webnovel

The Eyes are Opened

Kisah seorang gadis remaja yang bernama Dyandra (15 th) memiliki sixth sense yang selama ini belum terbuka penuh, akhirnya terbuka setelah mengalami kejadian supranatural di sekolahnya. Kemampuan yang dimilikinya saat itu ternyata tidak dapat ditutup hingga ia kuliah. Banyak kejadian-kejadian supranatural yang ia alami dan kemampuan baru yang dimilikinya berkembang dari hari ke hari sehingga mempengaruhi kehidupannya dan kisah cintanya. Bagaimana kehidupan Dyandra di masa depan?

Rachel_Oktafiani · Horreur
Pas assez d’évaluations
203 Chs

Pak Junaidi

"IIhhhhh.. kamu kenapa sih Ndra kok dari tadi nempel sama mama terus? Cape nih lengan mama. ayo jalan sendiri sana." Ujar mama yang mulai risih denganku yang terus-terusan menempel karena ketakutan.

"Ya nggak apa ma.. abis dingin banget malam ini. Masa iya anak sendiri nggak boleh nempel sama mamanya sendiri? Lha masa iya Andra nempelnya sama pohon." Ucapku dengan nada gusar sambil berjalan lebih cepat di depan mama dan membuka pintu gerbang rumah.

"Yayayayaya.. ya sudah, cuci kaki cuci tangan sama ganti baju dulu sana. Langsung tidur. Jangan baca komik atau telponan lho ya!"

"Iyaa mamaku sayaaanggg.. Daaahhh.. muaaahh.. Andra ke kamar dulu yaaa.." Ucapku sambil melangkahkan kakiku ke anak tangga.

Di saat aku sudah setengah perjalan menuju kamar, tiba-tiba papa yang tertidur di ruang keluarga karena menonton bola terbangun dan menghampiri mama yang sedang membersihkan diri di kamar mandi.

"Kok malam banget ma pulangnya? Nggak cape apa ngobrol di rumah orang sampe larut malam gini?" Ucap papa dengan nada menyindir.

"Iya.. tadi itu di rumahnya mbak Nunuk ada kejadian pa.. Anaknya yang nomor tiga kerasukan genderuwo! Lalu di rumahnya banyak sekali hantu-hantu gentayangan yang nggak suka sama keluarga mereka. Makannya tadi kita lama pulangnya.."

"Hah?! Kok bisa sih?? Emang mbak Nunuk tinggal di mana sih?" Tanya papa penasaran.

"Tinggal di blok EE nomor 13." Ucap mama.

"Ya jelas aja rumah itu berhantu. Rumah itu kan memang berkali-kali di kontrakkan dan berkali-kali juga banyak kejadian janggal di rumah itu. Yang menempati sebelumnya juga jadi gila karena sering di hantui. Kalau nggak salah dengar dulu rumah itu di tinggalkan pemiliknya nggak tahu kemana, dan nggak pulang-pulang. Tahunya pemiliknya sudah meninggal lama sekali selama ia pergi dan sekarang rumah itu di kelola oleh anak-anaknya."

"Lah kenapa kok nggak anaknya aja yang nempati rumah itu?" Tanya mama.

"Ya, anak-anaknya sih dengernya sudah sukses semua di Jakarta makanya rumah itu dikontrakkan. Tapi ya gitu.. banyak cerita dari babak-bapak di RT sana bilang anak-anaknya tak terlalu memperhatikan kondisi rumah ayahnya dan tak peduli dengan keluhan-keluhan dari kontraktor yang menempati rumah itu. Malah ada cerita, kalau ada yang tidak membayar kontrakan itu selama 3 bulan karena yaaa.. gitu deh.. baru ditempati 1 bulan sudah ngalamin hal-hal aneh di rumah itu. Dan juga banyak rumah-rumah di blok itu jarang yang di tinggali oleh pemiliknya. Jadi sangat bagus buat tempat tinggal makhluk halus gitu." Jelas papa.

"Ahhh.. gitu to.. ow ya tadi juga hari ini suasana komplek tumben sepi bangeettt.. sampe bikin merinding. Tapi untungnya waktu pulang mama ketemu pak Junaidi yang petugas keamanan komplek ini pa.. Habisnya nggak ada orang yang lewat sama sekali sih."

"Lho mama kok bisa ketemu pak Junaidi?"

"Ya tadi kan orangnya lagi keliling.. Jadi pas ketemu deh.. Emangnya kenapa pa?"

"Lho mama belum dengar ta?" Tanya papa keheranan.

"Dengar apa? Dari sapa? Papa kalau ngomong yang jelas dong!" Ucap mama.

"Itu lho.. tentang pak Junaidi..Kan kemarin lusa orangnya baru saja meninggal." Jelas papa.

Ketika aku hendak ke dapur untuk mengambil minum, nggak sengaja aku mendengar cerita dari papa yang membicarakan tentang pak Junaidi yang telah meninggal, aku merasa kaget mendengar hal tersebut karena kemarin waktu bertemu tak terlihat sama sekali jika beliau telah meninggal. Tapi memang waktu aku memperhatikannya memang sedikit aneh dan terdapat aroma bunga segar di dekatnya. Aku tak menyangka jika memang benar pak Junaidi yang petugas keamanan malam itu bukan manusia, melainkan arwahnya yang bergentayangan. Aku terdiam di tengah-tengah anak tangga dan tak dapat bergerak sedikit pun. Badanku, kakiku terasa kaku mendengar hal tersebut. Apalagi aku yang sekarang, seringkali susah membedakan manusia yang asli dengan manusia yang telah meninggal. Tak ada bedanya bagiku kecuali jika itu makhluk halus yang sangat sering aku jumpai seperti kuntilanak, genderuwo dan teman-temannya. Saat itu aku terus saja berdiri di balik dinding di tengah-tengah tangga mendengarkan seluruh cerita papa tentang pak Junaidi.

"Hah?! Yang benar pa?! Papa nggak bohong kan??" Ucap mama yang kaget mendengengar hal tersebut.

"Iya ma. Ngapain papa bohong masalah nyawa orang. Pamali ma! Pamali! Itukan papa sama aja doain orang itu cepat meninggal kalau dia masih hidup!"

"Iya juga ya? Tapi kok mama nggak tahu atau nggak dengar dari ibu-ibu RT ya? Nggak ada berita warga kasih sumbangan untuk meninggalnya pak Junaidi juga."

"Kaum bapak-bapak yang kasih sumbangan ma. Itupun juga mendadak di umumkannya. Karena kematiannya pas malam sebelum berangkat kerja jagain komplek". Terang papa.

"Kok bisa sih pa? Meninggal gara-gara apa emangnya?Ihhh.. tapi kok ya jadi merinding gini sih mama setelah tadi ketemu pak Junaidi yang ternyata arwahnya.. hiiiii.." Ucap mama sambil memeluk kedua lengannya.

"Uhmmm..kena kanker paru-paru." Ucap papa singkat.

Mendengar hal tersebut aku terdiam, tak tahu hal apa lagi yang akan aku lakukan dan ak berani juga melangkahkan kaki menuruni anak tangga. Hingga mama dan papa menemukanku saat mereka hendak pergi ke kamar. Mama teriak, terkejut melihatku berdiri terdiam di tangga tanpa bersuara sedikitpun di tengah lampu tangga yang sedang di padamkan.

"ANDRA!! kamu ngapain di sini?! Bikin kaget mama aja tahu nggak!!" Bentak mama sambil memegang dadanya.

"Kenapa ma?" Tanya papa menghampiri mama dari arah belakang.

"Ini lho pa andra bikin kaget mama aja. Masa iya dia berdiri di tangga, lampu tangga nggak di nyalain lagi. Haduhhh.. bikin jantung mama mau copot aja!" Ujar mama.

"Kamu mau ngapain nak?" Tanya papa.

"Andra mau ambil minum kok pa. Udah ya Andra turun dulu." Ucapku sambil berlari menuruni tangga.

Aku nggak menyangka jika pak Junaidi yang aku kenal sebagai penjaga keamaanan setiap malam itu sudah meninggal beberapa hari yang lalu. Yaahh.. meskipun kematiannya karena sakit tetap saja membayangkan tadi aja sudah buat aku merinding.

"Haaahhhh.. segarnya sudah minum.. hmm udah ah jangan bayangin lagi. Nanti nggak bisa tidur lagi." Gumamku sambil berjalan menuju ke kamar.

*********************

- Sehari sebelum meninggalnya pak Junaidi-

"Buuukkk.. bapak berangkat kerja dulu yaaa.. Ini sudah di jemput sama Supardi jugaa!!" Teriak pak Junaidi dari depan rumah untuk berpamitan dengan istrinya Sakinah.

"Iyaaa pakkk.. hati-hati yaa..." Balas bu Sakinah dari dalam rumah sambil berlarian untuk mengantarkan suaminya yang bekerja sebagai penjaga keamanan komplek perumahan.

"Anak-anak sudah pada tidur kan bu?" Tanya pak Junaidi sebelum meninggalkan rumahnya.

"Iya sudah pak. Baru saja mereka tertidur semua. Si kecil juga tidurnya hari ini lebih cepat dari pada biasanya. Ya sudah sana berangkat! Sudah di tungguin mas Supardi lho!!" Ucap bu Sakinah sambil mengulurkan tangannya.

"Ya sudah bapak pergi dulu ya buk.. Hati-hati di rumah. Kalau ada apa-apa segera telepon bapak. Jangan lupa kunci pintu rumahnya dan jendela! Sudah malam ini!!" Tukas pak Junaidi sambil mencium tangan istrinya.

"Nah, saya pamit dulu yaa!!" Teriak pak Supardi dari kejauhan bersama pak Junaidi yang tengah berjalan menjauh dari rumahnya.

Pak Junaidi adalah seorang petugas keamanan yang bertugas menjaga di komplek perumahanku. Beliau sekarang berumur 45 tahun dan telah bekerja sebagai petugas keamanan selama 7 tahun belakangan. Ia bekerja sebagai petugas keamanan menggantikan pak Sarwo yang sudah pensiun 8 tahun yang lalu. Pak Junaidi merupakan seorang kepala rumah tangga yang sangat giat dalam bekerja. Selain petugas keamanan tiap malam, beliau juga sebagai petugas kebersihan lingkungan di komplek perumahanku di pagi harinya. Terkadang pak Junaidi pula yang selalu menggali kuburan di kuburan komplek bagi warga yang sudah meninggal. Dari pagi hingga malam tak ada hentinya pekerjaan yang ia kerjakan demi memenuhi kebutuhan sehari-hari dan untuk kedua anaknya. Istrinya bernama Sakinah, selisih 5 tahun lebih muda daripada pak Junaidi dan kini beliau telah di karuniai dua orang putri yang cantik bernama Samirah, berumur 17 tahun dan putrinya yang paling kecil bernama Maya yang baru berumur 10 tahun. Demi membantu kebutuhan sehari-hari, Bu Sakinah istrinya, bekerja sebagai pembantu harian di kompleks perumahanku. Ia bekerja dari satu rumah ke rumah yang lain hingga sore hari.

Suatu hari, pak Junaidi sering merasa sakit pada dadanya, dan sering pula batuk yang tak henti-hentinya. Ia tak berani untuk memerikasakan kondisinya ke dokter, karena biaya yang harus di bayarkanlah yang ia pikirkan. Jangankan membayar untuk berobat, untuk kebutuhan sehari-hari dan sekolah anak-anaknya saja sudah pas-pasan. Saat ini masih untung anak pertamanya Samirah mendapatkan beasiswa penuh dari pemerintah, sehingga biaya sekolahnya dapat membantu adiknya Maya yang masih duduk di bangku SD. Sakit yang ia derita sempat membuatnya berhenti bekerja beberapa hari lamanya sehingga pak Junaidi tak dapat bangun dari tempat tidurnya. Berat badannya semakin hari semakin menurun. Ketahanan fisiknyapun semakin hari semakin lemah. Ia tak dapat lagi menghirup sebatang rokok yang sering ia lakukan ketika bekerja smebari menemaninya berkeliling komplek agar tidak mengantuk. Karena rokok itulah sakit yang ia derita datang lebih cepat.

"OHOK-OHOK-OHOK!!!" Suara batuk pak Junaidi yang terdengar kencang saat bertugas malam bersama pak Supardi.

"Jun, kamu nggak apa ta? Kok batukmu semakin hari rasanya semakin parah sih! Besok pagi coba deh kamu ke klinik Bu Amirah sana. Kamu punya kartu kesehatan dari pemerintah itu kan? di klinik bu Amirah itu terima pasien pake kartu itu kok." Ucap Supardi yang mengkhawatikan Junaidi.

"Iya deh, besok aku coba periksakan. Uhuk!" Ucap Junaidi yang terduduk lemas di kursi pos penjaga.

Malam itu sangat sepi dan sunyi sehingga pak Junaidi dapat beristihat sejenak di pos penjaga dan bergantian keliling dengan Supardi hingga akhirnya ia tertidur di ruangan pos sambil menyilangkan tangannya di dada. Hawa dingin malam itu membuatnya menggigil kedinginan hingg ia tak menyadari temannya Supardi telah selesai berkeliling. Jam dinding di pos penjaga menunjukkan pukul empat dini hari dan melihat Junaidi yang terlelap sepanjang malam, Supardi tak berani membangunkan dari tidurnya, karena ia menyadari jika Juanidi sedang sakit. Hingga terdengar suara ayam berkokok yang menandakan matahari akan menyingsing, Juanidi kelabakan dari tidurnya dan segera bangun melihat kondisi sekitar. Ia melihat temannya yang sedang menyeruput secangkir kopi panas yang baru saja di seduh sembari menghangatkan tubuhnya dari hembusan hawa dingin sedari malam.

"Eh. sudah bangun bang? Gimana kondisinya bang? Masih nggak enak?" Tanya Supardi yang melihat rekan kerjanya sudah bangun dari tidurnya.

"Maaf ya Di, semalam malah aku nggak ikutan jaga. Sekarang sudah lumayan. Mungkin aku kurang istirahat dengan benar makanya dari semalam batuk-batuk terus." Ujarnya sambil mengambil secangkir air putih yang terdapat di depannya.

"Ya sudah abang balik duluan aja hari ini.. Nanti biar saya yang bilang ke pak lurah kalau abang sakit dari semalam. Ow iya bang, jangan capek-capek dulu kerjanya. Saya tahu abang lagi cari biaya buat kehidupan sehari-hari. Tapi abang juga perlu istirahat biar nggak kaya semalem.. apalagi Sakinah istri abang nggak tahu kan kalau abang sakit?"

"Iya sih Di, istri saya nggak tahu kalau saya sakit kaya gini. Ya nanti deh pas dirumah nanti aku cerita aja biar nggak khawatir dia." Ucap Junaidi sambil membereskan perlengkapannya.

"Iya bang. Apa-apa harus cerita sama istri bang. jangan di penadam terus. Ya udah bang, cepetan pulang sana! Lalu ke klinik bu Amirah jangan lupa." Ujar Supardi sambil menepuk pundak Junaidi yang telah menenteng tasnya dan segera untuk pulang.