webnovel

Sambutan Bu Regina

"Ini, Mama, Nak," ucap Bu Regina pada Revan yang telah hampir pulih semua keadaan fisiknya.

"Ma—mama, apa itu Mama?" tanya Revan kebingungan.

Wajahnya polos seakan tanpa dosa. Ia kembali seperti anak kecil yang tak tahu apa-apa. Segala benda pun ia lupa namanya apa.

Satu hal yang tertinggal diingatannya hanyalah gadis yang memberi penghapus. Itupun ia tak tahu namanya siapa.

"Mama, itu adalah panggilan untuk orang yang sudah melahirkan kamu, Sayang," jawab Bu Regina dengan lembut.

Ia telah diwanti-wanti oleh dokter agar bersabar dalam menghadapi keadaan Revan. Hanya saja Revan masih beruntung, lupa ingatannya hanya bersifat sementara dan tidak menetap. Ingatannya bisa kembali dengan terapi dan hal-hal yang sekiranya bisa membangkitkan ingatan.

"Mama," gumam Revan sepertinya ia berusaha mengingat kalu orang di hadapannya tersebut adalah ibunya.

Seorang suster dataang ke ruangan untuk memeriksa kondisi Revan.

"Halo, Pak Revan, apa kabar pagi ini?" tanya Suster tersebut dengan ramah.

Revan tersenyum tipis, kepalanyaa masih terasa pusing bila mendengarkan banyak kata yang tak ia kenal.

Suster menangkap ketidak nyamanan yang dirasakan Revan, ia segera memeriksa dan mencatat kondisi pasien tersebut saat ini.

"Oh ya, Bu, nanti siang jadwal periksa MRI ya, jangan lupa. Biarkan Pak Revan banyak istirahat juga," ucap Suster tersebut sebelum pergi.

"Iya, Sus. Terima kasih, atas informasinya." Bu Regina berkata sambil tersenyum.

"Sama-sama, Bu. Saya pamit dulu, ya." Suster itu pamit sambil melenggang pergi ke luar ruangan.

Bu Regina duduk di samping tempat tidur anaknya. Tak banyak kata yang ia ucapkan, karena tahu akan membuat Revan tak nyaman.

Revan hanya melamun pikirannya seakan blank. Ia berusaha melihat sekeliling dan mengingat apa yang bisa ia ingat. Nihil, yang ada kepalanya malah didera pusing yang amat sangat.

"Argh!" Revan kesakitan sambil memegangi kepalanya.

"kamu kenapa, Nak?" tanya Bu Regina yang panik dengan kondisi anknya.

Revan merintih sambil menahan sakit. Rasa pusing di kepalanya seakan palu yang dihujamkan berkali-kali. Tanpa jeda dan tanpa ampun.

Bu Regina yang panik dan segera menekan bel yang ada di tembok. Bel itu terhubung langsung dengan ruangan para perawat yang bagian jaga.

Tak lama kemudian, seorang perawat laki-laki datang ke ruangan rawat Revan.

"Ada yang bisa saya bantu?" tanya Perawat tersebut dengan sedikit cemas.

"Anak saya kesakitan, sepertinya ia berusaha mengingat semuanya," jawab Bu Regina cepat.

"Oke, tenang, Pak. Tarik napas dala-dalam, keluarkan perlahan, ya ...," ucap Perawat tersebut dengan tenang.

Revan menatap si Perawat sambil mengikuti arahannya. Ia tak begitu mengerti apa yang diucapkan tetapi berusahan mengikuti apa yang dilakukan perawat.

Bu Regina menangkap apa yang harus dilakukannya jika terjadi hal serupa suatu saat nati. Ia memerhatikan perawat itu yang begitu tenang. Kesalahan Bu Regina tadi adalah bersikap panik dan membuat Revan semakin sakit.

Revan sudah lebih tenang dan mulai berbaring dengan tatapan lurus menatap langit-langit.

"Bu, usahakan selalu bersikap tenang, ya. Tidak baik bagi Pak Revan jika terus mengaalami tekanan seperti tadi. Kalau intensitasnya parah bisa-bisa disuntikan penenang," tutur Perawat lelaki tersebut.

"Baik, Pak. Maafkan saya," ucap Bu Regina.

Perawat itu mengangguk, kemudian pergi meninggalkan ruangan. Bu Regina duduk kembali termenung di kursi samping tempat tidur.

Tak berselang lama, Pak Andi yang kemarin baru saja kembali dari Indonesia mmasuki ruangan sehabis membeli makanan untuk sarapan.

"Ada apa, Ma? Tadi Papa lihat ada perawat keluar dari sini," tanya Pak Andi yang baru saja tiba dengan membawa kantong plastik berisi makanan di tangannya.

"Tadi, Revan berusaha mengingat dan kepalanya sakit, Pa. Mama panik dan memanggil perawat, seharusnya tidak seperti itu," jawab Bu Regina pelan, ia takut mengganggu Revan yang kembali memejamkan mata.

"Ya sudah, kalau begitu, kita sarapan dulu saja. Ini Papa bawa makanan." Pak Andi memperlihatkan kantong plastik di tangannya.

"Iya, Pa," pungkas Bu Regina pendek.

Melihat keadaan istrinya yang nampak masih kaget dengan kejadian tadi. Pak Andi berinisiatif menyiapakan makanan itu, mengambil piring plastik dan menuangkan bubur yang dibawanya.

"Ini, Ma. Makan dulu.' Pak Andi menyodorkan sepiring bubur kepada istrinya.

Bu Regina mengambilnya dan mengucapkan terima kasih. Ia merasa beruntung suaminya itu tak pernah mengeluh dan selalu siaga ketika keluarganya sakit. Padahal ia tahu persis kalau Revan bukanlah darah dagingnya.

Pernah Bu Regina mempertanyakan ketulusan Pak Andi dalam merawat dan menjaga Revan. Ditambah statusnya saat menikah lagi merupakan seoorang janda beranak satu yang baru saja melahirkan.

Pak Andi hanya tersenyum dan menjawab, "Kamu janda ditinggal meninggal, umur tak ada yang tahu, sementara Revan tak memiliki salah apapun. Ia berhak merasakan kasih sayang seorang ayah juga jika aku menikahimmu."

Sejak saat itu, Bu Regina tak pernh mempertanyakan ketulusan suami keduanya itu. Sudah terbukti dari semua sikapnya selama ini dalam memperlakukannya sebagai istri dan ibu dari anak-anaknya.

Mereka menikmati sarapan paagi itu bersama.

Tiba-tiba ponsel Bu Regina berdering menampilkan ada telepon masuk.

"Rania, Pa. Mama angkat dulu, ya," ucap Bu Regina sambil mengangkat telepon dari anak bungsunya.

"Halo, Sayang. Apa kabar?" tanya Bu Regina setelah menggeser tombol hijau.

'Halo, Ma, aku sudah di bandara mau ke Singapura,' jawab Rania tanpa menjawab pertanyaan kabar dai ibunya.

Saking semangatnya ia memberi kabar soal keberangkatannya, menuju negara di mana kakak dan kedua orang tuanya berada.

"Bagaimana dengan kuliahmu? Memangnya sudah liburan?" tanya Bu Regina yang keheranan.

Pasalnya Rania kuliah di tempat elit dan ketat, jangankan untuk cuti panjang izin sehari saja ribetnya minta ampun.

'Sepertinya Mama terlalu sibuk, sampai lupa aku sudah liburan semester mulai hari ini,' jawab Rania dari seberang telepon pembawaannya ceplas ceplos dan ceria.

Berbeda dengan kakaknya yang lebih kalem dan berhati-hati dalam bicara. Rania sejak dulu adalah gadis manja dan ceria, ditambah ia adalah anak bungsu. Setelah memiliki sepasang anak dan beresiko besar jika hamil lagi, Bu Regina memilih steril.

Ia memiliki riwayat penyakit darah tinggi atau hipertensi sehingga bisa mengancam nyawa bila memiliki anak lagi. Pak Andi pun tak keberatan dengan keputusan istrinya untuk steril. Ia lebih memilih tak memiliki anak lagi daripada kehilangan oarang yang dicintainya.

Bu Regina berbincang sebentar dengan Rania sebelum akhirnya gadis cantik itu pamit karena akan menaiki pesawatnya.

"Pa, Rania akan ke sini," ucap Bu Regina pada suaminya dengan semringah.

"Alhamdulillah, ya, Ma," ujar Pak Andi menimpali ucapan istrinya.

Rania tak pernah tahu kalau Revan adalah kakaknya beda ayah. Pasalnya, Pak Andi selalu memerlakukan mereka sama dan tak berat sebelah.