Ia mengambil langkah seribu dalam derasnya hujan. Bulu kuduknya berdiri akibat ketakutan. Nafasnya tersengal-sengal, air hujan menutupi pandangannya dan erangan ketakutannya masih saja keluar meskipun telah menahannya.
Tanpa disangka-sangka, ia memekik kesal saat tersandung batu dan hampir terjatuh. Gadis bermata hijau itu mencoba menyeimbangkan tubuhnya agar tidak terjatuh. Beberapa menit kemudian, ia tiba di persimpangan jalan. Gadis itu memegangi kepalanya, kepanikan membuatnya bingung harus memilih jalan yang mana. Apakah harus ke kanan atau ke kiri?
"Di mana jalan pulang ke rumah?" tanyanya setengah menangis. Ia masih saja panik.
Drap! Drap! Drap!
Suara langkah kaki di belakangnya terdengar dekat, tanpa berlama-lama ia kemudian memilih jalan ke kiri. Berharap bisa sampai tepat di rumahnya dan mendapatkan perlindungan. Tangan dan kakinya gemetaran namun ia masih harus terus berlari.
Langkah kakinya mulai melambat seiring dengan kaburnya pandangan mata. Ia mulai kehabisan nafas, namun otaknya masih memerintahkan agar terus berlari sampai di tempat aman.
Sayangnya ketika hendak melanjutkan pelariannya, sebuah tangan pria besar membekapnya dari belakang. Gadis itu tertangkap!
Pria itu kemudian memaksanya berjalan ke arah semak-semak minim penerangan yang ada di sekitar tempat itu.
Ia menangis, meronta, dan bahkan mencoba untuk mengigit tangan itu. Pria itu tidak merasakan sakit apapun.
Pria itu mendorongnya ke tanah, mengambil tasnya dengan paksa, lalu membalikan badannya. Nafas berat pria itu menderu di telinganya.
"Kumohon jangan, aku hanya pelajar, kau bisa mengambil laptop dan uang jajanku. Tapi, jangan perkosa aku!" tangisnya setengah putus asa. "Jangan!"
Detik berikutnya, gadis itu mencakar mata pria itu dan berlari menyelamatkan dirinya kembali. Namun sayangnya, pria itu memiliki kekuatan yang lebih dibanding dirinya. Pria itu menarik rambut panjangnya dan melemparnya ke tanah, mengunci seluruh pergerakannya.
"Tolong jangan lakukan ini! Kumohon jangan lakukan ini!" ia memohon kepada pria itu.
Suara tangisannya berubah menjadi teriakan frustasi saat seragamnya mulai di buka secara paksa, gadis itu bisa merasakan pakaian dalamnya di cabik seolah-olah ia adalah santapan hewan buas. Ia menangis, meronta, dan mencoba untuk berteriak lebih kencang. Sayangnya, tangan besar itu membungkam mulutnya. Lalu petir yang menyambar di udara membuat sebuah percikan cahaya, wajah pria itu terlihat dengan jelas. Mata merah ruby milik pria itu menyala dan wajahnya terlihat menyeramkan.
Pria itu merenggangkan kedua kakinya.
*
"Gyaa!!"
Ia tersentak membuka matanya, nafasnya terengah-engah. Mata hijaunya mencoba meneliti di mana ia berada. Dilihatinya rak buku yang tersusun rapi di ujung ruangan, lalu sofa yang ada di sebelahnya, lalu pandangannya beralih ke meja di hadapannya serta bunga mawar merah muda yang ada di dalam vas. Pernik mata zamrudnya melirik laptop yang ada di hadapannya.
Ia mengusap wajahnya dengan kedua tangannya, dalam hatinya ada rasa lega, karena saat ini dia sedang berada di kantor. Suara ramai di luar ruangan membuatnya semakin yakin, bahwa ini adalah jam istirahat anak-anak.
"Astaga aku ketiduran lagi." Keluhnya. Wanita berambut panjang itu kemudian mengelap keringat di keningnya, setelah itu ia berencana untuk ke kamar kecil membasuh mukanya dengan air.
"Kak Angela." Panggil seorang gadis kecil berambut hitam keriting, yang entah sejak kapan telah berada di sebelahnya.
"Wah!" Angela terkejut dan terjatuh kembali duduk di kursinya. Jantungnya terasa mau meledak, ia memegangi dadanya, "astaga, Cassie. Sejak kapan kau ada disini?" tanyanya lemas.
Cassie mengangkat kedua bahunya, "aku sudah mencoba membangunkanmu lima menit yang lalu, tapi kakak malah terkejut sambil berteriak."
"Astaga, jantungku."
"Sekarang waktunya Kakak mengajar di kelasku." Lanjut Cassie.
"Apa? Sekarang?" diliriknya jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan sebelah kiri. Jam telah menunjukan pukul satu siang, benar kata Cassie, sudah saatnya ia mengajar anak kelas 6. Padahal tadi Angela mengira masih jam-jam istirahat. "Oke, lima menit lagi aku akan kesana, kembalilah."
"Oke." Jawab Cassie kemudian keluar ruangan.
Angela kemudian berjalan menuju ke kamar kecil yang ada di ujung ruangan kantor. Ia menutup pintu perlahan, lalu memperhatikan pantulan wajahnya pada cermin.
"Sangat tidak manusiawi." Keluhnya singkat yang kemudian di susul dengan membuka kran air dan mencuci mukanya. Ia lalu mengambil tisu yang ada di sebelah wastafel dan mengelap wajahnya yang masih basah.
Setelah memperbaiki makeupnya dan menggulung rambutnya ke atas dengan rapi, Angela memutuskan untuk keluar dari kamar kecil dan merapikan buku-buku yang ada di atas meja kerja. Ia menarik tasnya dari sofa hingga barang-barang yang ada di tasnya berjatuhan.
"Sial, aku membawa banyak rongsokan ternyata." Geramnya dengan merapikan barang-barangnya yang berjatuhan di lantai. Ia memasukan lipstik, buku, ponsel, bolpoin, dan lain-lain.
Angela menghentikan aktifitasnya saat melihat sebuah tabung kecil berwarna kuning, diambilnya benda itu dan dilihatnya label yang pada badan tabung. Itu adalah obat penenang yang diberikan oleh dokter kepadanya, isinya masih banyak namun ia sudah lama tidak meminumnya. Merasa tidak membutuhkan lagi, ia kemudian membuang benda itu ke tempat sampah.
Angela keluar dari ruangannya dan menguncinya. Kemudian, berjalan melintasi koridor penghubung kantor dengan gedung utama. Ia masuk ke sebuah kelas yang berisikan dengan anak-anak panti asuhan yang lucu, semenit kemudian mulai mengajar.
Mereka memanggilnya Angela Vernon, salah satu pengurus panti asuhan sekaligus pengajar di sekolah kecil khusus anak yatim piatu Silver Oak. Sebelumnya, ia juga tinggal di tempat ini dari bayi hingga sedewasa sekarang.
Banyak kenalannya yang juga tinggal di panti asuhan ini sebelumnya, mereka memilih untuk move out. Berbeda dengan Angela yang memutuskan untuk tinggal di sini dan membantu ibu kepala yang telah merawatnya semenjak ia masih bayi. Jika dihitung, mungkin Angela telah tinggal di Silver Oak selama 26 tahun.
Pada hari-hari tertentu Angela akan mengajar satu sampai dua kelas, kemudian, di hari lain ia akan membantu para pengurus lain untuk melakukan pekerjaan rumah, lalu di malam harinya Angela akan membantu ibu kepala Silver Oak mengerjakan administrasi kantor.
Angela akan terus merasakan sibuk meskipun pada hari libur, dengan begitu ia tidak akan kesusahan untuk hidup. Dirinya bahkan mengaku enggan untuk keluar dari Silver Oak. Alasannya, karena tidak ingin memulai hidup yang baru, seperti harus mencari tempat tinggal baru, pekerjaan baru, lalu susah mencari makan, begitulah.
Sore itu Angela sedang sibuk mengambil jemuran yang ada di atap gedung, lalu seorang nenek betubuh pendek dengan memegang tongkat, memanggilnya dari ambang pintu.
"Angela."
"Ya?" Angela menoleh.
Wanita itu dipanggil Nenek Elena, seorang ibu kepala di Silver Oak. Wanita itu berjalan sedikit sempoyongan dengan memegang punggungnya. Menurut kabar para pengasuh yang lain, Nenek Elena baru saja kena asam urat.
Angela berlari kecil menuju Nenek Elena. "Nenek, kalau lelah tidak perlu menaiki tangga kemari, kami bisa mengerjakannya sendiri kok."
"Bukan begitu," nenek Elena cemberut, ia tidak suka diperlakukan lemah, "kau sebaiknya banyak beristirahat, Angela. Jangan terlalu banyak mengambil pekerjaan, berikan saja pekerjaanmu pada mereka. Calon pengantin perempuan tidak boleh kelelahan."
"Betul itu, Nek. Kami sudah melarangnya, tapi si Angela masih saja tetap bersikeras." Kata pengasuh lainnya yang sedang melipat seragam anak-anak.
"Padahal besok 'kan hari pertunangannya, ada baiknya dia istirahat tapi masih saja bekerja." Timpal yang lainnya.
Angela tersipu malu saat mendengar kata 'pertunangan'. Ia memainkan rambutnya dengan menunduk malu.
"Tuh, besok hari pertunanganmu, jadi jangan banyak bekerja, nanti kau lelah." Kata Nenek Elena.
"Tidak apa-apa kok. Aku juga bosan di kamar seharian." Kata Angela membela dirinya sendiri.
"Tidak boleh. Tidak boleh. Ayo bawa dia kembali ke sayap timur." Kata Nenek Elena dengan menyuruh salah seorang pengasuh untuk membawa Angela turun kembali ke kamarnya.
Angela terpaksa meninggalkan pekerjaannya karena desakan dari nenek Elena dan para pengasuh yang lain. Ia menuruni tangga dan berjalan menuju ke sayap timur. Ia berjalan melewati koridor besar yang megah. Langkahnya berubah menjadi lebih cepat setelah membaca sebuah pesan masuk dari ponselnya. Ia hampir tiba di pintu besar yang menghubungkan sayap timur dengan gedung utama, ditutupnya pintu besar itu dengan wajah yang berbinar-binar.
Angela berlari menaiki tangga ke kamarnya. Setelah itu ia mengunci kamarnya dan mengeluarkan ponselnya. Ia menghubungi seseorang yang mengirimkan pesan kepadanya sebelumnya.
"Halo." Jawab seorang pria di seberang sana.
"Halo." Angela terlihat sangat bahagia menelepon pria itu.
Angela kemudian menghabiskan waktunya dengan terus berbincang dengan pria itu.
"Sudah larut malam, tidurlah."
"Noel, aku merindukanmu," kata Angela setengah manja, "apa kau tidak ada niat untuk mengunjungiku malam ini? Aku dengar kau sudah sampai dari luar kota kemarin sore."
Angela mengigit bibir bawahnya, ia kembali memainkan rambut panjangnya. Hampir seminggu lamanya ia ditinggal calon tunangannya dinas ke luar kota. Bahkan hampir seminggu lamanya mereka tidak saling berkabar, tidak ada salahnya kalau 'rindu' kan? Ehe.
Setelah mengucapkan kata itu, Angela mulai merasakan api gairahnya menyala perlahan. Ia membayangkan Noel yang mendatanginya malam-malam ke sayap timur untuk menemuinya dan kemudian mereka bercinta di tempat ini.
"Angela, tolong jangan berpikir mesum. Besok kita bertunangan, tahan dulu."
Angela bangun dari rebahannya, "aku benci dengan orang pengertian sepertimu." Kata Angela dengan menggembungkan kedua pipinya tanda cemberut.
*
Sementara dari luar gedung Silver Oak, sebuah mobil bermerk Maserati, berwarna abu-abu gelap sedang terparkir. Tidak terlihat siapa saja yang ada di dalam mobil itu. Yang jelas pada kursi penumpang terdapat bayangan seorang pria yang sedang mengenakan earphone di telinganya, pria itu memangku sebuah laptop.
Pria berambut perak itu menatap gedung Silver Oak dengan terus mendengarkan percakapan antara Angela dengan Noel. Cukup lama ia berada di tempat itu untuk mendengarkan seluruh percakapan keduanya dari awal mereka telepon hingga saat ini.
"Sekarang tidurlah dulu, Angela. Aku juga merindukanmu. Besok berdandanlah yang cantik agar aku tidak bisa memalingkan padanganku darimu." kata Noel terdengar lembut.
"Baiklah." Jawab Angela terdengar kecewa.
"Selamat malam, sayangku. Mimpi indah ya."
"Kau juga, selamat malam." Jawab Angela.
Sambungan telepon terputus. Pria itu kemudian melepas earphone dari telinganya dan menutup laptopnya. Ia menoleh ke arah luar menatap jendela kamar Angela yang terlihat menyala dari luar.
"Setelah ini kita akan ke mana, tuan?" tanya seorang pria yang ada di hadapannya.
Pertanyaan dari pria yang duduk di kursi pengemudi itu sukses membuyarkan lamunannya, "pulang." Jawabnya dingin dan singkat.
Detik berikutnya Maserati kelabu itu beranjak dari tempatnya.
Disaat yang bersamaan, Angela yang sedang menyisir rambutnya menoleh ke luar jendela begitu mobil itu berjalan meninggalkan posisinya. Ia tidak memikirkan keanehan apapun lalu menutup jendela kamarnya.
-Bersambung ke Chapter #02-
Selamat datang di Chapter pertama Shameless. Terima kasih telah membaca. Bagaimana dengan chapter pertama? Jika suka dengan Shameless jangan lupa masukan ke dalam daftar bacaanmu agar tidak ketinggalan saat Karlvier update chapter selanjutnya. Let me know jika ada typo. Berikan komentarmu ya, cinta dan supportmu adalah motivasi terbaik untuk terus berkarya!
Sampai jumpa di chapter selanjutnya!