Claire sama sekali tidak melihat Leon ada di rumahnya pagi ini. Karena kesalahan kemarin, Leon pasti masih menganggap adiknya sok tahu. Dengan pikiran Claire tidak senang jika bisnis yang Leon jalankan itu lancar dan selesai cepat. Kalau Leon sudah tidak mempercayainya, maka Claire yang akan turun tangan untuk membuktikannya.
Kemarin Claire memang di antarkan oleh Vero karena paksaan cowok itu sendiri. Leon berpikir jika Vero adalah cowok yang membuat sikap adiknya menjadi tidak sopan. Padahal mereka berdua sama sekali tidak pernah dekat, Leon sudah salah paham.
Leon tidak menanggapi karena kepalanya terasa akan pecah detik itu juga. Keinginannya yang sudah ada di depan mata harus di jeda karena suatu masalah. Leon tidak bisa lagi untuk menunggu lebih dari lima bulan lamanya. Padahal dari ekspetasi dirinya bangunan itu akan Leon jadikan sebuah hotel yang mewah lebih dari bintang lima.
Claire paham sekali dengan cita-cita sang Kakak. Tetapi tidak bisa kah Leon percaya untuk terakhir kalinya saja? Claire melihat kalau Leon itu risih. Leon sudah lelah terus saja di suruh untuk menuruti ucapan Claire. Walau sempat ada kata janji dari mulut Leon, namun kali ini dia tidak bisa mengiyakan.
Karena satu harapan Leon ada dalam bangunan yang sedang berjalan.
"Ngapain di sini?" Claire menautkan alis ketika mendapati Vero yang sudah ada di depan pintu rumahnya.
"Jemput lo." sahut cowok itu dengan senyum lebar.
Claire merasa aneh. Dari pikiran cowok itu terlintas ada suatu hal yang menunjuk pada niatannya. Claire mengangguk perlahan sebagai tanda jawaban.
"Tapi aku naik taksi, maaf." tolaknya.
"Claire." Vero mencegah langkah cewek itu. "Gue boleh minta bantuan lo, kan?"
Claire menatap cowok itu jenaka. "Ga bilang pun aku tahu."
Vero tertawa malu. "Kelihatan atau karena gue yang emang lagi nimang mikirin itu?"
"Kamu bingung mau bilang atau engga."
"Gue udah pikirin soal omongan lo yang di uks kemaren." ungkapnya.
Kenapa sampai harus melapor langsung? Bukan kah Claire tidak di sangkut kan di dalamnya? Vero terlalu polos atau sengaja curhat? Terkadang Claire bingung dengan tingkah satu orang itu.
Vero terkekeh. "Sorry, kalau kedatangan gue langsung curcol gini. Soalnya gue emang ga tahu harus bilang apa, selain makasih juga buat kebaikan lo kemaren yang obatin luka gue."
"Ga masalah."
Vero mengusap leher belakangnya merasa canggung. Entah kenapa semakin dia dekati Claire, semakin udara dingin berhembus pada wajah serta hawa yang menyeruak di sekitarnya. Mungkin kah Vero saja yang lebay atau memang karena dia yang tidak bisa mencairkan suasana?
"Kalau gitu, ayok. Motor gue ada di depan gerbang rumah lo." ajak Vero akhirnya.
Mau tidak mau Claire menurut, mengunci pintu rumahnya terlebih dahulu sebelum mengikuti langkah Vero menuju motornya. Cowok itu menyodorkan helm yang sudah di sediakan sebelum menuju ke sana.
"Biar aman." ucapnya tersenyum.
Claire mengambilnya sambil menyahut, "Makasih."
Mungkin baru kali ini ada seorang cowok yang mendekat Claire. Walau ada tujuan tertentu hatinya masih tulus melakukan kebaikan. Claire merasa kagum sekaligus bingung kenapa Vero bisa melunakan sikapnya yang sudah di kenal judes? Mungkin kah saatnya Claire memiliki seorang teman?
Tetapi naasnya Claire masih berurusan dengan Ryan. Hantu lelaki itu pastinya tidak akan tinggal diam jika ada seorang yang dekat dengannya, begitu pun waktu Claire akan bertambah sedikit jika Ryan memulai jahil yang keterlaluan seperti kemarin.
"Claire, gue tahu lo banyak pikiran. Jangan sungkan kalau emang lo butuh temen curhat, gue bisa dengerin sampai lo ngerasa lega."
>>>>>>>>>
Lidia bertolak sebelah pinggang menatap dua temannya yang sudah jarang lagi berkumpul. "Lo berdua hindarin gue atau udah ga mau lagi temenan?" tanyanya sarkas.
Lisna melirik Wina di sebelahnya. "Bukan gitu, Lid. Tapi kita udah engga mau lagi berusan sama, Claire."
Lidia tersenyum miring. "Terus? Masalah sama gue apa? Lo berdua bilang aja kalau udah ga sudi jadi temen gue!" celanya membuat Wina menatap tidak percaya,
"Lo tuh selalu aja nuduh orang sembarangan. Kita juga punya kesibukan, Lid. Lo tahu sendiri sekolah kita ada ujian, jadi kita pokus belajar."
"Sejak kapan?" Lidia memotong cepat seakan ucapan temannya hanya untuk beralasan. "Gue kenal banget lo berdua nyaris sama kayak gue yang ga pernah mentingin soal itu."
Lisna menghela napas. "Emang salah kalau kita berdua udah ga gabung lagi kayak dulu? Apa yang di omongin sama, Wina, juga bener, kok. Lagian setiap orang pasti bakal berubah." sosornya seraya melirik Wina.
Lidia di buat geram. "Lihat apa yang bakal gue lakuin nanti kalau semisal lo berdua bohongin gue." ancaman kembali terlontar, kakinya melangkah pergi setelah menatap dua temannya tajam.
Lisna bernapas lega. "Win, kita bakal balik lagi sama geng dia atau udahan kayak sekarang?" tanyanya seakan memastikan.
"Ada satu bukti yang di ceritain sama seorang murid di sini dan kebetulan dia cowok. Dia percaya dan kabar itu juga udah nyampe ke kelas, Lidia. Tapi gue penasaran hal apa yang akan dia lakuin ke kita? Lo cemas ga?" Wina mendadak pucat pasi saat mendengar ancaman dari satu temannya itu.
Karena bagaimana pun juga Lidia tidak pernah main-main dengan ucapannya.
"Tapi, Win. Kalau boleh jujur gue sekarang lebih nyaman gini dari pada gabung sama mereka." ungkap Lisna.
Wina mengangguk. "Gue juga setuju kalau itu. Setelah kita pulang dari rumah sakit, hidup gue tentram karena ga berurusan lagi sama, Lidia, dan para gengnya."
"Jadi kalau gitu kita beneran mau keluar dari gengnya?"
"Emang bisa?"
"Mudah, kok."
Lisna dan Wina memutar tubuhnya ketika mendengar sahutan yang tertuju pada mereka berdua.
"Lo siapa?"
"Dia memiliki rahasia yang hingga sekarang masih belum ada orang yang mengetahuinya."
Wina dan Lisna saling melirik tidak paham. Selama ini mereka berdua yang paling dekat dengan Lidia, tetapi tidak pernah ada yang di tutupi dari cewek itu. Namun jika di pikir cewek itu kan picik, apa mungkin Lidia memiliki rahasia yang di tutupinya selama ini?
"Itu kalau kalian penasaran, sih. Kalau tidak penasaran, ya … seenggaknya rahasia itu bisa kalian dapatkan untuk membalas setiap ancaman dia."
Wina mengangguk. "Bener juga. Kita ga mungkin mau di ancem sama dia kan, Lis?"
"Iya. Tapi gimana kalau dia nanti makin ngamuk? Kalau dia bilang mau bunuh kita, artinya itu beneran dan nyawa kita terancam, Win."
"Kalian bisa cari aku." tuturnya dengan senyuman melekat di sudut bibirnya.
Wina dan Lisna mengeryit. "Kita ga pernah lihat lo sebelumnya. Orang di sini juga ga pada heboh soal anak baru, biasanya ga pernah ketinggalan info."
"Bye!"
"Eh, tunggu!" sahut Wina yang di hiraukan.
Lisna masih merasa bingung pun bertanya kembali, "Apa mungkin dia anak baru lagi di sini? Perasaan setelah, Claire, udah ga ada lagi murid pindahan."
"Gue juga heran."
"Apa iya dia murid lama yang kita baru lihat sekarang?"
Lisna mengernyit. "Dia masuk lab. Komputer, ya?"