webnovel

The Solitude Of A Woman

Irene Cindy Capella. Hidupnya terbilang sangat bahagia sebelum ia terjatuh dan menyebabkan otaknya tak baik baik saja. Ia mengindap menyakit yang membuatnya tak bisa menangkap penjelasan hanya dengan 1 kali. Bahkan sipatnya silih berganti Kahidupannya capella benar benar 90% terbalik dari sebelumnya. Lalu apakah ia akan mendapatkan kembali kebahagiaannya? Apa yang membuatnya kembali bahagia? Atau,, siapa yang akan membuatnya kembali bahagia?

ayu_halimah · Sports, voyage et activités
Pas assez d’évaluations
3 Chs

0.3

Gadis yang kini tengah menatap dirinya di depan pantulan kaca, meracau tidak jelas. Tangannya berkali kali membenarkan rambut yang sedikit berantakan-Ralat. Sebetulnya sudah benar sedari tadi.

"Capella belikan ibu garam" dari bawah Athena kini tengah memasak dan kehabisan stok garamnya.

"Iyahh Bu" Capella dengan gesit berlari menghampiri Ibu kandungnya. Tangannya terangkat meminta uang untuk membeli garam.

"Ini. Ingat, Harus membeli di Alfamart." Ucap Athena penuh penekanan.

"Baik Bu"

irene Cindy Capella.

Astaga, Ibu tega sekali. Rasanya kakiku pegal karna harus berjalan sejauh ini. Kenapa si, tidak menyuruhku memakai sepedah saja. Huu,, Aku ingin meminta namun takut jika nanti kena marah. Andai aku memakai sepedah, pasti tidak akan sejauh ini. Panass sekali. seharusnya tadi aku memakai topi saja.

"Aduhh kakiku pegal. Ohh ayolah, apa tidak ada yang sudi mengantarkanku?" Ck. Sudahlah.

Kira kira satu jam yang harus Capella tempuh hanya untuk membeli garam. Kakinya melangkah memasuki Alfamart tersebut. Memilih, lalu menemukan apa yang ia cari.

"20.000 ribu" Capella memberikan uang untuk membayar apa yang sudah ia beli lalu mengambil garam dan Coca-cola miliknya.

Di tengah jalan Entah apalah yang ia ucapkan sedari tadi, menggrutu tidak jelas.

"Capella" Capella mengangkat kepalanya lalu melihat orang yang kini memanggilnya. Raut wajahnya terkejut melihat siapa yang kini memanggilnya.

Irene Cindy Capella

Uhhh,,, cape sekali sii. Apa aku harus benar benar berjalan selama 2 jam, dengan teriknya matahari sepanas ini.

"Capella" Kepalaku mendongak melihat siapa yang memanggilku. Tunggu. Felix?, aku harus bagaimana ini. Aku tidak mw kalo sampai Coca-colaku di ambil olehnya.

"Kemari. Cepat." Felix berkata dengan penuh penekanan. Apa aku harus ke sana. Tapi aku harus cepat pulang karna kalau tidak pasti ibu akan marah besar padaku. Dan jika aku tidak menghampirinya, Aku pasti tidak akan selamat di sekolah. Aku terus menunduk. Sekarang aku harus apa.

"Cepat." terlihat jelas, kini rahangnya mengeras. Sepertinya aku harus menghampirinya. Aku kini berjalan mendekat ke arahnya. Aku berhenti tepat di hadapannya. Tatapan elang itu benar benar membuatku takut. Aku menundukan kepalaku, tak tahan melihat mata itu.

"Dari mana kau" Suaranya terdengar datar dan dingin. Menyeramkan sekali. Dua jari telunjukku terangkat guna menghilangkan rasa gugup dalam diriku.

"Umm, da.. dari Alfamrt" Sungguh aku sangat takut. Aku ingin pergi, tetapi bagaimana nasibku nanti di sekolah?. Lama dia tak menjawabku, sebetulnya apa si mau dia?.

"Kemarikan." Tuhkan. Coca-colaku sebentar lagi akan hilang. Kepalaku masih menunduk. Aku mengangkat kantong plasti belanjaanku dan menyodorkannya pada Felix. Aku mendengar ia mengambil sesuatu dalam kantong plastik itu. Itu pasti Coca-colaku.

"Ck. hanya ini. Ya sudah lah. pasti Ibuku juga kehabisan stok garam di rumah. Tidak apa kan aku memberikan garammu pada Ibuku?." Bagaimana ini. kepalaku serasa ingin meledak.

"Err, Ta tapi itu punya Ibuku" Kepalaku semakin menunduk. Kenapa juga aku harus berkata seperti itu. harusnya biarkan sajalah. Dari pada nanti aku tidak selamat di sekolah iya kan.

"Ck. Ck. Sepertinya. Sudah. Ada. Yang. Berani. Melawanku." Aku mengangkat kepalaku, melihatnya. Namun keberanianku seketika ciut saat melihat rahangnya apalagi saat mata elang itu menatap tajam ke arahku. Aku memilih menundukan kepalaku untuk kesekian kalinya lagi.

"U um maafkan aku. Kau boleh mengambilnya" Ucapku dengan lirih. Tapi ku yakin perkataanku mampuh menembus pendengarannya.

"Bagus." Terdengar nada puas dari ucapannya. Ia melangkah mendekatiku.

"Dasar gadis bodoh. Seharusnya kau tidak masuk satu kelas denganku. Ck. Tidak level." Terlihat Sudut bibirnya terangkat menampakan senyum terseram alanya. Kepalaku Semakin menunduk. Ada sedikit nyeri dalam hati.

"Kau mempunyai cermin bukan. Ohh,, sepertinya tidak. Pergilah ke hutan. Berkacalah Di sisi danau. Aku yakin kau akan tetap menganggap dirimu sama. Dasar naif."

Rasa sesak kini telah menghampiri dadaku. Namun, Aku tidak boleh menangis. Setidaknya tidak di depannya.

Ia pergi, Melewatiku begitu saja. Setelah apa yang dia ucapkan padaku. Aku masih bertahan dengan posisiku. Sebetulnya, Aku ingin menangis. Namun aku harus ingat. Aku sudah berjanji tidak akan pernah menangis lagi. Aku mengangkat kepalaku menghapus sedikit air mata yang kini ingin di keluarkan. Berbalik dan membeli kembali apa yang telah Ibu suruh padaku.