menggeretakkan gigi, Sean melotot ke arah tiga biadab itu. Dia jelas-jelas sudah memberikan peringatan pada seluruh siswa di STM Nusantara jika mereka tak boleh saling serang teman sendiri. Kenapa? Biar solidaritas mereka tetap kuat. But what the fucking shit is happening right now?!
Sean berpikir keras, jusnya sudah lama dia lupakan. Di saat itulah dia mendengar satu dari mereka berkelakar dan menghina profesi orang tua. Yang dari tadi menyerang perut itu yang memulai, dia memojokkan pekerjaan orang tua sosok yang ia bully lalu mengatakan sesuatu seperti, 'kalau orang tuanya saja pak sampah ya kagak heran anaknya jadi sampah masyarakat.'
Di sini, Sean tak bisa tinggal diam. Dia paling tak suka kalau ada orang bawa-bawa orang tua di permasalahan mereka di sekolah. Di mata Sean, bersembunyi di ketek keluarga sangat tak lakik sekali; cemen kuadrat.
Sean membulatkan tekad. Dia ambil ponsel, diam-diam merekam tindak kekerasan di sana. Berkali dia melakukan zoom in zoom out sebelum stop dan memasukkan ponsel itu kembali dalam saku celana. Namun tentu untuk jaga-jaga, mode rekam: on.
Siswa kelas XII itu kemudian meregangkan badan sebentar. Tangan ditarik, kepala kemudian kaki. Tuk wa, tuk—
Sebelum tiba-tiba kakinya bertolak.
Dia menghilang.
Dalam sekejap mata, Sean yang sedang meregangkan kaki berpindah ke belakang manusia sombong di sana. Jarak yang memisahkan tak jadi soal, bahkan dalam hitungan detik, dia memutar badan, melayangkan tendangan samping ke arah perut. Membuat si penerima melayang hingga dia membentur jaring area pengolahan sampah.
Berikutnya, bahkan sebelum dua temannya bereaksi, Sean menggerakkan tangannya ke arah pemilik rambut ekor tikus. Kepalan tangannya melesak di pipi orang itu dan membuatnya terhuyung ke belakang.
"Keparaaaat!" spontan yang tersisa dari pembully itu melancarkan serangan. Tinjuan lebar mengarah ke dada kiri Sean, tapi mudah ia hindari. Yang si penyerang ketahui adalah tiba-tiba tangannya terkunci, lalu dia dilempar kuat-kuat. Detik berikutnya dia menghantam kaki-kaki kuat gardu listrik sekolah.
Melihat cecunguk-cecunguk itu merintih dan berusaha berdiri, Sean menganga, "Njir. Lemah ternyata? Gua kira seterong," komentarnya dengan muka penuh kekecewaan.
"Bangsat!"
"Bajingan!"
Umpatan bisa Sean dengar terlontar bebarengan, yang melakukan adalah orang pertama dan kedua yang dia hajar. Mereka sudah mengepalkan tangan dan berniat maju menyerang sebelum tiba-tiba dipaksa berhenti dengan seruan, "STOOOP!" manusia plontos yang Sean hajar terakhirlah yang berteriak. Pintar.
"Hah? Kenap—"
"BERISIK!" sebelum teman gondrongnya berbicara lebih banyak, si plontos itu memenggal.
"SENDRO! Ada ap—"
"DIEM BIM!"
Sean tertawa melihat perseteruan ini, dia tepuk tangan heboh sekali. Wajahnya puas. Dua orang yang tak paham situasi langsung mendelik, tapi Sean tak peduli.
"M-maafkan kami karena mengganggu aktifitas kakak!" sosok yang sepertinya adalah ketua dari tindakan bullying ini menekuk punggungnya 90 derajat, menghormat ke arah Sean. Dia sedikit bergetar ketika melakukan ini.
Yah. Sudah ia duga, leader dari kekonyolan ini setidaknya masih punya otak.
Pinter.
[]