webnovel

Bab 1 Teman Lama Yang Kembali

Dua bulan sudah Anggraini Sahara tinggal sendirian. Ditinggal mati oleh suaminya.

Dalam hatinya selalu berkata, coba kalian bawa kesini yang mengatakan bahwa cinta itu semuanya tentang bahagia. Bahwa cinta harinya dipenuhi senyuman, bohong. Nyatanya, cinta itu leibih banyak tangisan daripada cerianya. Nyatanya, cinta itu penuh dengan luka yang perih daripada tidur nyenyak. Nyatanya, cinta itu pahit sekali, getir di hati.

"Bu, pesanan Pak Tito sudah diantarkan oleh Mas Aji," kata Reva setelah masuk ke dalam toko roti.

Aini mengangguk. Kembali mengerjakan pesanan roti lainnya.

Toko roti adalah kesibukan barunya setelah hidup sendiri. Dulu sebelum ia menikah, toko roti ini sangat laku. Apalagi ditambah fakta bahwa Aini satu dari banyak bidadari di desanya, para pria berbondong-bondong datang melihat Aini, eh, maksudnya membeli sebungkus roti. Tempatnya sangat strategis, terletak di samping jalan protokol Jakarta Pusat. Yang tadinya tidak ada niatan membeli roti, ketika tercium bau roti hangat yang baru keluar dari oven, tergoda menepi untuk mencicipi satu bungkus.

Dua tahun lalu toko roti ini harus Aini tinggalkan karena ia bertemu dengan pujaan hatinya, Bastian Poluma. Lelaki yang setiap paginya mampir di toko, membeli roti isi coklat. Setiap kali Bastian datang, jantung Aini berdetak kencang. Senyuman ramah Bastian berhasil melelehkan hatinya. Hingga pada akhirnya mereka memutuskan menikah dan hidup di kota lain karena urusan kerja Bastian.

Kabar baiknya, Reva, karyawan kepercayaan Aini pindah masih bekerja di toko tersebut. Sambutan hangat dari Reva ketika Aini sampai di Jakarta membuat wajahnya kembali ceria. Suram sekali wajahnya ketika pulang dari kota tersebut, tetangga-tetangga yang sudah lama tidak melihat Aini langsung menggosipkannya. Banyak sekali kabar-kabar palsu yang tersebar. Mulai dari Aini yang berselingkuh hingga Bastian meninggalkannya. Juga gosip tentang bahwa Bastian sebenarnya adalah pemabuk dan banyak hal buruk lainnya yang menjadi bahan bulan-bulanan kehidupan rumah tangga Aini.

"Rev, ini upahmu bulan ini." Aini menyerahkan secarik amplop putih.

"Terima kasih, Bu. Akhirnya aku bisa kembali berbelanja di mall." Reva terkekeh.

Sejenak, mereka berdua kembali menyiapkan etalase toko dengan roti-roti yang masih hangat. Pesanan-pesanan sudah diantarkan oleh Aji, karyawan lainnya.

Aroma nikmat itu kembali tercium. Aini dan Reva sekarang disibukkan oleh beberapa pelanggan pertama yang datang. Bahkan tetangga-tetangga yang sudah dua bulan ini menggosipkannya juga datang membeli roti. Tebal sekali wajah mereka.

"Eh, jeng, lihatlah si Aini. Pasti ia tidak mendapat harta warisan dari suaminya, harus kembali bekerja," oceh salah satu ibu-ibu setelah bebebrapa langkah keluar dari toko.

"Iya, tuh. Aku juga dengarnya begitu, itu kan karena si Aini tidak pernah berbakti pada suaminya." Ibu lainnya menimpali.

Ibu-ibu yang lain mengangguk, tidak tahu harus menjawab apa, mereka belum punya bahan untuk ikut campur dalam pembahasan ini.

"Huff," Reva menyeka keringat di pelipisnya. "Baru juga jam 10 pagi, sudah seramai ini saja."

"Itui namanya rezeki, Rev." Aini masih sibuk dengan mesin kasir, merapikan uang.

Sejenak, toko sudah sepi pengunjung.

"Bu, kapan pembukaan cabang di Jakarta Selatan?" tanya Reva.

"Satu minggu lagi, Rev. Aku sedang mencari koki yang pas."

Reva mengangguk-angguk.

Bisnis toko ini berjalan lancar. Dalam beberapa bulan akan ada beberapa cabang di beberapa kota. Sekarang semua pikirannya dituangkan untuk membuat bisnis ini menggurita, apalagi dengan bantuan media sosial seperti sekarang, promosi ke segala pihak lebih mudah.

"Tolong Roti isi kejunya satu," salah seorang pelanggan pria datang.

Aini langsung sigap membungkus roti isi keju, mengambil plastik dan roti dari etalase.

"Anggraini, kan?" kata pria itu.

"Iya, anda siapa?" dahi Aini mengernyit, heran.

"Ini aku, Feri. Kita tetangggan loh." Tersenyum.

Kembali memori Aini teringat dua tahun lalu. Sebelum ia pindah ke kota bandung bersama Bastian. Sebelum kehidupan barunya dimulai. Di kampung itu, Feri Jitara, teman sekaligus tetangga sejak Aini SMA.

"Oh, ya, aku ingat. Kau anak Pak Tito kan?" seru Aini.

"Iya, ternyata kau lebih mengingat ayahku daripada aku." Feri terkekeh. "Wow, kau masih sama seperti dua tahun lalu, masih anggun seperti dulu, aku bahkan tidak bisa membedakannya."

Aini tersenyum, wajahnya sedikit memerah.

"Sudah berapa lama kau balik kesini?" Feri kembali bertanya.

"Dua bulan, kurang lebih."

"Sungguh aneh kita berdua tidak pernah bertemu selama dua bulan tersebut. Padahal rumah kita bersampingan." Feri kembali tertawa kecil.

Suasana kembali senyap beberapa detik.

"Kapan-kapan ayo kita berkumpul lagi dengan teman-teman semasa SMA dulu. Mereka pasti juga rindu padamu," kata Feri sebelum berangkat pergi.

Aini menatap punggung Feri dari kejauhan.

"Bu, semakin tampan saja kan, si Feri itu." sekonyong-konyong Reva muncul.

"Maksudmu gimana, Rev?"

"Iya, si Feri. Dulu ia anak biasa saja, setelah ia kuliah di Jogja dan balik sini. 180 derajat berubah. Menjadi idola satu kampung. Sekarang juga ia menjadi karyawan di perusahaan besar." Reva merekap sekilas kehidupan Feri.

Aini kembali mengingat masa SMA mereka berdua. Ingatan-ingatan lama itu kembali muncul.

***

"Mas, tenang dulu. Kita bisa bicara baik-baik," Aini berusaha menenangkan Bastian yang sejak tadi membanting kursi.

"Kau tidak tahu apa-apa, Aini. Kau tidak tahu apa-apa." mata Bastian sudah merah, menatap tajam ke arah Aini.

Sekonyong-konyong Aini menyentuh bahu Bastian.

PLAP….

Tangan Bastian langsung menampar pipi Aini sampai ia terjatuh di lantai. Air matanya mulai membasahi pipinya.

"Sudah kubilang jangan sentuh aku, Aini." Bastian kembali berteriak.

"AAA…." Aini terbangun dari mimpi buruknya. Napasnya tersengal, memori-memori lama itu kembali merasuki mimpi-mimpinya. Keringat dingin membasahi pelipisnya, padahal AC sudah sangat sejuk. Aini menatap jam yang ada di meja kecil di samping tempat tidurnya. Jam 8 pagi, sudah saatnya ia membuka toko, Reva dan yang lainnya sudah menunggu disana.

Rutinitas itu kembali berjalan seperti biasanya. Aini membantu para koki di dapur membuat adonan roti, lantas setelah itu membantu Reva membersihkan etalase toko. Dua jam kemudian mereka membuka toko, bersiap menyambut pelanggan.

"Roti isi kejunya satu," pelanggan pertama datang. Aini menatap sumber suara.

"Feri," katanya lembut. Aini langsung menyiapkan pesanan.

"Anggraini, besok kita ada reuinian bareng alumni SMA, kau ikut?" tanya Feri setelah menerima bungkusan roti.

Aini berpikir sejenak. Besok memang hari minggu, tapi toko roti ini tidak pernah libur melayani pelanggan.

"Akan kupikirkan nanti, Fer." Aini balas tersenyum.

"Kami berharap kau datang, Anggraini," seru Feri sebelum melangkah meninggalkan toko.

Sejenak pelanggan selanjutnya kembali datang, begitu juga kawanan ibu-ibu penggosip.

"Eh, jeng, kau tahu tidak? Tadi Feri anak Pak Tito mengajak si janda jalan-jalan. Iih, sudahlah si janda ini, mulai beraksi mengambil pria-pria tampan di kampung kita." Salah satu ibu-ibu membuka topik setelah keluar dari toko.

"Iya, tuh, padahal kan Feri itu cocok sekali menjadi menantuku. Udah kaya, tampan pula." Ibu yang lain menimpali.

Pelanggan pagi sudah selesai.

"Bu, tidak usah terlalu dipikirkan, besok biar saya saja yang menjaga toko sendirian." Sekonyong-konyong Reva menghampiri Aini yang sedang termenung di meja kasir. Ia masih kepikiran ajakan Feri.

"Apa, Rev?" Aini menoleh.

"Besok ibu bisa jalan-jalan dengan Feri. Ibu juga perlu libur, toh. Masa karyawannya selalu mendapat jatah libur, sedangkan bos tidak pernah."

Aini menghela napas.

"Lagipula, Feri itu orang baik, bu. Cocok sekali ibu dan dia." Reva menyeringai.

Sejenak, Aini berpikir. Ingin ia menimpuk Reva dengan tumpukan uang.

Esoknya Aini menerima saran Reva, bertemu dengan Feri di depan toko.

"Kau sudah lama menunggu, Fer?" seru Aini, ia berlari-lari kecil setelah dari kejauhan menatap Feri yang sudah berpakaian rapi berdiri di depan toko.

"Tidak, aku baru saja sampai." Feri tersenyum. Jas hitam dengan baju kaus polos warna abu-abu cocok sekali dengan tubuh tingginya.

Canggung.

"Ayo kita naik ke mobilku." Feri melangkah disusul Aini.

Perjalanan itu memakan waktu selama setengah jam. Di dalam mobil Aini lebih memilih diam, sunyi sekali.

Mereka reunian di salah satu restoran yang baru buka di pusat kota. Kata Feri yang punya restoran itu adalah Julia, teman satu SMA dulu. Tentu saja Aini ingat dengan Julia, wanita paling cantik satu angkatan mereka.

Berdua, mereka melangkah masuk ke dalam restoran yang sudah ramai dengan teman-teman lama. Menyapa satu sama lain. Aini canggung berbicara satu dua dengan mereka, terakhir kali mereka semua bersapa dua tahun lalu, ketika pernikahan Aini.

"Aini, bagaimana toko rotimu?" tanya Yuni, teman dekat Aini semasa SMA.

"Ya, kami akan buka cabang baru minggu depan," jawab Aini lembut.

"Wah, dari dulu memang roti buatanmu tidak ada tandingannya. enak sekali kau menemukan jati dirimu menjadi pebisnis. Sekarang kau sudah kaya." Yuni menghela napas.

Memang beruntung bagi Aini, ia sudah memulai toko rotinya setelah selesai SMA. Memutuskan untuk tidak melanjutkan kuliah adalah pilihan besar dalam hidupnya. Lantas setahun kemudian tokonya kian membesar, satu kota jakarta berbondong kesana untuk membeli roti.

Sejenak, suasana hening. Ada aura aneh yang lain datang.

"Aini, kau masih ingat Rafael?" bisik Yuni.

Aini kembali mengingat, tentu saja ia mengingat Rafael. Itu adalah mantannya ketika SMA.

"Itu si Rafael. Ia baru pulang dari luar negeri." Yuni menunjuk ke arah ujung lorong.

Dari sana keluar sosok laki-laki bertubuh tinggi. Rambutnya disisir rapi. Jas dipadu kemeja dan dasi. Rafael tampak seperti CEO muda dengan pendapatan tinggi.

Mata rafael langsung tertuju pada Aini.

"Lama tidak bertemu, Anggra," sapa Rafael sembari tersenyum.

Aini mendongak, menatap wajah tampan rafael. Sekonyong-konyong Feri datang dan berdiri di samping Aini, aura di sekita kembali berubah. Rasa-rasanya seperti pertempuran besar akan terjadi, duel antara kucing dan anjing.

Inilah awal mula kisah Aini dengan seluruh masa lalu dan masa depannya. Sahara dengan penuh air itu akan terlihat jelas di depan.

Chapitre suivant