webnovel

Bertemu Pak Denis

Bu Regina mengangguk mengiyakan. Tak mungkin ia selamanya bersikap seperti itu pada Fira yang merupakan adik kandung Revan se-ayah.

"Jadi, bagaimana, Pa? Kapan kita bawa Revan ke Singapura?" tanya Bu Regina, ia ingin segera meninggalkan Fira dan keluarganya.

"Sepertinya besok sudah bisa, Papa pastikan lagi pesawat yang disewanya dulu," jawab Pak Andi sambil menguarkan ponsel dari saku bajunya.

"Semoga jadi besok, ya, Pa," pungkas Bu Regina penuh harap.

Pak Andi mengangguk kemudian menelepon pihak bandara yang akan disewa pesawat pribadinya. Rupanya benar besok sudah tersedia dan siap berangkat.

"Kalau gitu, Mama, pulang dulu dan persiapkan semua yang mesti di bawa. Biar Papa yang jaga Revan di sini," titah Pak Andi pada istrinya.

Mereka hendak ke Singapura, pengobatan medis di sana kabarnya memang lebih maju dan ampuh. Berharap Revan bisa kembali sehat dan normal seperti sedia kala.

Bu Regina melangkah melewati koridor rumah sakit untuk sampai di parkiran. Sudah ada supir yang menunggunya di samping mobil mewahnya.

Supir itu yang biasanya selalu bolak-balik ke rumah untuk mengambil keperluan Bu Regina, Pak Andi juga Revan. Kini, ia turun tangan sendiri untuk menyiapkan keperluan keberangkatan ke luar negeri.

"Pak, ke rumah, ya," ucap Bu Regina sesaat setelah memasuki mobil.

"Siap, Bu," ucap Pak Didi yang sudah berada di belakang kemudi.

Mobil melaju keluar parkiran rumah sakit. Menyusuri jalanan yang tampak ramai karena jam istirahat kerja.

Bu Regina menatap ke luar jendela mobil. Terlihat para pegawai pabrik yang berbondong-bondong keluar sari pintu besar pabrik untuk mencari makan siang. Mereka memakai seragam berwarna biru muda dan sebagainya telah memadati lapak-lapak penjual makanan yang berjejer. Mulai dari tukang bakso, siomay sampai batagor ada. Tak lupa juga dengan minumannya yang beraneka ragam.

Kemudian mobil melewati kawasan universitas. Para mahasiswa memadati area tersebut termasuk para pedagang yang ada di sana. Kampus elit di hadapannya itu adalah langganan keluarga Adiyaksa.

Mengingat keluarga Adiyaksa selalu ada luka yang belum kering di sana. Dalam hati Bu Regina. Rasanya baru kemarin ia diusir oleh keluarga itu dalam keadaan hamil. Padahal kejadian itu sudah 27 tahun berlalu.

Bu Regina mengernyit saat tak sengaja melihat mobil mewah memasuki area kampus. Ia benar-benar hapal kalau itu adalah mobil Pak Ferdi.

"Ada apa, Bang Ferdi, ke sana?" gumam Bu Regina lirih, bahkan hampir tak terdengar.

Beberapa detik kemudian, ia telah meninggalkan area kampus.

Tak lama kemudian, mobil sampai di depan garasi mewah milik keluarganya. Pak Didi segera keluar dari mobil dan membukakan pintu mobil untuk majikannya.

Bu Regina keluar dan berjalan memasuki rumah mewahnya. Rumah itu merupakan hasil keringat suaminya Pak Andi. Sementara warisan dari mantan suaminya dijadikan aset dan tabungan untuk masa depan Revan.

Memasuki pintu utama, lalu ke kamarnya untuk mempersiapkan baju-baju yang mesti dibawa.

"Nyonya, biar saya aja yang beresin bajunya," ucap Bi Inah yang tiba-tiba sudah ada di ambang pintu yang terbuka lebar.

"Baiklah, Bibi, tolong siapkan baju saya dan Tuan. Saya mau ke kamar Revan dulu," ujar Bu Regina sambil bangkit dan pergi menuju kamar anak lelakinya.

Saat membuka pintu, suasana kamar itu masih sama. Selalu bersih dan wangi. Meskipun laki-laki Revan tak suka kamar atau rumah berantakan, persis seperti Pak Radit, ayahnya.

Ada beberapa foto yang dipajang di meja kerjanya. Revan memiliki meja kerja sendiri di kamarnya yang luas. Katanya biar lebih nyaman. Sementara Pak Andi punya ruang kerja sendiri di rumah itu.

"Kalau kamu nikah nanti, jangan ada meja kerja di kamar. Pindah ke ruang kerja, kan, masih ada kamar kosong," ucap Bu Regina setiap melihat Revan yang sibuk dengan pekerjaannya di kamar.

"Iya, Ma. Entah kapan aku nikah," timpal Revan yang biasanya diakhiri tawa. Menertawakan dirinya sendiri yang merasa tak laku. Padahal lebih tepatnya, pemilih.

Ada beberapa foto di meja itu. Mulai dari foto Revan dan keluarga. Tentu dengan Pak Andi sebagai papanya, karena ia tak tahu siapa ayah kandungnya. Juga fotonya bersama Fira. Melihat foto Revan yang begitu bahagia bersama Fira seketika hati Bu Regina terasa nyeri.

Ia kemudian mengambil foto-foto Revan dan Fira dan menyembunyikannya di tempat lain. Sambil berharap Revan bisa melupakan gadis pujaan hatinya itu.

Setelah dirasa tak ada barang yang berkaitan dengan Fira ataupun pemberiannya. Bu Regina segera membereskan pakaian dan barang yang akan dibutuhkan Revan selama perawatan di sana.

"Semoga setelah sehat tak ada nama Fira di hatimu, Nak," gumam Bu Regina sambil membereskan keperluan anaknya.

Setelah selesai, ia ke dapur untuk mengambil makanan. Bi Inah rupanya sudah ada di dapur dan merapikan makanan yang hendak dibawa majikannya.

"Tinggal dibawa, Nya," ujar Bi Inah sambil menyodorkan kantong plastik putih.

"Makasih, ya, Bi." Bu Regina mengambil kantong itu dan membawanya keluar bersama barang-barang Revan.

Setelah semuanya siap, ia kembali ke rumah sakit. Sudah beberapa hari suaminya tak ke kantor. Hanya mempercayakan semua urusan kantor pada asisten pribadi kepercayaannya.

***

Siang ini, Pak Ferdi telah memiliki janji untuk bertemu dengan Pak Denis di kampus. Rupanya dosen paruh baya itu masih energik dan sanggup mengajar di usia senjanya.

Ia memasuki ruangan Pak Denis yang khusus untuk guru besar di kampus itu. Ruangannya begitu nyaman tidak terkesan seperti di sekolah. Ada sofa berwarna hitam di sudut ruangan dekat pintu masuk.

Pak Denis sedang membaca sebuah buku usang, yang mungkin tak menarik untuk kebanyakan orang.

"Selamat siang, Pak," ucap Pak Ferdi saat memasuki ruangan itu.

"Siang, mari masuk, Ferdi." Sambut Pak Denis hangat dan merentangkan kedua tangannya untuk memeluk muridnya itu.

Pak Ferdi memeluk dosennya itu erat, ia merasakan pelukan seorang ayah yang begitu tulus di sana. Sudah lama sekali ia tak merasakannya, selain karena ayah kandungnya telah lama meninggal juga karena Pak Adit Adiyaksa tak pernah bersikap hangat pada siapapun termasuk anak-anaknya.

Mereka mengurai pelukan.

"Mari, duduk." Pak Denis merangkul Pak Ferdi dan membawanya ke sofa hitam yang ada di ruangannya.

Mereka duduk bersebelahan. Pak Denis kemudian membuatkan minuman untuk tamunya itu. Ada dispenser di ruangan tersebut.

"Minum dulu, saya tahu kamu sedang dalam masalah," ucap Pak Denis sembari meletakkan secangkir air putih di hadapan Pak Ferdi.

Itu adalah kebiasaannya, di saat dosen lain menyukai kopi atau teh. Pak Denis selalu meminum air putih, seakan tak tergiur dengan apa yang diminum orang lain.

Sifatnya begitu bersahaja dan sederhana. Banyak murid yang nyaman berkonsultasi masalah dengannya. Apalagi Pak Denis tidak pernah menghakimi, nasehatnya begitu bijak dan dapat diterima dengan baik.