webnovel

Unfaithful From 2568 KM

Penampilan bukanlah tempat penilaian sikap seseorang, dan hati tidak bisa sepenuhnya dinilai melalui sikap. Terkadang seseorang terlihat biasa saja dalam menghadapi apa yang dia cintai, dan tidak ada yang mengetahui isi hatinya yang sebenarnya. Ibaratkan buah manggis yang nampak gelap dari cangkangnya namun begitu putih, bersih, dan lezat rasa buahnya. Dia sangat mencintaimu, hanya saja dia memiliki cara tersendiri untuk melakukannya. Lalu bagaimana jika di antaranya lupa akan janjinya untuk memeluk erat kembali jiwa yang telah jauh darinya … karena sudah terlanjur jatuh ke dalam pelukan jiwa yang lain? Entah itu teman mereka atau temannya sendiri, yang jelas dia harus benar-benar dilepaskan. Siapa mereka? Siapa yang harus melepaskan, dan siapa yang harus dilepaskan? Biarkan waktu yang mengungkapkan segalanya. “Gue selalu berusaha buat ngisi penuh botol itu. Tapi nyatanya gue gagal.” -Seseorang yang terkhianati

Indriani0903 · Autres
Pas assez d’évaluations
63 Chs

UF2568KM || 10

"Oh iya, masalah Sakti udah beres?" Rein menanyakan masalah Sakti yang waktu itu karena memang mereka belum memberitahukan hal itu pada yang lainnya.

"Udah beres dalam satu malam juga," jawab Haris.

"Ya syukur deh."

"Itu Sakti! Sheril menunjuk Sakti yang sedang berjalan dengan seorang wanita di sampingnya. Terlihat tangan mereka bertautan selama mereka berdua berjalan menuju ke arah teman-temannya.

"Cewek yang ke berapa tuh kira-kira?" Pertanyaan itu keluar dengan mudah dari mulut Jian yang dari tadi sedang memakan kuaci dengan Sheril.

"Ke-21 kali," sahut Haris diiringi tawa renyahnya.

"Sembarangan, ya! kedengeran tau gak suara lo pada dari jauh. Semuanya kenalin, ini cewek gue namanya Cesilla. Kalian bisa panggil dia Cesi."

"Hai, Cesi …!" Sapa mereka serentak setelah Sakti mengenalkan pacarnya itu. "Hai juga, senang bisa bertemu dengan kalian." Sakti dan Cesi pun bergabung dengan mereka.

Rein sempat menatap Cesi dengan tatapan yang sulit diartikan. Namun Haris langsung menarik kepala Rein untuk bersandar di bahunya.

"Lo punya gue sekarang," bisiknya yang membuat Rein tersenyum. Mereka yang melihat ada yang aneh dengan Rein dan Haris langsung memperhatikan mereka berdua.

Mereka berdua masih tidak menyadari jika mereka sedang menjadi pusat perhatian teman-temannya saat ini. Haris terlihat terus membisikan sesuatu sambil sesekali mencubit pipi gembil dan memainkan rambut Rein. Mereka lupa jika mereka sedang tidak berdua di sana.

Ketika Rein dan Haris baru sadar tidak ada lagi suara berisik dari teman-temannya, mereka pun mengangkat pandangan mereka ke arah teman-temannya. Dan betapa terkejutnya mereka saat mengetahui jika ternyata teman-temannya tengah memperhatikan mereka berdua sedari tadi. Dengan segera Rein menjauhkan kepalanya dari Haris dan duduk tegak seperti semula.

"Wahh … kayanya ada yang perlu dijelasin, nih. Ngapain kalian mesra-mesraan kaya tadi?" Sheril menatap mereka berdua sambil menunjuknya satu-satu. "Ckckck … parah, ya."

"Gak kok. Kita cuma iseng aja. Ya kan, Ris?" Haris mengangguk mengiyakan ucapan Rein.

"Gak ada gak ada! Bohong pasti, nih. Kalian berdua diem-diem pacaran, ya? Ngaku ayo!!!" Sheril kembali membuka suaranya untuk meminta penjelasan dari mereka. "Kalian liat juga, kan? Bagaimana Haris sama Rein tadi?"

"Iya …!" Jawab mereka serentak. Sheril menatap mereka berdua sambil menunjuk teman-temannya untuk mengisyaratkan bahwa bukan hanya dia yang melihatnya.

"Udah deh, ngaku ayo lo berdua!" Tegas Jian. Rein memutar bola matanya malas sebelum dia melihat ke arah Sheril dan Jian. "Ini gak ceweknya gak cowoknya sama-sama maksa, ye. Cocok emang sama-sama ngeselin," ujar Rein.

"Udah ngaku aja, Rein!" Kali Ini Erin yang menyuruhnya untuk mengakui semuanya.

"Ris, jelasin dah sama lo." Rein menyuruh Haris untuk menjelaskannya saja. Ia sudah tidak memiliki kalimat penyangkal lagi untuk menghadapi mereka yang sukanya keroyokan seperti itu.

"Iya deh iya. Gue sama Rein emang udah resmi pacaran. Gimana, udah puas, kan?" Haris menarik Rein dan menggandengnya. Mereka semua tertawa melihatnya, kejadian ini sungguh aneh dan bahkan tidak pernah dipikirkan sama sekali akan terjadi oleh mereka. Bagaimana bisa air dan api dapat bersatu?

"Makan-makan kita ayo! PJ itu wajib gak PJ itu dosa." Haris melempar topinya ke arah Jian. "Teori dari mana itu, wahai Bawahan?"

"Dari planet Mars," jawab Jian asal. "Dan maaf wahai kacang gorengku, aku bukan Bawahanmu," tambahnya.

"Iya deh, besok ngantin gue yang bayar." Akhirnya Haris mengalah saja karena dia tidak mau memperpanjangnya ketika menyadari bahwa teman-temannya ini memang tidak akan berhenti bicara jika mereka belum merasa puas.

"Besok itu minggu, dan minggu itu tandanya sekolah libur. Di hari minggu … sekolah kita libur, dan libur itu tandanya kita gak sekolah karena hari minggu itu libur," jelas Jian yang terlewat pintar dan membuat yang lainnya menatapnya kagum.

"Sip, IQ dia sangat tinggi. Iyalah! Kita juga tau kali minggu itu libur. Gue cuma lupa aja kalo besok itu hari minggu. Ya udah, berarti senin gue jajanin kalian biar gak panik." Mereka semua langsung bersorak ria mendengarnya. "Tampangan miskin semua, najis," cibir Haris.

Mereka semua bermain di taman kota selama dua jam lebih, setelah itu mereka pun memutuskan untuk pulang saja karena sudah malam juga.

"Mau beli sesuatu dulu gak, buat dibawa ke rumah?" Tanya Haris sebelum dia menjalankan motornya.

"Gak deh, langsung pulang aja." Haris mengangguk lalu menyalakan motornya dan menyusul mereka yang sudah lumayan jauh dari mereka.

Karena tidak ada yang searah dengan Haris dan juga Rein, akhirnya mereka berdua memisahkan diri dari kelompok mereka ketika sudah menemui pertigaan. Haris sempat membunyikan klaksonnya mengisyaratkan mereka akan memisahkan diri di pertigaan itu.

"Hati-hati, kalian!" Teriak Sheril ke arah Haris dan Rein.

Tidak ada pembicaraan selama mereka dalam perjalanan. Haris yang fokus mengendarai motornya dan Rein yang sudah sedikit mengantuk adalah penyebab tidak adanya pembicaraan dari mereka.

Setelah mereka sampai di depan rumah Rein, gadis itupun turun dan menunggu sampai pria itu pergi meninggalkannya.

"Ngantuk banget kayanya." Haris merapihkan rambut Rein yang sedikit berantakan itu. "Emang."

"Ya udah. Gue pulang, ya. Jangan gadang lo mentang-mentang besok minggu."

"Iya gak kok santai aja. Gue juga udah ngantuk banget, mau langsung tidur aja. Lo hati-hati di jalan, ya. Kalo udah sampe kabarin gue." Haris sedikit tertawa dan menekan pipi gembil Rein dengan tangan kanannya sehingga bibir gadis itu memonyong ketika pipinya ditekan.

"Biar apa? Khawatir, ya?" Rein menjauhkan tangan Haris dari pipinya dan memukul lengan kekarnya itu.

"Gak ada ya gue khawatir sama lo. Jangan geer jadi cowok!"

"Ya udah gue pulang dulu, ya. Selamat siang."

"Buta mata lo?"

Haris terkekeh dan ia pun sedikit mengusak rambut hitam Rein. "Iya deh salah server. Selamat malam."

"Hmm … malam juga. Hati-hati, ya. Jangan ngantuk pas lagi ngendarain! Bahaya," pesan Rein sebelum Haris menjalankan motornya. Pria itu hanya mengangguk mengerti, setelah itu dia pun mulai meninggalkan tempat itu.

Rein memperhatikan Haris yang semakin menjauh darinya. Ketika ia sudah tak nampak lagi, gadis itupun langsung masuk ke rumahnya.

• • •

Rein terbangun di pagi hari. Karena ini hari minggu, jadi Rein bangun sedikit lebih siang dari biasanya. Hal yang selalu tak mungkin ia lewatkan setelah bangun tidur adalah ia selalu mengecek ponselnya terlebih dahulu sebelum beraktivitas. Ada yang berbeda pagi ini, biasanya ponsel Rein akan sepi karena hanya ada sedikitnya notif yang mungkin tidak dipedulikan sama sekali olehnya. Tapi pagi ini dia telah mendapat spam chat dari Haris yang menyapanya di pagi hari.

Gadis itu tersenyum ketika sudah selesai membaca spam chat itu. Baru kali ini dia diperlakukan seperti itu. Jujur saja, ini adalah kali pertama Rein memiliki seorang pacar. Sebelumnya ia merupakan seorang gadis pemegang teguh prinsip mencintai dalam diam. 16 tahun hidupnya ia habiskan untuk mencintai seseorang tanpa mengungkapkannya, dan 17 tahun sekarang ia akhirnya berani untuk merasakan indahnya sebuah hubungan.

"Rein … udah bangun, Sayang?" Terdengar ibu dari Rein berbicara di luar sana.

"Udah, Mih. Rein mau mandi dulu, nanti Rein nyusul sarapannya." Gadis itupun langsung masuk ke dalam kamar mandi untuk membersihkan tubuhnya.

1 jam berlalu dan gadis itu baru turun dari kamarnya. Ia melihat kakaknya yang sedang mengikat tali sepatunya di ruang utama. "Kak, mau ke mana? Udah rapih aja, nih." Tanyanya pada kakak sulungnya itu.

"Han gout," jawabnya seadanya.

"Begayaan lu kaya gitu, ye," cibir Rein yang membuat kakaknya itu langsung menatapnya yang baru saja turun dari kamarnya.

"Iri bilang, Karyawan!" Rein menggidikan bahunya tidak peduli. Ia pun langsung berjalan menuju dapur untuk sarapan.

"Pagi, Mih …."

"Pagi, Sayang." Rein mengambil roti bakar yang sudah disediakan oleh ibunya itu. "Tumben hari minggu kamu udah mandi."

"Biar cantik." Rein menjawabnya dengan semangat. Ia pun sebenarnya merasa aneh melihat dirinya sudah rapih pada jam segini di hari minggu.

"Nah gitu dong, anak perawan emang harus selalu cantik jangan jelek mulu." Ibunya menaik turunkan halisnya ke arah si bungsu itu.

"Mamih bilang jeleknya jangan sambil liat ke Rein dong! Tersinggung tau." Rein mengerucutkan bibirnya seraya mengocek-ngocek segelas susu yang ada di hadapannya.

"Hahaha … ya ya ya. Anak Mamih cantik kok, cantik … banget kaya Mamih. Cantik-cantik gini udah punya pacar belum?"

'Deg'

•To be Continued•