webnovel

Terlahir Kembali: Dokter Genius Cantik

“Fariza… Fariza-ku yang malang. Kenapa kamu begitu bodoh?” Suara tangisan tersedu-sedu membangunkan Fariza dari tidurnya. "Di mana aku?" Yang dia ingat hanyalah dia telah memenangkan Hadiah Nobel pertama dalam pengobatan tradisional, dan tertabrak oleh sebuah truk besar saat perjalanan pulang. Kini dia mendapati dirinya terlahir kembali pada tahun 1980an di tubuh orang lain yang memiliki nama yang sama dengannya. Ternyata kehidupannya sebagai Fariza yang baru saat ini ternyata sangat buruk. Dia, adik, dan ibunya diperlakukan tidak adil oleh ayah kandungnya serta keluarga dari selingkuhan ayahnya. Dengan kecerdasan dan pengalamannya dari abad 21, Fariza yang sekarang tidak takut menghadapi semua permasalahannya dan perlahan-lahan membereskannya satu per satu.

MikaZiyaddd · Urbain
Pas assez d’évaluations
119 Chs

Apa yang Perlu Disesali?

"Aku hanya tidak ingin menikah sekarang, ada apa? Kalian harus mengembalikan mahar lima ratus ribu itu, atau aku tidak akan membiarkan keluargamu tinggal di Desa Tutur lagi!" Perkataan Pak Dadung itu tidak masuk akal. Ada banyak anggota Keluarga Supardi di Desa Tutur. Pak Dadung serta ayahnya adalah tulang punggung dari Keluarga Supardi. Bahkan jika Pak Juna sangat tidak mau, dia harus berkompromi saat ini.

Pak Juna mengatakan sesuatu, dan tersenyum pada Pak Dadung, "Tidak apa-apa untuk membatalkan pernikahan ini, tapi kamu Pak Dadung, Dewi baru saja diterima di universitas di Surabaya. Semua uang yang kamu berikan sudah dipakai untuk membayar kuliah. Kamu tidak bisa mengembalikan lima ratus ribu itu."

"Aku tidak peduli. Aku ingin melihat uang itu dalam tiga hari. Jika lebih dari tiga hari, kamu akan mendapatkan bunga." Setelah itu, Pak Dadung pergi dari rumah itu, meninggalkan Pak Juna dan Wulan yang berdiri di tempat dengan wajah tidak yakin.

Setelah beberapa saat, Pak Juna tiba-tiba menoleh dan menatap Fariza dengan mata merah, "Apakah kamu sudah melakukan sesuatu?"

"Bagaimana mungkin?" Fariza tidak bodoh, dan tentu saja dia tidak akan mengakui bahwa dia telah melakukan sesuatu pada Pak Dadung.

"Kalau begitu kamu harus pergi bersamaku sekarang untuk memohon pada Pak Dadung. Kita harus memohon padanya untuk menikah denganmu, dan memohon padanya agar kita tidak perlu mengembalikan uang lima ratus ribu itu." Dengan tergesa-gesa, Pak Juna meraih lengan Fariza.

Pak Juna hanya tahu bahwa dia tidak mampu menyinggung Keluarga Supardi, tapi dia juga tidak dapat mengembalikan uang lima ratus ribu itu. Untuk mengembalikannya kepada Keluarga Supardi sekarang hanya ada satu cara.

"Suamiku, lepaskan Fariza!" Bu Widya terkejut, dan dengan cepat mengulurkan tangan untuk menghentikan suaminya.

"Pergi dari sini!" Pak Juna menggunakan kekuatannya, dan Bu Widya terhuyung mundur. Dia terduduk di tanah.

"Jangan menggertak ibuku!" Wildan, yang baru saja bangun dan berjalan keluar pintu, kebetulan melihat pemandangan ini. Dia bergegas langsung ke Pak Juna, membuka mulutnya dan menggigit tangannya dengan keras. Dia meninggalkan beberapa bekas gigi di tangan ayahnya itu.

Pak Juna kesakitan. Dia tidak bisa melepaskannya, dan akhirnya menendang dada Wildan. Bagaimanapun, Wildan masih kecil, bagaimana dia bisa menahan tendangan seperti itu? Tubuhnya terhempas seperti layang-layang dengan tali yang putus. Dia jatuh dengan keras ke lantai dua atau tiga meter jauhnya, membuat suara yang cukup mengerikan.

"Wildan!" Bu Widya tidak peduli dengan rasa sakit di tubuhnya, dan dengan cepat pergi ke sisi Wildan untuk memeriksa lukanya. Dia tidak bisa berpikir bahwa Pak Juna benar-benar akan menyakiti putranya.

"Fariza! Wildan! Apakah kalian baik-baik saja?" Seorang pria bernama Wawan berjalan ke halaman dan melihat pemandangan ini. Dia dengan cepat menarik Fariza dari tangan Pak Juna dan bertanya dengan cemas. Di belakangnya ada seorang wanita berusia tiga puluhan yang tampak baik dan lembut. Mata wanita itu juga khawatir. Kedua orang ini adalah kerabat Bu Widya. Wawan adalah saudara Bu Widya, sedangkan Mila adalah istri Wawan. Mereka adalah paman dan bibi Fariza.

Dalam ingatan Fariza, paman dan bibinya tidak memiliki anak, dan mereka selalu memperlakukannya sebagai putri mereka sendiri. Hampir semua pakaian dan jajannya sejak kecil dibelikan oleh paman dan bibinya ini.

"Saudaraku… Kalian di sini?" Melihat kerabatnya datang, Bu Widya akhirnya menangis.

"Mila, jaga Wildan," kata Wawan dingin dengan wajah yang menakutkan.

"Baik!" Mila menjawab dengan cepat.

Melihat Mila membantu Wildan masuk ke rumah, Wawan menyingsingkan lengan bajunya dan menyapa Pak Juna secara langsung dengan tinjunya. "Bagaimana kamu bisa menggertak saudara perempuanku dan anak-anaknya seperti ini?"

Wawan adalah seorang tukang kayu. Dengan badan dan tangannya yang besar, Pak Juna secara tidak sadar takut padanya. Setelah mendengar tentang perselingkuhan Pak Juna dengan janda di desa, Wawan selalu curiga bahwa Bu Widya tidak diperlakukan dengan baik di keluarga ini. Namun, Bu Widya selalu melaporkan yang baik pada Wawan. Saat Wawan tiba-tiba melihat Pak Juna memperlakukan istri dan kedua anaknya seperti ini, Wawan langsung marah. Dia secara alami sangat tidak terima.

"Tidak… tidak… jangan pukul aku lagi!" Pak Juna tiba-tiba memegang kepalanya.

"Jangan berkelahi! Jangan berkelahi! Pak Juna adalah kakak iparmu. Bersikaplah yang baik jika ada yang ingin kamu katakan." Wulan cepat-cepat melangkah ke depan untuk membujuk.

"Kamu janda bernama Wulan itu? Jangan sentuh aku, aku jijik!" Wawan mendorongnya hingga terhuyung-huyung. Lalu, dia menoleh ke arah Fariza, "Fariza, luka apa di keningmu itu?"

Seseorang membantu dirinya, jadi Fariza merasa sangat senang. Dia buru-buru menjelaskan keseluruhan cerita secara runtut. Saat ini, Wawan menjadi lebih marah. Dia dan istrinya selalu menganggap Fariza dan Wildan sebagai anak mereka sendiri. Jika terjadi sesuatu pada dua orang itu, Wawan tidak akan tinggal diam.

Kemarahan melonjak ke dalam pikiran Wawan. Dia berbalik untuk menatap Bu Widya, "Kakak! Kenapa kamu tidak memberitahuku lebih awal?" Setelah selesai berbicara, dia menatap Pak Juna dan dengan dingin mengancamnya, "Fariza berkata dia tidak ingin menikah dengan Pak Dadung. Kenapa kamu memaksanya?"

"Iya… Iya…" Pak Juna mengangguk berulang kali. Wajah dan hidungnya memerah karena Wawan. Dia terlihat sangat menyedihkan dengan mata bengkaknya itu.

"Aku ingin bercerai dari suamiku." Saat ini, Bu Widya tiba-tiba berdiri.

"Widya, kamu…" Wawan terkejut, dan hendak membujuk, tapi tiba-tiba mendengar Bu Widya berkata dengan nada yang sangat tenang, "Aku ingin bercerai."

Sekarang, giliran semua orang yang hadir menjadi terkejut, terutama Pak Juna. Dia bahkan tidak menyangka bahwa wanita yang sangat patuh padanya sejak menikah dengannya dan tidak pernah berani membantahnya ini akan berani mengatakan bahwa dia ingin bercerai. Saat berpikir bahwa dia telah salah dengar, dia tanpa sadar bertanya, "Istriku, apa yang baru saja kamu katakan?"

"Aku bilang aku ingin cerai darimu." Bu Widya menatap pria di depannya tanpa ekspresi apa pun.

Selama bertahun-tahun, Bu Widya selalu patuh, sabar, dan bersikap baik tanpa syarat. Dia berpikir dengan begitu dirinya akan mendapat ketulusan dari Pak Juna. Tetapi sampai hari ini, dia mengerti bahwa semakin dia mentolerir, semakin sedikit mereka memperlakukan dirinya sebagai manusia. Dia terus ditindas. Kedua anaknya pun turut jadi korban. Jika bukan karena Wildan yang baru saja mendapatkan tendangan itu, Bu Widya mungkin tetap tidak ingin bercerai.

"Kamu akan menyesal!" Pak Juna tanpa sadar menghindari pandangan Bu Widya yang mencekik lehernya dan berbicara. Dia tidak percaya lagi bahwa seorang wanita dengan anak perempuan yang tidak berguna dan anak laki-laki yang idiot itu meminta cerai darinya. Dapatkah istrinya itu hidup tanpanya?

"Apa yang perlu disesali? Kakak, ayo pulang ke rumahku. Kamu bisa tinggal di sana, jadi kamu tidak akan kelaparan!" Wawan menepuk dadanya untuk meyakinkan Widya. Dia dengan cepat meminta Mila untuk menulis surat cerai untuk Widya.

Mila awalnya adalah putri dari keluarga terpandang. Dia mahir dalam bermain piano, catur, dan menulis kaligrafi. Kemudian, dia menikah dengan Wawan dan menjadi seorang penulis sebagai pekerjaan sampingannya.

Pada 1980-an, urusan perceraian tidak terlalu ketat. Selama kedua belah pihak menempelkan sidik jari mereka di kertas dan mengkonfirmasi perceraian itu melalui kepala desa, hubungan pernikahan antara kedua orang tersebut resmi putus.