Don't mind this. It's just a placeholder.
"Tuan... semuanya sudah berakhir..." kata seorang pengawal dengan suara rendah.
Sirius bersikap seolah tidak mendengar kata-kata pengawalnya. Ia terus memainkan serulingnya sambil memejamkan mata. Musik yang keluar dari tiupan serulingnya terdengar seperti ratapan yang sangat pedih.
Orang-orang yang ada di sekitarnya saling pandang keheranan. Di bawah mereka, seisi kotaraja sedang menyala-nyala oleh api yang berkobar sejak dua jam lalu, melahap bangunan demi bangunan bersejarah yang sudah berumur ribuan tahun, bersama penduduknya yang menjerit dan memohon ampun pada dewa.
Tidak akan ada dewa yang akan datang menyelamatkan kalian, pikir para panglima yang memperhatikan pembantaian itu dari puncak bukit. Dewa-dewa telah mati.
Mereka kembali mengarahkan pandangan mereka pada pemimpin mereka yang masih memainkan musik dengan sepenuh hati. Mengapa tiupan serulingnya terdengar begitu sedih? Bukankah ini yang ia inginkan?
Mereka berjuang selama sepuluh tahun untuk menghancurkan penguasa dari istana es. Semuanya disulut oleh dendam yang begitu besar dan mereka telah mengorbankan begitu banyak air mata dan darah untuk tiba pada momen ini. Mengapa Sirius seolah berduka saat kotaraja terbakar?
Namun demikian, mereka tidak berani bertanya. Walaupun mereka telah mengikutinya selama sepuluh tahun... pria itu masih merupakan misteri bagi mereka. Mereka hanya bisa menduga-duga bahwa Sirius berduka atas kematian Vitalis sahabatnya.
Vitalis berjuang sampai akhir mempertahankan istana es, dan sampai kapan pun ia akan dikenang sebagai pahlawan. Mereka yakin itu.
Satu persatu mereka mundur dan meninggalkan Sirius sendirian.